Chereads / My Dearest, Adhitya / Chapter 7 - Terima atau Tidak?

Chapter 7 - Terima atau Tidak?

"Apa cemburu tanda mencintai?"

Zera mengerutkan dahinya dengan tajam. "Belum tentu."

"Lalu tanda apa?"

Zera mengedikkan bahunya lalu kembali terfokus pada novel Tereliye yang sedari tadi ia pegang. "Memangnya Vanie memiliki laki-laki lain?"

"Begitulah."

Zera merapatkan pandangannya pada bacaan yang sedang ditelusuri oleh matanya. Hatinya mencelos begitu jawaban Adhitya menyerang gendang telinganya. Kepalanya serasa dihantam pecahan kaca. Ada serigala mungil yang menempel dalam dadanya sehingga jantungnya serasa dikoyak-koyak dalam bagian yang lebih kecil. Sakit.

"Aku takut kau benar kalau ternyata aku mengharapkan sesuatu dari Vanie," ujar Adhitya di balik layar ponselnya. "Kalau-kalau aku menyadarinya lebih awal, aku sudah memintanya menjadi kekasih sungguhanku sekarang."

"Mengapa tidak dari awal?"

"Karena waktu itu kau lebih mendominasi," jujur Adhitya tanpa mengalihkan pandangannya.

"Um, sayang sekali aku tidak mau padamu," bisik Zera sambil menyela dengan senyuman. "Dan sekarang pun aku tetap tidak mau."

Adhitya menatap Zera dengan santai. Perasaan yang dahulu berkecambuk ketika wanita itu menolaknya sudah tidak lagi terasa perih. Rasanya hanya sebatas terkejut tapi tidak mematikan. Apa benar hatinya sudah dikuasai oleh Vanie secara utuh sekarang?

"Kalau aku meminta bantuanmu, apa kau mau?" tanya Adhitya cepat-cepat sebelum ide konyolnya itu hilang dari benaknya. "Tolong bantu aku mendapatkan Vanie."

Zera mengangguk paham lalu bertanya dengan santai, "Dengan cara apa?"

"Berpura-puralah menjadi kekasihku."

Zera mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Matanya hanya berkedip-kedip tapi ia tidak bisa mengumandangkan apa yang sedang ia pikirkan saat ini; yang adalah sebuah pertanyaan 'Apakah Adhitya benar-benar sudah kehilangan akal?'

"Seorang playboy juga bisa patah hati," lanjut Adhitya disela senyumannya. "Mungkin perasaanku pada Vanie juga sesaat sama seperti ketika mendambakan dirimu. Tapi kau menolakku berkali-kali dan aku sudah merasa cukup patah hati."

Adhitya sudah gila rupanya. Zera tidak bisa berpikir dengan benar. Adhitya mendominasi semua kalimat dalam hatinya. Adhitya miliknya. Sahabatnya. Impian masa depannya. Adhitya yang sekarang berbalik menyerang perasaannya dengan mengatakan mencintai wanita lain yang adalah adiknya sendiri. Adik mainannya lebih tepatnya, hanya saja itu sama. Bagi Adhitya Vanie sekadar adiknya. Begitupun Vanie memandang hingga Adhitya pada akhirnya jatuh ke dalam rasa nyaman menyanding Vanie. Apa yang harus Zera lakukan?

"Aku menginginkan Vanie sekarang. Ia tidak pernah membuatku merasa menjadi seorang playboy. Ia selalu membuatku merasa percaya diri untuk mendapatkan dirimu yang pada kenyataannya kau tidak berhasil kusanding," lanjut Adhitya. "Tapi aku memang sayang padanya dari awal. Dan kurasa..." Adhitya menarik wajah Zera tinggi-tinggi karena wanita itu sudah menunjukkan reaksi patah hatinya. "kalau aku bicara lebih banyak lagi itu akan melukaimu. Memintamu menjadi kekasih bohonganku adalah kesalahan ya?"

Zera menggeleng cepat-cepat. "Aku akan menarik keuntungan darimu."

"Sama halnya aku menarik keuntungan darimu?"

"Ya."

"Katakan."

Zera memaksakan senyumannya untuk terbit. Hanya saja sekarang ia terlihat seperti sedang menyengir. "Aku jadi tahu bagaimana rasanya menjadi kekasihmu walau tidak sungguh-sungguh menjadi kekasihmu."

Kekehan Adhitya menghentikan senyuman Zera karena sekarang wanita itu menjadi tersipu. Apa memang ia harus mengakui hal itu pada Adhitya? Apa harus ia mengatakannya dengan sejelas itu? Bolehkah dia mengubah kalimatnya agar menjadi lebih samar?

"Kau tidak akan mencintaiku kalau berpura-pura menjadi kekasihku, 'kan?"

"Aku sudah mencintaimu, Adhitya."

Bibir Adhitya membentuk garis datar. Ia terkejut dengan kejujuran Zera yang menurutnya sangat frontal. Apa yang harus Adhitya lakukan sekarang? Jelas Zera sudah tidak menguasai hatinya karena ia justru merasa risih mendapati pengakuan dari wanita itu. Walau sebenarnya pada akhirnya keinginannya untuk mendengar kalimat itu keluar dari mulut Zera telah terpenuhi. Masalahnya adalah, sekarang ia lebih menginginkan Vanie yang berkata seperti itu kepada dirinya.

"Aku tidak bisa berjanji untuk tidak semakin mencintaimu ketika membantu mendapatkan hati Vanie. Sedangkan kemungkinan bagi Vanie untuk membiarkanmu bersama denganku lebih besar daripada ia yang menyadari perasaannya kepadamu."

"Sama seperti kau yang membiarkanku bersama dengan Vanie pada akhirnya?" tanya Adhitya memastikan maksud Zera.

"Ya, seperti itu."

"Kalau Vanie memang tidak mencintaiku, mengapa kau tidak berusaha membuatku kembali mencintaimu? Bukankah itu lebih efektif dibandingkan mendapatkan hati Vanie?"

Zera menegaskan tatapannya. Adhitya memang membingungkan. Bagaimana ia bisa mencintai pria ini? "Jadi kau mau apa? Aku atau Vanie?"

"Aku tidak tahu."

"Kau seorang lelaki. Kau harus tegas untuk memutuskan siapa yang ingin kau sanding nantinya. Dan kami perempuan, Adhit. Bersikap plin-plan seperti ini bukan sikap seorang laki-laki. Kalau kau sendiri tidak tahu siapa yang akan kau pilih kelak, bagaimana aku bisa membantumu?"

Zera menangkup wajahnya dengan kesal. Hatinya marah Adhitya memperlakukannya dengan seenaknya saja. Memangnya hatinya terbuat dari batu? Dipukul berkali-kali tidak mudah hancur?

"Apa perlu aku mematahkan hatiku sekali lagi hanya demi dirimu?"

---

Zera POV

Aku membekap wajahku dengan bantal. "Dasar playboy."

"Playboy juga bisa patah hati."

Aku mengerang dengan kasar. "Bisa-bisanya dia berbicara padaku seperti itu?"

Adhitya memang menjengkelkan. Apakah semua playboy memang seperti itu? Apakah mempermainkan perasaan seseorang memang sebegitu mudahnya? Apa benar yang Reva katakan padaku bahwa Adhitya bisa mendapatkan seorang wanita hanya dengan menjentikkan jarinya?

"Tidak. Aku tidak akan menerimanya menjadi kekasihku walau hanya sebatas kepura-puraan. Tidak," ujarku dengan yakin sambil menghadap cermin. "Aku tidak akan menerima Adhitya dengan mudah. Lelaki itu juga tidak mencintaiku."

Aku meraup mukaku dengan kasar. "Tapi bukankah aku bisa mengambilnya dari Vanie dengan kesempatan ini?"

Aku bingung. Adhitya penyebab semua ini terjadi. Aku benci berada di dekat lelaki itu yang selalu membuat jantungku lemah. Aku benci tapi aku mencintainya. Aku benci karena aku harus menaruh harap pada lelaki itu. Aku benci dan aku tidak mau lelaki itu memanfaatkan diriku untuk mendapatkan cintanya.

"Licik sekali aku," desahku pasrah.

Aku melemparkan diriku pada kasur segersit mungkin ketika aku mendengar ponselku berbunyi nyaring. Oh tidak. Dari Adhit. Adhitya menelponku? Untuk apa? Membuat hatinya remuk lagi? Untuk apa? Apa aku harus terus bertanya atau menjawab telepon ini dengan baik? Tapi bagaimana jika aku terluka lagi?

Aku membiarkan dering panggilan dari Adhitya berbunyi hingga lelah. Begitu juga dengan dering kedua, ketiga, keempat dan kelima. Setelahnya hanya sunyi yang menangkup ruang kamarku. Sunyi karena tidak ada dering lagi dari Adhitya. Apa lelaki itu lelah menelpon? Atau lelah menunggu aku yang tidak kunjung memberi jawab? Tapi aku harus jawab apa? Menerima permintaan bantuannya atau menolak?

"Aku akan rugi jika menolak," gumamku bingung. "Tapi aku akan terluka jika tidak berhasil merebut Adhitya dari pelukan Vanie."

Sama-sama ruginya. Kedua pilihan itu merugikan. Aku harus pilih yang mana?

---

Adhitya POV

Kelima dering panggilanku tidak diangkat? Yang benar saja. Apa dia marah padaku? Apa dia tidak ingin menerima tawaranku? Tawaranku, apakah melukakan hatinya? Mengapa ia tidak ingin menerimanya? Aku harus apa agar Zera mau mengangkat panggilanku? Atau dia tidak dengar jika aku menelpon?

"Reva, aku butuh bantuanmu," ujarku sesaat setelah Reva mengangkat teleponku. "Aku sedang menuju rumahmu sekarang. Aku butuh ponselmu."

"Ponselku? Kau kemari hanya membutuhkan ponselku?" pekiknya dari ujung telepon.

"Sebentar lagi aku sampai rumahmu. Bukakan aku pintu."

Aku meraih kunci motorku dan mengendarainya secepat mungkin. Jarak rumahku dengan rumah Reva sangatlah jauh. Memakan waktu bekisar setengah jam. Tapi demi meminta jawaban Zera, aku bisa saja menempuh jarak itu dalam waktu sepuluh menit dalam keadaan masuk rumah sakit. Tapi apakah jawabannya akan 'ya'?

"Keterlaluan," ujar Reva sambil memberikan ponselnya padaku. "Untuk apa?"

Aku menekan nomor Zera. Dan wanita itu mengangkatnya sebelum dering kedua berbunyi.

"Rev, Adhitya menelponku. Aku tidak menjawabnya. Aku bingung akan bicara apa nantinya. Aku akan menolak tawarannya. Aku sudah memutuskan hal itu. Sebesar apapun ia membujuk, aku akan tetap menolak tawarannya untuk menjadi kekasih bohongannya," tutur wanita itu panjang kali lebar. "Ah, ya. Jangan bertanya apa-apa. Aku akan menjelaskannya besok."

"Kau baik-baik saja?" tanya Reva sambil menepuk pundakku. "Adhitya, kau baik-baik saja?"

"A... Ad... Adhitya?"

Aku mengatur napasku. Sepertinya pertanyaanku sudah terjawab dengan lengkap. Aku berusaha membujuknya ia juga tidak akan menerima tawaranku. Apakah aku seburuk itu untuknya? Aku hanya meminta bantuan. Bantuan yang sangat kecil bagiku. Hanya berpura-pura. Apakah sulit?

"Adhitya, maafkan aku," bisik Zera lembut. "Aku tidak tahu itu kau."

"Tidak apa."

"Sulit. Rasanya menahan perasaan padamu. Berpura-pura menjadi kekasihmu bukan ide yang baik. Aku tidak mau semakin mencintaimu sedangkan kau mencintai wanita lain. Aku tidak bisa," katanya dengan tenang. "Bisakah kau memahamiku?"

Aku mengangguk sabar. Mengapa aku merasa tertolak sekali lagi? Mengapa Zera yang mengatakannya hari ini membuatku merasa sakit? Apa maksudnya perasaanku yang labil ini? Aku tahu aku tidak bisa mencintai dua orang sekaligus. Tapi aku yakin Zera sudah tidak berada dalam ruang kepedulianku. Tapi sekali lagi merasa kecewa.

"Adhitya?"

Aku berdeham kecil sebelum akhirnya menyadarkan diri dari lamunanku. "Ya."

"Apa kau kecewa?"

"Ya."

"Apa kau marah?"

"Tidak."

Aku berharap Zera mengerutkan dahinya untukku. "Mengapa?"

"Kau berhak menolak tawaranku. Aku juga tidak akan memaksa."

"Mengapa?"

"Kau sendiri yang bilang bahwa sebesar apapun kekuatanku untuk memaksamu kau akan tetap menolak," jelasku tanpa ragu. Aku yakin itu yang ia katakan tadi.

Zera terhening cukup lama dan aku tetap menjaga suaraku agar tidak terdengar olehnya. Lalu ia menjawab, "Apa kau merasa sedih aku tidak ingin membantumu?"

"Ya," jawabku 'tak begitu yakin.

"Aku akan membantumu," desahnya.

"Hem?" Sepertinya telingaku sedang bermasalah. Bukankah tadi ia menolakku? "Maksudnya?"

"Kau sedih, 'kan? Aku tidak suka kau sedih."

"Hem?"

Zera menghela napasnya sekali lagi dan berbisik nyaring. "Aku akan menjadi kekasihmu. Hanya berpura-pura."

Jadi intinya, ia terima atau tidak?