"Bukankah baju couple terlalu berlebihan?"
Adhitya menggeleng lantang lalu mengembangkan senyumannya. "Aku suka."
"Ah, I see. Pasti kau juga menginginkan hal ini saat bersama Kak Zera hanya saja kau belum bisa menyandingnya, 'kan?" tebak Vanie dengan riang.
Adhitya mengernyitkan dahinya dan menggeleng sekali lagi. "Mengapa tebakanmu meleset?"
"Lalu?"
"Aku suka mengenakannya bersama denganmu. Akan aneh jika aku dan Zera yang mengenakannya," jujur Adhitya diikuti dengan gerutuannya. "Bagaimana tebakanmu bisa meleset?"
Vanie mengedikkan bahunya singkat lalu menunduk dengan ragu. Ia mengguman dalam hati selama beberapa detik, hingga Adhitya menarik dagunya untuk menatap mata lelaki itu.
"Ya?" tanya Adhitya berusaha mencari tahu apa yang sedang Vanie pikirkan.
"Apa setelah dua bulan ini Kak Zera tidak menunjukkan reaksi apapun padamu?" tanya Vanie dengan lirih. Ia tidak ingin maksud ucapannya ditangkap salah serta tidak ingin menyinggung perasaan Adhitya.
"Hem," gumam Adhitya.
"Apa sama sekali dia tidak pernah menemuimu dan menunjukkan reaksi cemburu, Kak?"
"Hem," gumam Adhitya lagi.
Vanie mengerutkan dahinya dengan kesal. "Mengapa hanya bergumam? Aku membutuhkan jawabanmu."
"Untuk apa?"
---
"Hai."
"Hai."
"Kau tidak menyapa."
"Ah ya, aku tidak tahu kau disana."
"Bagaimana? Sudah bahagia bersama Vanie?"
Adhitya mendongak tajam mendengar pertanyaan itu terlontar tanpa nada ragu. "Sangat."
Senyum Zera mengembang. Tatapan wanita itu tulus dan Adhitya tidak ingin mengungkiri pemandangan di hadapannya ini. "Ah, baguslah."
"Hem, ya."
Zera menggamit lengan Adhitya dan mengajaknya untuk menyingkir sedikit dari keramaian aula yang akan memamerkan acara meriah dengan Judika sebagai bintang tamunya. Sesekali Zera mengalihkan pandangannya pada Adhitya. Untuk melihat ketampanan lelaki itu pastinya.
"Ada apa?" tanya Adhitya sambil menghentikan langkahnya. "Katakan."
"Aku ingin kau tahu bahwa aku telah dijodohkan dengan seorang lelaki," ujar Zera dengan senyumannya yang penuh.
"Tampan?"
"Mapan dan tampan."
"Oh," gumam Adhitya tanpa menunjukkan reaksi sedikit pun.
"Akhirnya," desah Zera sambil menatap Adhitya penuh arti, "seseorang menginginkan diriku."
Adhitya hendak membuka mulutnya, namun Zera sudah mengunci rapat bibir Adhitya tanpa peringatan. Lelaki itu tidak bisa berbuat apa-apa. Pikirannya berantakan. Zera? Menciumnya? Apakah ini terasa benar? Atau terasa sangat-sangat salah? Apa yang harus ia lakukan? Ia harus menghentikan ciuman ini. Tapi tidak bisa. Zera terus memaksa agar Adhitya pasrah dengan cumbuannya.
"Aku akan menolak perjodohan itu," ujar Zera penuh semangat.
"Hah?" tanya Adhitya tidak mengerti.
"Seseorang itu mencintai wanita lain," lanjutnya tanpa mengurangi nada semangatnya. "Dia tidak menginginkan adanya perjodohan ini. Jadi aku juga akan menolaknya."
"Apa lelaki itu mengatakannya padamu demikian?" erang Adhitya namun Zera menggeleng dengan cepat. Ia tidak menurunkan senyumannya. Justru senyuman itu semakin meninggi dan ia tidak terlepas dari mata Adhitya yang marah akibat cerita yang baru saja ia sampaikan. "Ciumannya yang berbisik padaku."
"Lelaki itu menciummu?" erang Adhitya lebih lagi. Wajahnya memanas, jantungnya berdebar 'tak karuan. Otaknya tidak pada tempatnya. Ia marah dan ia tahu bahwa sahabatnya itu hanya miliknya seorang dan tidak boleh disentuh oleh orang lain.
"Tidak," sergah Zera santai. "Aku yang menciumnya. Oh, dulu kali pertama memang ia yang menciumku. Tapi kali kedua kami berciuman, aku yang menciumnya dengan paksa."
Adhitya bingung dengan situasi yang sedang ia hadapi. Wanita di depannya ini bercerita dengan santai tanpa rasa malu. Bercerita mengenai seseorang yang menciumnya. Ketika ia sendiri masih menaruh harap pada Zera walau tidak banyak.
"Dan dia tidak membalas," tambahnya.
Adhitya mengerutkan dahinya dengan pasrah. Ia hanya bisa berbisik lembut dengan nada bingung. "Aku?"
Zera menjerit senang dalam hati saat mengangguk untuk membenarkan pertanyaan Adhitya; yang disambut oleh kecupan di bibirnya oleh lelaki itu. Ia hanya bisa mematung mendapati tiba-tiba Adhitya melakukan hal itu. Entah godaan apa untuk membuatnya berpikir bahwa ia telah salah menilai jika Adhitya sudah tidak mencintainya lagi.
"Kau dan aku dijodohkan?" tanya Adhitya masih setengah shock karena tiba-tiba ia mencium Zera. Lagi.
"Ya. Tapi karena kau telah bahagia bersama dengan Vanie dan aku yakin kau juga mencintainya, aku akan membatalkan perjodohan itu. Kau bebas mencintainya, Adhitya," jawab Zera dengan sabar.
"Aku tidak mencintainya."
"Ah, aku yakin kau mencintainya."
"Kami baru bersama selama setengah tahun. Sedangkan bersama denganmu sudah menghabiskan satu tahun lebih," jelas Adhitya dengan asal. "Aku tidak mencintainya."
"Apa kau senang mendengar perjodohan ini?"
Adhitya mengerutkan dahinya dan berkata jujur, "Tidak."
"Karena aku senang," ujar Zera ditengah senyumannya yang perlahan memudar. "Aku mencintaimu dan kau sudah tidak menyimpan rasa itu lagi padaku, 'kan?"
"Aku bersama dengan Vanie..."
"Untuk menipuku?" tebak Zera. "Sudahlah, Adhitya. Aku sudah menebaknya. Tapi kalian melakukan peran kalian dengan sangat totalitas."
"Zer..."
"Hatiku patah," Zera memantik senyumannya agar tetap menyala. "melihat dirimu mencium pipi Vanie. Kau tidak tahu aku disana, 'kan?"
Adhitya menggeleng jujur. Ketika ia mencium pipi Vanie, memang ia kira mereka hanya berdua saja. Tiada orang lain yang mungkin akan melihat ciuman singkat itu. Ciuman yang bertujuan menggoda serta memantik rasa peduli yang semakin membesar pada Sthevania.
"Jadi ciuman itu memang untuknya?" tanya Zera sambil menghela napas. "Tidak apa. Aku mengerti, Adhit. Terlalu lama menjaga seseorang pasti membuatmu sulit untuk melupakan keinginan untuk mempertahankannya. Sebesar apapun keinginanmu untuk menolaknya."
"Tidak. Kau salah paham," elak Adhit.
"Sayangku," bisik Zera lembut. "kalau begitu tinggalkan Vanie untukku. Kita akan menerima perjodohan ini dan menikah. Kau mau?"
Sesak. Dadanya sesak memikirkan jawaban dari Adhitya. Ia menantang dan tidak siap menerima resiko dari pertanyaannya. Perjodohan yang akan ia tolak, menyangkut orang yang mendominasi perasaannya. Jika mentah-mentah Adhitya memilih Vanie, mau ditaruh mana mukanya? Apakah ia bisa dengan bebas menatap Adhitya tanpa rasa malu seperti hari ini? Mempersiapkan diri untuk membicarakan tentang perjodohan ini sudah sangat menyiksa. Apalagi harus menerima jawaban pedih Adhitya.
Adhitya mengerjap bimbang. Ia hanya memiliki dua pertanyaan. Apakah ia mencintai Vanie? Apakah Vanie mencintainya?
---
"Aku menyukai seseorang," lirih Vanie yang berhasil membuyarkan lamunan Adhitya.
"Apa?" tanya Adhitya sambil meraup wajahnya yang mulai kusut. "Apa maksudmu?"
"Aku jatuh cinta kepada seseorang," tegas Vanie sambil menatap Adhitya.
"Sebaiknya orang itu aku."
"Dan jika bukan?"
"Besok ia akan hilang dari muka bumi ini." Senyuman Adhitya berkumandang memenuhi pikiran Vanie. Lelaki itu tersenyum dengan aneh tapi penuh rasa percaya diri. "Jadi, siapa lelaki itu?"
Vanie menekuk wajahnya dan menggeleng dengan tegas. "Yang pasti bukan kau."
Sipitan mata Adhitya membuat Vanie semakin menegaskan tatapannya. Ia berhati-hati agar tidak terbaca oleh Adhitya akan siapa lelaki yang ia cintai. Jelas Vanie tidak ingin Damian hilang dari muka bumi ini. Ia menyukai lelaki polos dan baik hati itu. Yang memperlakukannya dengan sikap aneh tapi membuatnya merasa nyaman. Hal-hal sederhana lebih tepatnya. Membelikannya bunga plastik seharga seribu setiap hari atau membelikan permen milkita di setiap jam istirahat.
Jika ia berkata, "Hari ini bukan hari valentine," maka lekaki itu hanya menjawab dengan senyuman. Seakan menyiratkan sebuah kalimat, "Bersamamu, setiap hari terasa valentine."
Sayang sekali kalimat itu tidak pernah terucap dengan sungguh dari bibir Damian.
"Bagaimana dengan kemungkinan kau mencintaiku?"
Vanie menggeleng keras-keras. "Ternyata yang kutakutkan tidak terjadi."
"Mengapa begitu?"
"Mungkin karena aku tahu perlakuanmu padaku hanya sebatas untuk membuat Kak Zera cemburu."
"Mungkin juga tidak," kata Adhitya sambil mengendurkan tatapannya.
"Aku tidak suka dengan baju couple ini. Aku malu, Kak. Aku takut lelaki yang kucintai itu melihat kita bersama dan melarikan diri dariku karena berpikir aku telah dimiliki," jujur Vanie dengan bimbang. "Bolehkah kau cepat menyatakan perasaanmu pada Kak Zera lagi?"
"Hem?" gumam Adhitya sembarangan. "Maksudmu?"
"Aku ingin cepat-cepat memeluk lelaki itu dan berbisik mencintainya."
Adhitya terkekeh nyaring mendengar kalimat Vanie terucap dengan lugas. Ia mengacak rambut Vanie dan mencium pipi wanita itu dengan penuh aura patah hati yang mungkin bisa Vanie rasakan.
"Kau masih terlalu kecil. Jangan biarkan seseorang memelukmu selain aku, oke?"
Vanie menggeleng ragu. "Kau juga tidak boleh memelukku seharusnya. Memangnya kau siapa? Kau dan aku tidak memiliki darah yang sama. Seharusnya kau menjaga jarak, 'kan?"
"Hei, Vanie," lirih Adhitya sambil mendongakkan wajah Vanie agar bibir wanita itu menyentuh dagunya. "Kejar laki-laki itu semaumu. Aku akan memastikan lelaki itu tidak menolakmu dan Zera kembali pada pelukanku. Setuju?"
Checked. Vanie tidak mencintainya.