Sidoarjo, Jawa Timur
Kereta malam. Kuyup dalam basuhan hujan sejak petang tadi. Padi tak terlihat jelas diantara gelap. Hanya kelap-kelip lampu sederhana yang menggantung di teras rumah. Imaji kembali mengukir peristiwa. Menelusup lorong fana yang seringkali memaksa hadir. Berganti rupa menjadi ruang-ruang tanpa daya.
Bila saja dapat diterka warna tanah yang ada di malam ini, atau sekedar mencium baunya yang tersamar rintik hujan. Adakah di sana, di tempat itu Sin mencium aroma serupa? Paduan wangi air dan tanah yang khas, ataukah dia hirup udara sesak yang menumpuk di sanubari?
Rei bergeming, kembali berdiri di tempat ini. Delta Brantas yang tidak saja dipuja kolonial Belanda—yang menghamparkan perkebunan tebu dan membangun pabrik-pabrik gula. Delta Brantas ini juga menjadi saksi jatuh dan bangunnya raja-raja Jawa. Tempat bergulirnya kekuasaan dari satu wangsa pada wangsa yang lain.
Konon seiring dengan memudarnya pengaruh Wangsa Sjailendra di tanah Jawa, Wangsa Sanjaya pun mendirikan Kerajaan Medang di Bumi Mataram (Jawa Tengah). Setelah terjadi bencana alam, Kerajaan Medang dipindahkan ke Jawa Timur dan dimulailah masa Wangsa Isyana—dengan Mpu Sendok sebagai pendirinya.
Raja terakhir Kerajaan Medang, Dharmawangsa, meninggal dalam pesta perkawinan putrinya, setelah diserang Kerajaan Lwaram dan Kerajaan Sriwijaya.
Dalam peristiwa itu, anak dari Mahendradatta (saudari Dharmawangsa) dan Udayana (Bali), berhasil selamat. Anak ini dikenal dengan Airlangga.
Rakyat lalu meminta Airlangga kembali membangun Kerajaan Medang. Airlangga pun melanjutkan trah Wangsa Isyana dan mendirikan kerajaannya sendiri di dekat Gunung Penanggungan. Berkat dukungan rakyat, kerajaan yang didirikan Airlangga semakin besar.
Airlangga memindahkan ibukota kerajaan ke Kahuripan. Hingga kelak, kerajaan Airlangga ini dikenal dengan Kerajaan Kahuripan. Banyak yang berpendapat, Kahuripan kini berubah menjadi Sidoarjo.
Beberapa tahun kemudian, pusat kerajaan dipindahkan lagi ke Daha (Kediri). Sebelum Airlangga turun tahta, agar tidak terjadi perebutan kekuasaan, Kerajaan Kahuripan dibagi menjadi dua bagian. Kerajaan Janggala dengan ibukota di Kahuripan dan Kerajaan Kadiri dengan ibukota di Daha. Namun, Kerajaan Janggala tidak berlangsung lama, karena berhasil ditaklukkan Kerajaan Kadiri.
Tak lama setelah Ken Arok membangun Wangsa Rajasa dan mendirikan Kerajaan Singasari, Kerajaan Kadiri pun menjadi bagian dari Kerajaan Singasari. Karya klasik Pararaton banyak berkisah tentang perebutan kekuasaan Kerajaan Singasari yang berdarah-darah. Saling bunuh antara keturunan Ken Arok dengan keturunan Tunggal Ametung.
Singasari runtuh setelah Jayakatwang melakukan pemberontakan. Kertanegara, raja terakhir Singasari, berhasil dibunuh. Menantu Kertanegara yang bernama Raden Wijaya mendapatkan pengampunan setelah menyerahkan diri pada Jayakatwang. Raden Wijaya pun diberi Hutan Tarik yang berada di wilayah Sidoarjo.
Bersama rakyat, Raden Wijaya membuka Hutan Tarik dan membangun pemukiman. Kedatangan tentara Tar-Tar untuk menghancurkan Jayakatwang dimanfaatkan dengan baik oleh Raden Wijaya. Setelah Jayakatwang wafat, justru Raden Wijaya dan pasukannya yang mengusir tentara Tar-Tar dari Jawa. Raden Wijaya lalu mendirikan Kerajaan Majapahit.
Ini artinya, setidaknya ada tiga kerajaan yang pernah berpusat di Sidoarjo. Kerajaan Kahuripan, Kerajaan Janggala dan Kerajaan Majapahit. Dan di atas tanah subur rebutan raja-raja Jawa itulah, Rei menghirup udara
Ya, tepat di kota ini juga, ratusan tahun lalu telah menjadi satu pusat pergerakan kaum tani dan buruh. Tebu dan gula tak hanya sekedar menjadi komoditas, tapi juga pergulatan dan perjuangan. Bagaimanapun juga, gula pernah jadi simbol kekuatan modal di Jawa Timur. Kehadiran Suiker wet (undang-undang gula) menjelang tahun 1870 tentu cukup menggambarkan kalau gula adalah komoditi yang menggiurkan di zaman kolonial.
Frans De Putte, si mantan pengusaha gula di Jawa Timur itu berhasil juga menjadi menteri kolonial di Netherland sana. Dia membuat rancangan undang-undang cultuurwet. Tidak bisa dielakkan, bahwa rakyat Indonesia terpuruk habis-habisan sejak tanam paksa diberlakukan Van den Bosch tahun 1830. Rakyat dipaksa menanam komoditas yang laku di pasaran. Khusus pulau Jawa, dibentangkan berhektar-hektar perkebunan tebu.
Demi kembali meraup keuntungan besar, Van den Bosch menerapkan tanam paksa. Sebuah kebijakan yang tidak terlalu berbeda dengan sewa tanah ala Raffles. Sama-sama menjadikan 'domein verklaring' sebagai senjata ampuh mengambil tanah rakyat.
Sedikit berbeda dengan konsep Raffles, tanam paksa tidak meminta pemilik tanah untuk membayar pajak ataupun sewa, akan tetapi 1/5 dari tanah yang dimiliki harus ditanam dengan tanaman yang telah ditetapkan Pemerintah Kolonial. Dapat dipastikan, kebijakan ini menjadi satu titik penting yang tak terlupakan dari sejarah panjang perkebunan di Indonesia.
Memang perkebunan tebu di Jawa Timur telah hidup sebelum tahun 1830, namun dengan didukung adanya kebijakan tanam paksa, perhatian terhadap perkebunan tebu kian mendapat porsi utama. Ini menjadikan Jawa Timur sebagai daerah pertama di Indonesia yang terkena dampak revolusi Industri. Sebelum tahun 1830, seluruh perkebunan tebu masih mengandalkan tenaga binatang. Setelah tanam paksa dilancarkan, berbagai mesin canggih untuk pengelolaan pabrik gula didatangkan dari Eropa.
Sejak tahun 1830-1840 berdiri sejumlah pabrik gula di kerasidenan Surabaya. Nilai ekspor gula dari Hindia pada tahun 1840 mencapai 77,4 % dari jumlah seluruh ekspor, pada 1830 masih mencapai 66%. Keberadaan perkebunan tebu dan pabrik gula yang 'lapar tanah' menyebabkan tanah produksi rakyat terampas dan berakibat pada perubahan sosial.
Ekspansi gula yang gila-gilaan tidak hanya menerpa Surabaya dan sekitarnya, tetapi pulau Jawa secara keseluruhan. Hingga tahun 1929, sebanyak 180 pabrik memproduksi 3 juta ton gula, mempekerjakan 60.000 buruh tetap dan 700.000 buruh musiman. Bisa jadi ini salah satu efek dari berlakunya Agrarische Wet di tahun 1870 yang merombak Pulau Jawa sebagai hamparan kebun besar.
Maka disinilah Rei menggali kisah lampau dan mengais realita hari ini. Bukan lagi di kebun tebu warisan Pemerintah Kolonial. Musim berganti, Sidoarjo punya cerita lain. Rei tergugu melihat jalan tol yang terbelah. Jalan bebas hambatan yang menghubungkan Sidoarjo-Gempol telah hilang sebagian.
Pintu keluar tol yang harusnya berakhir di Gempol, dipangkas hanya sampai Porong. Di hadapan jalan tol yang terpotong, kereta api Surabaya-Malang melaju perlahan. Aliran lumpur panas beberapa kali menggenangi rel, hingga tak dapat dilewati kereta api listrik.
Tepat di sebelah rel kereta, tanggul besar tiga tingkat berdiri tegap. Cukup sulit untuk mendakinya. Warga sekitar membuat anak tangga dari bambu untuk menaiki tanggul. Ada tiga tingkat tangga bambu yang disediakan untuk mencapai puncaknya. Sayang, tak ada yang gratis.
Takdir yang menimpa para korban Lumpur Lapindo membuat mereka terpaksa menjadikan area ini sebagai objek wisata yang mendatangkan keuntungan.
Tampak seorang ibu begitu setia menyapa setiap orang yang hadir. Nametag yang menggantung dilehernya menunjukkan namanya. Perempuan itu menjajakan VCD tentang letupan lumpur lapindo. Setelah lahan mereka hilang, praktis hanya ini saja yang dapat mereka lakukan untuk bertahan hidup.
Agar bisa mengelilingi area terdampak yang tak mungkin dijelajahi dengan jalan kaki, terpaksa harus ojek motor. Setiap memasuki satu desa, sudah ada kerumunan orang yang berjaga dan meminta uang untuk masuk. Hingga Rei sampai di lumpur yang mulai mengering. Ada menara di sana yang bisa dijangkau sampai beberapa meter ke atas.
Sebenarnya agak sedikit mengerikan, karena lumpur masih gempur dan mudah membuat kaki terjebak. Meski begitu, sayang rasanya jika tak naik ke atas menara. Pelan-pelan dititi tangga menara dan sampai di tempat paling atas.
Pusat semburan terlihat jelas. Masih terus 'berdenyut' dan enggan berhenti. Entah sampai kapan semua ini berakhir. Nun jauh di sana, atap masjid masih terlihat. Hanya tinggal atapnya saja. Bangunan lainnya sudah hilang terendam lumpur. Sidoarjo sebagai kota tebu sudah punah. Kini Sidoarjo bak kota lumpur.
Meski begitu, kenangan tentang kejayaan tebu tetap abadi dalam goresan canting para pembatik. Di Kampung Batik Jetis, Sidoarjo, sehelai kain batik motif Teboan—yang berupa ragam hias bunga tebu—masih terus dibuat. Ini termasuk motif klasik. Ada juga motif beras wutah atau beras yang berceceran.
Motif ini mengingatkan pada hamparan padi di sepanjang jalan menuju Porong. Masih menggambarkan kondisi rakyat Sidoarjo yang banyak bertani, motif kembang bayam, menjadi salah satu motif klasik yang diminati. Hingga tahun 80-an, batik Sidoarjo memang tidak menggunakan gambar binatang.
Konon, kampung batik ini sudah ada sejak tahun 1675, ketika Mbah Mulyadi—yang dipercaya keturunan Kerajaan Kediri—pertama kali mengajarkan cara membatik pada warga Jetis. Ada beberapa galeri di Kampung Batik Jetis. Hanya sekedar untuk memajang batik saja. Pembatiknya tidak ada di sini.
Sejenak, Rei sempatkan melihat-lihat wajah Sidoarjo yang tergambar dalam motif-motif batik. Ingatannya melambung pada perempuan Sidoarjo yang pernah tinggal di Tulangan.
Sanikem namanya. Paras cantik Sanikem justru membuatnya menderita. Demi mendapat jabatan, ayahnya menjual Sanikem untuk menjadi gundik pembesar gula bernama Herman Malemma. Kelak dunia sastra mengenalnya dengan Nyai Ontosoroh.
Dalam Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer, Nyai Ontosoroh digambarkan berparas rupawan dan sangat fashionable. Selalu para wanita iri melihat kebaya encim berenda yang sering digunakan. Semakin tampak elegan dengan kain batik bermotif kembang setaman atau buketan yang marak digunakan perempuan peranakan pada era kolonial.
Corak batik yang dikenakan Nyai Ontosoroh memang sarat dengan budaya pesisir yang meriah dan ceria. Jangan lupa, Sidoarjo kota delta.
Hingga kini, motif yang semarak penuh warna masih dipajang di galeri-galeri yang ada di di Jetis. Salah satu galeri menarik minat Rei. Seorang pramuniaga menghampiri dan menawarkan motif rawan dengan latar warna merah muda. Motif rawan ini termasuk motif baru—yang berkembang sekitar tahun 1980-an.
Motif rawan menggambarkan kondisi geografis Sidoarjo yang berada di pesisir dan masih banyak rawa. Kalau gambar rawanya lurus, disebut motif rawan kenceng. Kalau gambar rawa berkelok-kelok, disebut rawan inggek/engkok.
Batik Sidoarjo pada masa lampau tidak berwarna secerah ini. Memang unik sekali. Bagaimanapun, Sidoarjo adalah tanah para Raja. Pengaruh Keraton cukup kuat dalam batik Sidoarjo di masa lampau. Tidak heran jika warnanya cenderung gelap, seperti hitam atau cokelat tua.
Kini, di sudut-sudut galeri pun lebih banyak memamerkan motif-motif kontemporer yang lebih cerah. Ini pengaruh dari orang-orang Madura yang suka sekali dengan batik model begini. Ada motif kipas, burung, sawunggaling, kangkung, ukel, mahkota, kupu-kupu dan delapan penjuru. Khas sekali dengan warna-warni daerah pesisir.
Semakin ke sini, semakin bermunculan motif-motif baru yang lebih realis. Lihat saja, mata Rei tertuju pada motif bandeng lele berlatar hijau tua. Benar-benar ada gambar ikan bandeng dan lele, ikon Kota Sidoarjo.
Tapi rupanya, di kain batik tulis ini, motif lama tidak ditinggalkan. Di bagian bawah kain batik, tetap berhias motif kembang bayam. Juga berhias titik-titik besar seperti cecek/nitik yang dipercaya motif kuno batik Sidoarjo.
Meski belum seluruh kota Sidoarjo Rei itari, tapi waktunya tidak banyak. Rei mesti beranjak. Pindah haluan ke bekas ibukota Kerajaan Majapahit. (Bersambung)