"Zera!"
Zera mendongak saat Reva dan Andini menggebrak mejanya dengan kasar. Tentu saja ia terkejut. Atas dasar apa mereka berulah kasar? Atas dasar apa mereka mengejutkannya secara tidak sopan?
"Apa-apaan kau?" tanya Reva yang hanya dibalas oleh kernyitan dahi dari Zera.
"Seharusnya kau memberitahu kami terlebih dahulu jika kau benar-benar menerima Adhitya sebagai pasanganmu," timpal Andini.
"Ya, mengapa kau tutup mulut sedangkan Adhitya menyebarluaskannya ke seluruh penjuru ruangan?" tanya Reva dengan nada kesal.
Zera hanya bisa melongo mendapati pertanyaan-pertanyaan 'tak jelas dari kedua sahabatnya itu. Ia tidak tahu akan apa yang mereka pastikan. Seingatnya, ia tidak menerima lamaran Adhitya.
"Aku tidak suka caramu memperlakukanku," jujur Zera.
"Lalu seperti apa kau ingin diperlakukan?" tanya Adhitya dengan senyumnya yang 'tak pudar.
"Sebagai sahabatmu saja tidak ada yang tahu. Mereka menatapku seakan bukan siapa-siapa. Karena memang kau dan aku tidak cocok sama sekali," kata Zera dengan mode basa-basinya. "Kau dan aku selalu bertemu pagi-pagi sekali di saat tidak ada yang tahu dan kau bertingkah tidak pernah mengenalku. Aku tidak suka."
"Lalu kau mau apa?"
"Tidak disembunyikan sebagai sahabatmu."
Adhitya mendesah ringan sebelum kembali bersuara, "Sebagai sahabat."
"Ya. Sebagai sahabat. Tidak lebih."
"Tapi aku menyukaimu," rajuk Adhitya.
Zera menatap ringan kepada Adhitya. Tersenyum tipis. Ia mengulum lega karena setelah satu tahun mereka menjalin hubungan sebagai sahabat secara diam-diam, lelaki itu bisa berkata hal yang sedikit menggoyangkan keraguan dalam hatinya bahwa ia tidak diinginkan.
"Kau sangat diinginkan di dunia ini, Lavazera," tambah Adhitya sambil meremas jemari Zera. "Aku menginginkanmu untuk hadir di duniaku."
"Aku juga menyukaimu."
Zera menepuk dahinya. Ia memang keceplosan di depan Adhitya dengan mengatakan bahwa ia juga menyukai Adhitya. Tapi ia ingat ia juga mengatakan jika tidak ingin menjadi lebih dari sekadar sahabat dengannya, 'kan? Bagaimana bisa Adhitya mengambil satu sisi dengan membuang banyak sisi lainnya?
"Aku tidak menerima lamarannya," tegas Zera berusaha meyakinkan.
"Tapi ia menyebarkan ke seluruh penjuru sekolah bahwa ia resmi membuatmu sebagai kekasihnya. Dan ia bilang tidak akan ada yang bisa merubah hal itu," jelas Andini. "Bahkan dirimu juga tidak."
Zera beranjak berdiri dengan sigap. Ia melangkah keluar dari kelasnya dan sangking ia tergesa, tidak sadar jika ia telah menghantam tubuh seseorang. Amelia. Zera menepuk dahinya dengan kasar, lagi, sebelum membantu Amelia untuk berdiri.
Zera mendapati dirinya sudah dikerumuni oleh banyak orang. Termasuk geng dari Cavara. Wanita terpopuler nomor tiga di sekolah. Zera tidak melihat adanya Vivian dan Lala, kedua wanita pertama dan kedua yang juga populer di sekolah. Dan entah mengapa ia merasa bisa menangani Cavara dengan mudah selama tidak ada Vivian dan Lala yang ikut mencampuri perkelahian di antara mereka.
"Beraninya kau merebut Adhitya dariku!" bentak Cavara sambil mulai menjambak rambut Zera. "Dasar wanita murahan."
Zera memberanikan diri untuk menampar Cavara. Tamparan pelan. Tidak keras. Hanya untuk menyadarkan Cavara bahwa yang telah ia lakukan itu sedikit berlebihan. Ia ingin Cavara mendengarkan penjelasannya dengan gamblang. Jika wanita itu masih ingin membabat habis rambutnya setelah ia menjelaskan, ia akan terima saja.
"Beraninya kau menamparku!" bentak Cavara lagi.
"Aku ingin kau mendengarkan penjelasanku sebelum menyerangku dengan brutal seperti itu," jawab Zera santai sambil merapikan rambutnya. "Jadi, bisa kumulai?"
Cavara menatapnya dengan garang, 'tak suka dan siap mencekik Zera hingga kehabisan napas. Namun wanita itu menahan diri dan berusaha mengangguk walau terlihat sangat kaku. Cavara memang tidak pernah menyukai Zera. Begitupun sebaliknya. Dan mereka tidak pernah sekalipun bersikap akur walau hanya satu detik.
"Adhitya, dia tidak pernah mendapat jawaban 'ya' dariku," ujarnya untuk membuka kalimat penjelasannya. "Kami hanya sekadar bersahabat. Mungkin mengumumkan bahwa kami resmi berpacaran hanyalah taktik agar tidak ada wanita yang bisa mendekatinya lagi. Aku sudah melihat siapa wanita yang menyandingnya dan itu bukan aku sama sekali."
Zera meneguk ludahnya sendiri. Ia merasa sangat berdosa kepada Vanie jika memang benar wanita-wanita gila ini akan menyerang Vanie sama brutalnya ketika menyerang dirinya.
"Bukan salah satu wanita di sekolah ini," tambahnya dan pupil Zera bisa menangkap sosok Adhitya yang menegang. Menatapnya dengan marah.
Adhitya mendekatinya. Dengan susah payah menerobos kerumunan untuk menjangkau Zera. Ia mencekal lengan Zera dengan kasar lalu menarik wajah wanita tersebut untuk menghadap wajahnya. Adhitya mengeraskan pandangannya. Hatinya panas, tidak suka dan ingin menghajar Zera karena telah sembarangan menyebut kedekatannya bersama Vanie sebagai hubungan lebih dari sekadar kakak-beradik.
"Kau tidak percaya aku menginginkan dirimu?" tanya Adhitya dengan geram. Tanpa berlama-lama mendengar jawaban dari Zera, ia membenamkan bibirnya pada bibir Zera. Memberi sepersekian detik agar Zera ikut terlarut di dalam ciuman yang ia berikan. Adhitya tidak tergesa. Ia hanya sebatas mecium, bukan melumat habis milik Zera.
"It... It... Itu..." gagap Zera ketika ia merasa sudah tidak menempel lagi pada bibir Adhitya. Otaknya tidak bisa berpikir. Pikirannya berantakan seperti benang yang tidak memiliki ujung. "A... A... Adhit...."
"Aku akan membuktikan padamu kalau kau yang memaksaku untuk berhenti menginginkan dirimu."
---
Zera masih terserang shock. Ia belum bisa mengendalikan pikirannya sendiri. Campur aduk hatinya, memikirkan Adhitya yang resmi meninggalkannya sekarang. Zera menggeleng keras. Seharusnya ia mengakui saja memiliki perasaan terhadap lelaki itu dan sama sekali tidak melibatkan Vanie di dalamnya. Jantungnya sesak sekarang, seakan harus ditukar dengan jantung baru yang jauh lebih sehat.
Ya, Adhitya benar. Ia memang tidak bisa langsung percaya kepada perkataan lelaki playboy. Karena bisa jadi ucapannya adalah omong kosong belaka yang hanya melibatkannya di dalam permainan yang tidak masuk akal. Permainan cinta?
Tapi detik ini ia sadar bahwa Adhitya tidak mungkin berbohong. Karena tatapannya sangat serius. Bahkan ketika laki-laki itu marah, ia benar-benar serius jengkel terhadap dirinya. Adhitya dengan serius mencium bibirnya di hadapan semua orang. Zera yakin, ia bisa merasakan ketulusan lelaki itu, rasa jengkel, marah karena tidak diadilkan dengan pengakuan Zera serta rasa tidak percaya yang memungkinkan lelaki itu akan pergi. Zera bisa merasakan semuanya. Adhitya menampakkan semua itu dalam satu kecupan panjang. Dan semua itu sangat jelas. Tidak ada keraguan sama sekali bagi Zera terhadap lelaki itu yang akan segera membuktikan perkataannya yang keji itu.
Zera memukul kepalanya sendiri. Ia merasa bodoh melakukan semuanya tanpa berpikir panjang. Ia merasa bodoh karena akhirnya memberi kesempatan bagi Adhitya untuk meninggalkannya. Ia sudah setengah mati jatuh cinta kepada lelaki itu. Bahagia dengan semua senyuman lelaki itu. Tatapan lembut yang Adhitya berikan. Juga... ciuman 'tak terduga itu.
"Zer, kau 'tak apa?" tanya Reva begitu sampai ke ranjang Zera. "Kau masih menggigil."
"A... Ad... Adhit..." gagap Zera masih tidak bisa mengendalikan kalimatnya sendiri.
"Aku sudah bicara pada Adhitya. Adhitya hanya emosi tadi," ujar Reva berusaha menenangkan. "Aku yakin Adhitya tidak bersungguh dengan ucapannya."
Zera hanya bisa menegang. Tidak bisa menyusun kalimatnya. Ada perasaan lega yang menjalari tulang rusuknya, namun jika itu bukan Adhitya sendiri yang mengatakannya, bagaimana bisa ia percaya? Tidak. Zera harus mendengarkan ucapan itu dari bibir Adhitya sendiri. Tidak boleh Reva yang mengatakannya.
"Adhit sudah berjanji padaku untuk meminta maaf. Kau tunggu saja dia datang kemari," lanjut Reva sambil memeluk Zera dengan erat. "Jangan khawatir. Tidak apa jika memang kau dan dirinya memiliki sesuatu yang lebih."
"Aku menyukainya. Jatuh cinta padanya. Menghormati dirinya," ujar Zera pada akhirnya. "Aku tidak ingin ia berbalik menyerangku dengan berjalan bersama wanita lain. Aku tidak bisa. Aku sudah cukup mati selama beberapa menit ketika melihat Adhitya memeluk mesra seorang wanita. Adhitya sangat sayang pada wanita itu dan aku tidak bisa tahan untuk tidak menangis. Lalu ia bersikukuh untuk menjadikanku sebagai kekasihnya tapi aku menolak dengan tidak jelas. Ia beranggapan aku menerima, lalu menyebarkannya ke seluruh penjuru sekolah. Lalu aku menuduhnya memiliki perasaan pada wanita lain. Aku bodoh ya?"
Reva memeluk sahabatnya itu dengan penuh kepedulian. Ia tidak tahu seberapa sakit yang Zera rasakan, tapi ia tahu kalau perasaan itu tidak main buruknya. Reva sudah menduga bahwa lelaki itu cepat atau lambat akan melukai Zera. Tapi yang ia tidak sangka adalah kenyataan bahwa ternyata Zera melukai dirinya sendiri. Sekaligus melukai Adhitya.
"Kau dan dia akan baik-baik saja, Sayang. Jangan khawatir," ujar Reva menenangkan.
"Tidak baik-baik saja sekarang. Aku harus meminta maaf padanya sebelum ia benar-benar pergi dan meninggalkanku untuk selamanya. Aku suka pada dia yang selalu berada di sisiku. Sulit melepaskan ketika aku tidak hanya nyaman tapi sudah terkurung dalam emosi yang ia ciptakan," isak Zera. "Aku mencintainya."
"Sudah hentikan, Zera."
"Dia," desis Zera untuk menyela tarikan napasnya, "yang pertama meraih tali kepercayaanku."