Indramayu,
Hujan mengguyur. Sedikit nekat, Sin membawa mobilnya ke Pantai Karangsong. Keberuntungan sedang memihak. Di Pantai Karangsong, hujan berhenti. Tersisa hanya genangan di tanah yang becek.
Cukup merepotkan mobil yang mereka tumpangi. Satu roda mobil terjebak dalam tanah basah dan dalam. Terpaksa beberapa orang dan tukang parkir membantu mobil ini keluar dari jeratan tanah nan liat.
Sin yang berkali-kali tancap gas, Rami yang kelelahan. Sekretaris manis Rei ini mulai kelaparan. Tak bisa menunggu lama, Rei dan Rami turun dari mobil lebih dulu. Sin membuntuti di belakang
"Kak Areta, aku lapar…," kata Rami sambil mengelus perutnya.
Tiba-tiba tukang parkir yang membantu ikut menyahut. "Kalau lagi hamil memang begitu. Istri saya juga kalau lagi hamil makannya banyak. Cepat lapar."
Spontan Rami merengut. "Kak Areta, aku dikira ibu hamil…."
Rei hampir saja tertawa, tapi tidak sampai hati. Sialnya Sin, malah tidak bisa menahan rasa gelinya. Pas sekali saat Rami menengok ke arah Sin, ketika itulah, Sin tertangkap sedang tertawa kecil.
"Tuh kan, Mas Sin kenapa tertawa? Aku tahu yaa…."
Sin menghindar. Rei menarik tangan Rami ke warung terdekat. Membiarkan Sin menyusuri Pantai Karangsong, seorang diri. Dia kembali terbenam di antara bidikan kameranya. Tidak lagi peduli dengan sekeliling.
"Kalau di sini, yang indah hutan bakaunya, Mbak," ujar pemilik warung tempat Rei dan Rami menyambar gorengan.
"Ada, tapi harus naik perahu. Di dekat parkir tadi ada penyewaan perahunya."
Bisa dipastikan, tabiat impulsif Rei kembali muncul. Sudah sampai sini, sayang sekali kalau tidak main di hutan bakau. Tapi Rei tahu, Sin lelaki yang susah dibujuk. Apalagi Sin bukan tipikal avonturir. Rei sangsi kalau teman seperjalanannya mau diajak menyusuri hutan bakau.
"Yuk! Saya sudah ambil fotonya."
Sin mendatangi Rei dan Rami di bale dekat warung.
Sambil berdiri, Rei berusaha membujuk.
"Katanya ada hutan bakau dekat sini. Tapi harus naik perahu. Sayang kalau tidak ke sana."
Sin melihat jam tangannya.
"Tidak prioritas. Tapi boleh kalau waktunya cukup."
"Kita bisa tanya ke tempat penyewaan perahu."
"Iya, tapi kalau butuh waktu lama dan harga penyewaan perahunya mahal, jangan dulu ya. Mungkin lain kali saja."
Rei mengangguk antusias. Mudah-mudahan penyusuran ini tidak membutuhkan waktu lama. Rei ngin sekali berada di antara batang dan ranting bakau.
"Rei, Kamu tidak kepanasan pakai jaket begitu?"
Mereka keluar dari hotel saat matahari belum terbit dan gerimis menerpa. Jaket ini jelas menyelamatkan tubuh Rei dari dinginnya udara pagi. Tapi sekarang matahari sudah eksis. Di Pantai Karangsong, panas menyengat membakar kulit.
"Panas sih, tapi ribet kalau dibuka terus ditenteng," ujarnya sambil menyeka keringat di dahi.
"Sini! Biar aku simpan di mobil. Kamu dan Rami jalan duluan saja."
Rei melepas jaket panjang warna putih yang melilit tubuhnya. Memberikannya pada Sin. Lalu menarik tangan Rami untuk lekas berjalan. Sedang Rami senyum-senyum menggoda. Duh, ingin dicubit pipinya yang penuh berisi.
Tempat penyewaan perahu berada di seberang parkiran. Belum juga beberapa menit, Sin sudah menyusul. Mereka berbincang dengan pengelola hutan bakau. Syukurlah, hanya sekitar satu jam saja waktu yang dibutuhkan.
Mereka akan diantar ke dermaga hutan bakau dan satu jam lagi akan dijemput. Penyewaan perahu pun tidak terlalu mahal. Sayangnya tidak ada petugas yang mendampingi.
Perahu disiapkan. Mereka naik dan mengambil posisi masing-masing. Rei terbius hembusan angin utara. Sin sibuk dengan kamera di tangannya. Mengabadikan perjalanan.
Rami juga fokus dengan kameranya. Tapi bukan untuk memotret pemandangan. Dia lebih suka mengambil potret dirinya sendiri.
Tak lama, dermaga tampak di pandangan. Mereka turun dari perahu. Memastikan kalau orang yang mengantar akan datang menjemput. Tempat ini ibarat pulau kosong. Terjebak di sini berjam-jam pasti bukan cerita yang menyenangkan. Sin bilang, Rei tidak usah khawatir. Di perahu itu ada nomor telepon yang bisa dihubungi. Sin sudah catat nomornya.
Baru juga menapakkan kaki di dermaga, sudah disambut reklame dan papan informasi yang edukatif. Seperti majalah dinding yang enak untuk dibaca. Informasi ini berisi tentang hutan bakau, kawasan pesisir dan beberapa penjelasan lainnya.
Menariknya, ada juga curahan hati para calon rimbawan yang menorehkan kata-kata indah—yang diabadikan di papan-papan besar. Kalimat-kalimatnya bikin terbawa perasaan:
"Kapan saja kau ingin dinginkan hati karena kelelahan. Kapan saja kau ingin mencuri waktu dari sibuknya kegaduhan. Kapan saja kau ingin lupakan patahnya kerinduan. Datang dan simpan lelahmu di sini. Datang dan peluk heningmu di sini. Datang dan rangkai lamunanmu di sini. Aku akan ganti lelahmu dengan cinta dari semilir angin utara. Aku akan luruhkan sepimu bersama gelombang pasang yang menggelora. Aku akan bingkai lamunanmu dalam kanvas kasih sayang seutuhnya." (Paguyuban P4 (E27)) – Alumni Fahutan IPB.
Mereka tinggalkan kata-kata yang mengendap di kepala. Membaca satu prasati kecil di dekat gerbang masuk. Penanda didirikannya tempat ini. Ada logo salah satu BUMN di sana. Logo yang sama juga ada di gerbang warna hijau yang bertuliskan: SELAMAT DATANG DI TRACK EKOWISATA MANGROVE KARANGSONG.
Perhatian Rei mendadak beralih pada yang lain. Persis di tiang gerbang itu, ada simbol bakau yang sengaja dibuat lucu. Simbol itu memegang plang yang ditulis kata-kata: TEMUKAN AKU SEPANJANG PERJALANANMU.
Spontan Rei komentar. "Sepanjang perjalanan…jauuuh banget ya kayaknya. Belum juga ketemu, membayangkannya saja sudah lelah."
"Hahaha….siapa Rei? Jangan curhat (curahan hati)!"
Sial. Tanpa disadari, Biru sudah ada di sebelahnya. Sin senyum-senyum sendiri dan berlalu lebih dulu. Melintasi trek yang terbuat dari jembatan bambu. Rei menatapnya dari kejauhan.
Bayangannya semakin kecil dan menjauh. Satu simpangan membuat bayangan itu benar-benar menghilang. Barangkali, suatu nanti, bayangan itu tidak akan pernah lagi Rei temukan. Meskipun puluhan perjalanan dilakukan.
"Ayo, Kak" Suara Rami seperti komando yang memaksaku bergerak.
Jembatan bambu ini hanya cukup untuk satu orang. Mereka harus berjalan satu-satu. Seakan menyusuri hutan ini sendirian. Sepanjang perjalanan, tidak hanya ada bakau yang menjulang tinggi. Tapi juga tong sampah, papan nama biota dan papan informasi. Ini tempat sangat menarik untuk melihat lebih dekat biota di pesisir pantai. Jenis bakau yang ditanam pun aneka rupa.
"Mas Sin mana, Kak? Kok kita berdua ditinggal gitu? Kita kan cewek, kalau ada apa-apa, bagaimana?" Kata-kata Rami lebih mirip keluhan.
Rei mengangkat bahu. "Pasti ada di depan. Tidak apa-apa, ini treknya cuma satu. Kita tidak akan berpapasan dengan orang lain. Hewan di sini pun tampaknya aman."
Mereka berjalan lagi, hingga sosok Sin terlihat di kejauhan. Dia sedang berdiri sambil melihat ke belakang. Barangkali mencari aku dan Rami.
"Eh, ternyata ditunggu. Perhatian juga." Rami komentar lagi.
Rei hanya geleng-geleng. Ada saja yang dikomentari Rami. Rei sendiri enggan banyak bicara. Hanyut di antara ranting dan akar bak ukiran di pintu kayu. Cantik. Semakin memukau dengan sedikit daun menghijau.
Tidak rimbun. Hingga memberi kebebasan pada sinar matahari untuk menyusup sempurna. Menembus hutan yang gelap. Menggoda matanya yang silau dengan cahaya dirgantara. Entah Sin ada di mana, Rei hanya tahu, Rei ada di situ. Tempat menimbun rindu rahasia. Rindunya pada alam, tidak akan pernah patah.
Perjalanan ini lumayan panjang dan sedikit membuat lelah. Rami sampai cemas, takut tidak ada pangkal dari titian yang diapit pohon-pohon tinggi. Cahaya terang tampak di ujung sana. Menara tinggi menjulang beberapa meter ke angkasa.
Sin terdiam di kaki tangga menara. Melihat mereka datang, baru dia naik ke menara pandang paling atas.
Rei dan Rami juga naik. Dari atas menara pandang ini, hutan bakau terlihat sempurna. Juga laut dengan ombak-ombaknya yang tampak putih begitu sampai di pantai.
Kini langit terasa dekat, sedang laut begitu jauh dan kecil. Pohon-pohon yang tadi hendak menghimpit merema dalam gelap, sekarang terlihat kerdil dan rapuh. Hampir saja merasa pongah, tapi saat mata Rei menatap angkasa yang membentang, mengertilah Ia, langit dan bumi begitu baiknya. Langit atapnya dan bumi alasnya. Di tengah keduanya Rei bernapas.
Hampir satu jam sudah perjalanan ini. Mereka turun. Baru tersadar kalau telah berada lagi di dermaga tempat mereka datang. Ternyata trek dibuat memutar. Pengunjung memulai dari satu titik dan akan kembali ke titik yang sama.
Bagai mengitari orbit. Perahu yang tadi mengantar mereka sudah datang. Syukurlah, ketakutan Rei—kalau perahu itu lupa menjemput mereka—tidak terjadi. Mereka dikembalikan dengan selamat ke Pantai Karangsong.
Mobil Sin dipacu ke tempat yang lain. Seorang perempuan berkerudung panjang menyambut kedatangan mereka. Kebetulan pemiliknya sedang tidak ada tempat. Perempuan itu hanya menjaga galeri batik Indramayu saja.
Bagi Rei sendiri, batik Indramayu—yang populer sebagai batik Panoman—bukan hal baru. Rei lebih dulu mengenalnya ketimbang Sin. Mungkin sekitar tahun 2010, Rei sudah menyusuri beberapa rumah pembatik Indramayu.
Ada dua motif batik Panoman yang menjadi koleksinya. Motif Gulden berlatar hitam dengan keping mata uang berwarna emas. Ini menggambarkan mata uang Belanda. Motif ini bisa dibilang warisan budaya kolonial yang hidup di Indramayu. Satu lagi motif Etong yang menggambarkan berbagai biota laut, seperti ikan gurame dan udang.
Batik Panoman memang merupakan batik pesisir—dimana motifnya lebih banyak bercerita tentang alam dan aktivitas masyarakat sehari-hari. Warnanya pun lebih beragam dibanding batik keraton seperti batik Vorstenlanden (Yogyakarta dan Surakarta).
Batik Panoman Indramayu sendiri diperkirakan sudah ada sejak abad 14 M. Pengaruh batik Lasem cukup kentara dalam beberapa motif batik Panoman. Tetapi pengaruh batik keraton juga terlihat, meski mengalami penyesuaian dengan budaya pesisir. Motif-motif sakral seperti parang, kawung atau sawat tetap diproduksi di Indramayu, dengan warna dan variasi yang lebih bebas.
Ada banyak kain batik yang dipajang di galeri. Mulai dari batik cap, batik kombinasi ataupun batik tulis. Beberapa cukup menarik hati. Sin paling suka dengan motif complongan.
Barangkali, complongan ini memang hanya ada di Indramayu. Sebenarnya, complongan ini bisa dibilang metode melubangi kain batik dengan jarum. Biasanya alat complongan terdiri dari 20-30 mata jarum yang dijepit dengan kayu ukuran 5 x 5 x 2 cm. Setiap mata jarum menghasilkan lubang dengan diameter 0,5 milimeter.
Meski ditusuk-tusuk dengan jarum khusus, tapi kain batik tidak akan bolong. Sebab lubang-lubang kecil—hasil tusukan jarum—akan tertutup dengan sendirinya saat proses pewarnaan batik. Hasilnya, seperti ada tekstur di kain batik. Jika diraba, teksturnya mirip-mirip dengan kain doby.
Setelah melihat-melihat beberapa batik complongan, mereka membeli batik tulis complongan motif puyong, kapal kandas dan puyong. Motif kapal kandas menggambarkan kapal yang karam di sekitar bantaran Cimanuk dan pantai utara Jawa.
Sedang motif puyong mengambil bentuk burung besar yang tubuhnya mirip merpati. Konon burung ini sering hinggap di sekitar rumah penduduk.
Dan, tanpa terasa, waktu makan siang hampir tiba. Lama juga rupanya, kami mengagumi keindahan batik Panoman. Mereka pamit dan keluar dari galeri batik. (Bersambung)