Vanie POV
"Ya?"
Aku menoleh ke arah sumber suara begitu merasa namaku dipanggil dengan begitu keras. Aku sangat yakin itu suara Kak Adhit. Dan memang benar itu dia. Dia berdiri berhadapan dengan seorang wanita yang aku yakin adalah Kak Zera. Mereka saling menatap tanpa berkedip? Apakah Kak Adhit salah memanggil nama? Memanggil Kak Zera dengan namaku?
Kak Zera terlihat sedang menampis tangan Kak Adhit dengan cukup tenaga. Aku tersenyum melihat tingkah mereka. Mereka terlihat cocok dan tidak mungkin Kak Adhit bisa mencintai wanita lain selain Kak Zera.
Aku terkikik dalam hati. Aku merindukannya. Merindukan cara ia membujukku, cara ia memelukku, cara ia menghirup aroma tubuhku dengan mesra. Aku merindukan tatapannya, suaranya. Sentuhannya begitu hangat dan aku suka. Aku tergoda untuk menghampirinya dan memintanya melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan terhadapku. Bolehkah?
---
Awas," sentakku sambil mendorong tubuh Kak Adhit dariku. "Aku alergi berada dekat denganmu."
"Alergi?" tanya Kak Adhit lalu berlari mengejarku. Dalam sepuluh langkah ia berlari, ia sudah memegang kendali atas tubuhku. Ia memelukku dengan kencang dan penuh senyuman. "Aku adalah obat atas alergimu."
"Oh ya? Aku tidak percaya," ujarku sambil menyikut perutnya namun ia tetap tidak melepaskan pelukannya. "Lepas. Aku mau ke kamar mandi."
Ternyata dengan berbohong tidak juga membuatnya melepaskan pelukan atasku. Ia menenggelamkan wajahnya pada leherku dan menghirup aroma tubuhku dari sana. Aku yakin senyumnya mengembang di atas permukaan kulitku. Ia semakin menekankan wajahnya ketika tahu aku tiba-tiba mengeluarkan suara nyaman saat ia mencium leherku. Aku yakin hanya semacam helaan napas.
"Kau sangat wangi," bisiknya dengan sangat pelan hingga aku nyaris-nyaris tidak bisa mendengarkan kalimatnya dengan baik. Panas napasnya mengalir keseluruh permukaan kulitku, membuatku merasa dicintai lebih dari siapapun di muka bumi ini. Tapi apa yang kurasakan saat ini, tepat sebelum aku sadar jika ia tengah jatuh cinta pada wanita lain. "Boleh aku menikmati wangimu ini lebih lama?"
Aku menyikut perutnya sekali lagi lalu memukul lengannya kencang-kencang. "Wangi apanya? Aku belum mandi dua hari."
Kak Adhit tertawa ringan sebelum berhasil menangkapku lagi. "Aku suka kau yang belum mandi seminggu. Jadi dua hari rasanya tidak masalah."
Seminggu? Ya, aku memang pernah tidak mandi seminggu dan ia mengeluh aku bau sekali. Tapi mengapa ia mengatakan menyukai bauku yang tidak mandi seminggu?
"Dasar gila," gumamku kesal.
"Aku memang gila," kekehnya.
"Aku gila," ujarnya setelah berhasil meraih sisi telingaku untuk dirinya sendiri. Tubuhku mengejang tentu saja. Perutku seakan ditonjok oleh ribuan paku. Ia membuatku kehilangan napas. Apa begini rasanya diberi rasa nyaman yang berlebihan? Bukankah seharusnya hal ini tidak boleh kurasakan sekarang?
"Aku gila; mengagumi seseorang yang bisa menghargaiku," bisiknya. "Thanks, karena menganggapku seperti laki-laki normal yang tidak suka menyakiti wanita."
Ah, ya. Aku hampir lupa kalau ia suka sekali mempermainkan hati wanita. Apakah aku akan menjadi salah satunya? Tidak. Aku tidak mau. Aku tidak akan membiarkan hatiku menjadi bahan olok-olokan darinya. Aku harus menghindar. Menghindari dirinya agar ia tahu jika tujuannya bersama denganku adalah untuk membuat Kak Zera cemburu.
Tapi aku tidak bisa melepaskan kenikmatan ini. Kak Adhit menarik jemarinya untuk menyusuri tanganku. Mulai dari ujung jariku hingga ke leherku. Sentuhannya sangat manis dan aku tidak bisa menolak untuk mengakui bahwa ia bisa membuatku merasa kejang detik ini juga. Apa dia sebrengsek itu untuk melukai diriku? Atau aku yang terlalu murahan karena tidak bisa menolak setiap sentuhan yang ia mainkan diatas kulitku?
"Kak...." ujarku dengan sangat pelan hingga-hingga membuat Kak Adhit tersenyum kecil lalu menarik bibirku untuk bertaut dengan bibirnya. Ah, begini rasanya dicium seorang lelaki dewasa. Selama ini adikku lelakiku yang tiba-tiba mencium bibirku dengan cepat lalu tertawa terbahak-bahak melihat reaksiku yang berlebihan. Marah. Tapi hari ini, aku tidak marah. Mengapa?
Kak Adhit memaksaku untuk membiarkannya menciumnya dan aku tidak bisa untuk berkata tidak. Boleh diakui, aku juga menikmatinya. Toh dia sangat tampan. Dia juga pintar. Boleh mungkin sesekali aku mencintai lelaki itu. Cinta dari seorang adik kepada kakaknya. Karena adikku juga menciumku tanpa ragu.
"Jangan pukul aku," bisiknya sambil memberi jarak denganku. "Aku tertarik padamu."
"Tapi kau mencintai Kak Zera."
"Aku tidak bilang hal itu sekarang. Aku merasa menyukaimu."
Aku mengerutkan dahiku yang bertaut dengan dahinya. "Dari kakak untuk adiknya?"
Dan lelaki itu menggeleng lembut sambil tersenyum lembut. "Dari seorang pria untuk wanitanya."
---
"Dari seorang pria untuk wanitanya," gumamku sambil berangan-angan Kak Adhitya kembali mengatakannya padaku.
"Vanie?"
Aku mengerjapkan mataku begitu mendengar suara Damian yang tengah berusaha untuk menyadarkanku dari lamunan. Aku mengangguk kecil padanya dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Apa benar aku baik-baik saja? Apa benar aku merasa sehat setelah semua yang kulakukan dengan Kak Adhitya berakhir dengan lelaki itu bersama wanita lain? Ya, aku menyukai lelaki itu.
"Mengapa kau memegang bibirmu seperti itu?" tanya Damian sambil menurunkan jemariku yang melekat pada bibirku sendiri.
"Ah, tidak ada," ujarku kikuk. "Bibirku pecah-pecah dan aku suka melepaskan kulit-kulit mati pada bibirku."
Damian menggeleng kecil ditengah senyumannya lalu bergumam, "Dasar aneh."
"Hei, menurutmu apakah mereka pasangan yang cocok?" tanyaku sambil menunjuk pada Kak Adhit dan Kak Zera yang terlihat sedang bermanja satu sama lain.
"Tidak seimbang," jawab Damian sambil melirikku sambil tertawa kecil. "Tapi kau dan aku, mungkin seimbang."
Aku meninju lengannya pelan dan tertawa bersama dengannya. "Kau tahu Damian? Lelaki yang sedang memeluk wanita itu, adalah Kak Adhit. Lelaki playboy yang sering kuceritakan kepadamu."
"Oh," gumam Damian. "Mereka tidak terlihat cocok. Mendengar kisahmu, terlihat seperti kalian yang cocok."
Aku tersenyum padanya. Bisa saja lelaki satu ini membuatku bahagia. Walau aku tidak tahu yang ia katakan seratus persen benar atau hanya usaha untuk menghiburku. Aku tetap mengumandangkan senyum agar ia juga ikut senang dengan reaksiku. Damian, sahabatku.
"Mengapa kau tidak berusaha merebut dirinya saja?" tanya Damian frontal.
"Jangan. Kasihan Kak Zera. Wanita itu sebenarnya menyukai Kak Adhit. Mereka berdua saling mencinta hanya saja ego yang menghalangi perasaan mereka," sahutku dengan tenang.
"Dan kau? Sebagai apa? Penikmat? Atau seorang wanita yang ditakdirkan untuk berkorban bagi cinta orang lain? Berapa kali kau menyerahkan orang yang kau cinta demi wanita lain, Van?"
Berkali-kali. Reno. Vicky. Dio. Danar. Ferry. Nanda. Kak Adhit. Tapi aku hanya bisa menjawab dalam hati. Damian sudah tahu tentang semua laki-laki yang hanya memberiku angin lalu. Damian juga tahu, bahwa tidak ada satu orang pun yang kembali padaku dan meminta maaf.
"Jika Adhitya adalah seseorang yang pada akhirnya ditakdirkan untuk menjadi pasanganmu, setidaknya ada usaha darimu untuk merebutnya," ujar Damian dan aku tidak peduli.
---
Sudah berapa banyak wanita yang kau cium?" tanyaku setelah Kak Adhit menarik bibirnya dari bibirku.
"Tiga."
"Siapa saja?"
"Natasha. Zera. Dan kau."
Aku menelan ludahku. Zera? Kak Zera juga pernah dicium oleh Kak Adhit?
"Apakah kau mencium mereka selembut ini?" tanyaku usil. Aku tidak yakin mau mendengar jawabannya. Tapi setidaknya aku pernah bertanya dan mendapat jawabannya. "Apa memang kau selembut ini, Kak?"
"Baru kau," jawabnya.
"Maksudnya?"
"Baru kau yang kucium dengan selembut ini."
"Lalu bagaimana kau mencium mereka?" tanyaku masih penasaran.
"Aku sebatas ingin."
"Jadi denganku?"
Kak Adhit menahan jawabannya. Aku yakin ia sudah memiliki jawaban namun ia tetap bungkam. Matanya menatapku tajam. Senyumnya tidak terlihat namun jantungnya berdetak dengan keras di bawah telapak tanganku.
"Sudah kubilang," bisiknya, "aku menyukaimu."
Suka. Bukan cinta.