Chereads / My Dearest, Adhitya / Chapter 3 - Sthevania Larasati

Chapter 3 - Sthevania Larasati

"Mencintai Adhitya tidak terdengar benar di telingaku." Zera memutar kembali semua ucapan Reva yang terdengar sangat benar hari ini. "Dia bisa mematahkan hatimu kapan saja ia mau. Lusa?"

Zera menegak air liurnya dengan susah payah. Ia berusaha mengabaikan perasaan kacaunya. Yang ia tahu, ia tidak boleh membuyarkan konsentrasinya di saat ia harus berfokus terhadap Firman Tuhan yang akan disampaikan oleh sang pendeta. Tapi otaknya sudah terlanjur kacau. Matanya melemah hingga ia tidak bisa bereaksi apapun selain mengakui jika hatinya remuk.

Baru kemarin. Baru kemarin Adhitya memberinya dua bukti cinta. Baru kemarin ia mengatakan bahwa ia ingin menjadikan Zera sebagai kekasihnya secara tidak langsung. Baru kemarin ia berada di atas awan, melihat dunia yang begitu kecil dan menertawakan pernak-pernik dunia karena ia sedang jatuh cinta dan merasa dicintai. Baru kemarin.

Tapi hari ini, Zera harus menahan parasitnya agar tidak koyak dan membuatnya mati karena tubuhnya harus menghantam tanah. Zera memejamkan matanya dan menghapus air matanya yang mulai mengalir dengan sukses tatkala sahabatnya sendiri, Adhitya, memakaikan sepatu kepada sepasang kaki jenjang milik wanita yang asing bagi matanya.

'Tak lupa Adhitya juga memeluk wanita itu dengan sangat intim. Atau bisa dikatakan dengan sangat lekat. Hingga-hingga jantung Zera terasa remuk merasa perlakuan Adhitya terhadapnya sebatas angin lalu.

Ia malu. Ia malu bersikap sombong kepada Reva dan membanggakan perlakuan Adhitya kepadanya. Zera menghapus air matanya dengan kasar lalu mengangguk perlahan. Ia paham sekarang. Lelaki playboy seperti Adhitya, jangan mengharapkan ia berubah.

Mengganggu pemandangan. Ya, itu terasa sangat benar karena Adhitya bersama dengan wanitanya duduk persis di depan matanya. Dengan jemari saling bertaut, keduanya berdoa di hadapan Tuhan. Melupakan kenyataan bahwa seseorang tengah berduka karena pemandangan menyebalkan ini.

"Aku mau pizza," rengek wanita itu sesaat setelah menyandarkan duduk.

"Kita baru saja sampai. Ibadahnya juga baru saja mulai," bisik Adhitya sambil mengusap punggung wanita itu. "Setelah ini, oke?"

Wanita itu mengangguk manja dengan patuh lalu menyandarkan kepalanya pada pundak Adhitya. Zera menahan napasnya. Rasanya kepalanya akan meledak sewaktu-waktu dan mulutnya akan menorehkan luka pedih pada telinga wanita manja yang mungkin sudah menyandang status sebagai kekasih sahabatnya.

Zera menggerai rambutnya yang tadinya tergulung rapi, memberikan ruang privasi bagi dirinya untuk sendiri menikmati kesuntukan. Hatinya berantakan dan tidak ada satupun posisi ruangan yang berada di tempat yang tepat. Kacau hanya dengan gerakan-gerakan kecil yang Zera lihat dilakukan oleh sahabatnya, yang tidak lain adalah pemegang kunci hatinya.

"Aduh," sentak Zera tidak sengaja ketika lelaki tua yang berada di sebelahnya menghantamkan kepalanya dengan pundak Zera.

Beberapa orang yang berada tidak jauh darinya spontan menoleh ke arah sumber suara. Zera berkali-kali mengucapkan kata maaf karena ia tidak menjaga suara sama sekali. Padahal bukan salahnya jika ia terkejut karena lelaki tua itu.

Begitupun Adhitya dengan wanita yang berada di sebelahnya. Mereka menoleh kepada Zera yang kini sibuk menegakkan kepala lelaki tua itu. Adhitya mengernyitkan dahinya sembarangan. Zera terlihat tidak nyaman dan Adhitya merasa terganggu dengan hal itu, membuatnya berdiri tergesa, memutari tempat duduknya dan duduk di antara Zera dengan lelaki tua itu.

Zera mengerutkan dahinya tanpa ia sadari. Ia terkejut dengan tingkah Adhitya terhadapnya hari ini. Seperti hari-hari lainnya yang selalu memberi kejutan dengan hal-hal menarik dari Adhitya. Tapi kali ini? Sangat berbeda! Adhitya baru saja mematahkan hatinya dengan bersanding dengan wanita lain dan sekarang tiba-tiba ia berlaku sangat manis terhadapnya? Oh tidak, ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Karena jika itu terjadi, hatinya pasti akan luluh sekali lagi dan mengabaikan semua luka yang sedang Adhitya berikan terhadapnya. Zera membatasi diri untuk tidak melihat kepada Adhitya yang beberapa kali mencuri pandang terhadapnya. Ia tidak boleh luluh hanya karena lelaki itu berlaku peduli kepadanya. Tidak lagi. Reva benar.

Wanita manja yang sedari tadi di sisi Adhitya menatap Adhitya dengan raut tidak senang. "Kok aku ditinggal?"

"Sudah kau diam saja," bisik Adhitya sambil menempelkan telunjuknya pada bibirnya sendiri.

"Boleh ikut ke belakang?" rajuk wanita itu dan Adhitya dengan segera melirik sisi kanan dan kirinya lalu mengedikkan bahu. "Tidak ada tempat," jawab Adhitya.

Wanita itu lalu membalikkan tubuh perlahan lalu membungkam telinganya dengan earpods yang ia bawa. Adhitya menggeleng perlahan menyembunyikan senyumannya yang masih dapat dilihat oleh Zera. Satu lagi yang mematahkan hati Zera dengan telak. Senyuman tipis itu. Yang biasanya untuk dirinya, kini Zera lihat ditujukan untuk wanita lain. Yang pada nyatanya, terlihat lebih manis kelakuannya dibanding dirinya sendiri.

"Aku heran kau tidak menyapaku," ujar Adhitya sambil memandang Zera.

"Aku disini untuk beribadah," jutek Zera.

"Oh ya?"

"Ya."

Hati Zera meledak sesaat setelah senyum Adhitya mengembang. Untuknya. Ya, untuknya seorang. Senyum itu terlontar ketika lelaki itu menatapnya. Zera ingin berteriak dengan kencang, namun ia menahan diri. Ia ingat pada wanita manja yang masih duduk di hadapannya. Mendengarkan musik dengan asik tanpa memerhatikan prosesi ibadah yang sedang berlangsung.

"Seharusnya kau sekadar menyapa," bisik Adhitya.

"Tidak mau. Kau sudah memiliki teman."

Adhitya mengerutkan dahi lalu mengarahkan tulunjuknya pada wanita manja yang berada di depannya. "Maksudmu dia?"

"Ya," ketus Zera.

"Kau percaya jika kukatakan dia adikku?"

"Adikmu yang mana lagi? Kau sudah memiliki Ribka sebagai adik. Tidak usah menambah lagi."

Adhitya terkekeh ringan lalu kembali berbisik, "Dia teman Ribka. Artinya adikku juga."

Zera memutar bola mata malasnya lalu menatap Adhitya yang masih tersenyum kepadanya. Zera menyipitkan matanya dengan jengkel. Ia sudah salah mengira bahwa wanita itu adalah kekasih Adhitya. Ia 'tak enak hati menuduh lelaki itu dengan tidak-tidak walaupun tidak ia utarakan secara langsung.

"Apa? Kau pikir ia kekasih baruku?" tanya Adhitya membuyarkan lamunan Zera.

Zera yakin ia tersedak begitu Adhitya menanyakan hal itu kepadanya. Apa? Adhitya bisa membaca pikirannya begitu saja? Astaga, tidak mungkin. Pasti hanya perasaan Zera saja, 'kan?

Zera hanya bisa berdeham kikuk tanpa melontarkan apapun sebagai jawaban. Adhitya kembali tersenyum lalu memegang jemari Zera dengan lembut. Ia memerhatikan cincin darinya yang masih terpasang dengan rapi. Sedetik kemudian ia menyingkirkan rambut Zera untuk melihat kalung pemberian darinya.

"Kau terasa sempurna mengenakan semua ini," bisik Adhitya membuat napas Zera tertahan. "Jangan cemburu pada adikku sendiri. Aku tidak suka."

"Aku tidak cemburu."

Adhitya berdeham ringan. "Bagus."

"Kita hanya sahabat," tegas Zera.

Adhitya kembali menatap Zera. Alisnya bertaut dan senyumnya mengembang selebar mungkin. Hatinya senang mendengar kalimat Zera yang tentu saja bermakna lain dalam otaknya.

"Aku merasa kau cemburu sekarang," godanya.

"Aku tidak cemburu sama sekali. Kalau dia kekasihmu, aku juga tidak peduli."

"Sekarang aku yakin kau sedang cemburu," kukuh Adhitya.

"Tidak," sentak Zera.

"Ssst," desis Adhitya karena terkejut akan nada Zera. "Kalau tidak cemburu tidak perlu begitu. Aku hanya yakin kau cemburu, belum tentu benar."

Zera menggerutu dalam hati. Ia tahu benar jika ia cemburu. Ia hanya tidak ingin laki-laki playboy itu tahu dan merasa bahagia mendapati pengakuan darinya. Ia harus bisa menahan diri. Sebentar saja. Memastikan semua berjalan normal, lalu pulang dan ia akan berteriak sekencang mungkin karena tidak akan ada yang peduli.

"Sthevania Larasati," ucap Adhitya. "Teman Ribka, seperti yang sudah kukatakan."

"Tidak perlu menjelaskannya."

"Perlu."

Zera menelengkan kepalanya untuk melihat senyuman Adhitya sekali lagi. Tapi lelaki itu tidak tersenyum. Ia justru menatapnya dengan tatapannya yang paling serius. "Kenapa?"

"Karena penting untukmu tahu siapa saja yang berarti bagi diriku. Termasuk jika kau yang berarti bagi diriku. Ayo jadi kekasihku, Lavazera Aandanya," pintanya lembut.

Zera menatap mata Adhitya. Ia bisa menangkap nada serius. Hatinya bimbang. Ia berada disisi Adhitya,--bersama--duduk di rumah Tuhan. Mungkin berdoa bersama dan menikmati keindahan dunia bersama begitu ia mengatakan 'ya' kepada Adhitya. Pertanyaannya adalah, apa benar ia menginginkan Adhitya untuk mengejarnya? Untuk mendampinginya? Untuk menjadi miliknya? Atau Adhitya hanya sekadar candu yang tidak bisa ia jelaskan? Candu yang membuatnya tergila-gila tapi sebatas sesaat? Lantas, yang mana, Lavazera?