Jakarta,
Rei membuka pintu kamarnya. Aroma khas menyeruak dari rak kayu yang mulai lapuk dimakan rayap. Rak tempat buku-buku berjajar rapi. Tempat ratusan pemikiran manusia bisa dijumpa tanpa mesti bertatap muka.
Bisa Ia rasakan gemeretak tulang yang memasuki awal 30 tahun. Sebentar lagi renta. Mungkin akan kurang leluasa membawa tas ransel keliling Jawa seperti kemarin-kemarin.
Tubuh kecil rebah di kasur empuk dengan seprei dan selimut tebal gambar senada. Duh si kodok yang punya senyum lebar. Masih sama seperti saat kutinggalkan beberapa waktu lalu.
Ditinggalkan kamarnya sebentar. Menuju kamar mandi untuk bersih-bersih. Ganti baju dan kembali ke kamar. Matanya terpejam bersama senyum lebar si kodok.
Sempat matanya terbuka ketika seseorang masuk ke kamar dan meletakkan paket buku untuknya. Hanya sebentar dilirik. Tak kuasa Ia tahan rasa kantuk yang memburu.
Saat terbangun, Rei lihat lagi paket itu. Buku dari Sin. Saat Rei di Semarang, Sin memang mengabari kalau dia sudah pulang. Oleh-oleh untuk Rei katanya mau dikirim saja. Rei tolak. Ia bilang bisa diambil jika bertemu. Toh, tidak akan terburu-buru untuk dibaca. Paling singgah dulu di rak kayu yang lapuk itu.
Tapi Sin berkeras ingin kirim saja. Biar bisa cepat dibaca katanya. Sayang, tubuhnya yang sebentar lagi butuh susu kalsium tinggi ini sepertinya susah diajak kompromi. Ia kirim pesan pada Sin melalui telepon seluler untuk mengucap terima kasih. Buku itu dibiarkan tetap di tempatnya dan Rei kembali memilih istirahat.
Badannya agak bugar setelah hibernasi cukup lama. Ia lihat lagi buku pemberian Sin. History of Textile. Rei tersenyum puas. Buku yang sangat bagus. Terlihat harganya tidak murah. Apalagi dengan mata uang Rupiah.
Buku tebal dan berat itu ada di dalam plastik. Persis di atasnya ditempel kertas putih cukup tebal dengan selotip berenda warna peach dan motif polkadot. Lucu sekali selotip ini. Rei menggelengkan kepalanya beberapa kali. Sungguh telaten lelaki yang menempel kertas alamat dengan selotip sebagus itu.
Hanya kertas alamat? Sebentar. Hampir saja kertas putih itu dibuang ke tong sampah. Kembali Rei pungut kertas putih agak tebal. Dibaliknya kertas itu. Tampak keindahan Sungai Thames dan Big Ben menyatu dalam nuansa monokrom.
Tidak salah lagi. Pasti Lintang Daksina yang mengambil potret cantik ini. Hampir saja terbuang. Sin tidak hanya menghadiahkan buku yang Rei mau, tapi juga ketenangan Sungai Thames hasil bidikan kameranya sendiri.
Kembali Rei hubungi Sin yang ternyata sudah ada di Bandung. Mereka janji bertemu di sana. Mungkin bersama Rana dan Ben juga.
Beberapa hari kemudian, lagi-pagi sekali Rei berangkat ke Bandung. Sin menjemput di shelter tempat travel berhenti. Jantung Rei berdegup melihat kembali sosok itu. Masih sama. Belum banyak yang berubah. Juga rasa di hati Rei. Juga belum berubah.
Sin mengemudi menuju Masjid di kampusnya. Di sana mereka akan bertemu Ben dan Rana. Tapi itu masih nanti sore. Sekarang baru jam makan siang. Sin membawa Rei ke satu sudut di dekat Masjid tempat mahasiswa mengganjal perut.
Tempat ini tidak asing buat Rei. Dulu saat masih kuliah, Rei juga pernah berkunjung ke kampus Sin dan mencicipi makanan di sini. Enak dan murah.
Satu meja panjang mereka pilih untuk meletakkan piring. Berdua mengunyah dalam diam. Lama tak jumpa bisa bikin lidah jadi kelu. Hanya dentang sendok-garpu beradu dengan piring yang terdengar. Hingga piring dikembalikan ke si pemilik dan ada lagi bunyi yang terdengar.
Sin mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sehelai kain batik tulis berwarna bunglon. Kadang terlihat hijau dan kadang terlihat merah muda. Ada hiasan seperti kembang api sebagai latar motif menyerupai belalai.
"Ini motif gajah oling. Setelah dari London, saya sempat ikut trip bersama komunitas pecinta batik. Kami mengunjungi batik Banyuwangi. Saya belikan satu kain batik khas Banyuwangi untuk kamu. Gajah oling memiliki motif seperti belalai gajah yang berbentuk tanda tanya. Gajah menjadi simbol kebesaran, karena gajah dianggap hewan paling besar. Sedang oling dalam bahasa suku Osing di Banyuwangi berarti mengingat. Mungkin sama dengan eling dalam bahasa Jawa. Makna dari batik motif gajah oling ini agar pemakainya selalu ingat pada Yang Maha Besar."
Kain cantik itu Rei ambil. Sin, entah sudah berapa banyak yang dia berikan? Bukan cuma perkara barang, tapi juga kenyamanan dan senyum tulus. Di matanya yang kadang sedikit sayu, selalu bisa Rei dapati aliran jernih yang menenangkan.
"Usaha kita memang tidak bisa berjalan. Tapi saya ada rencana menyusuri pesisir Utara Jawa untuk bahan tesis Saya. Kamu mau menemani? Kamu banyak mengerti tentang batik dan menyukai perjalanan. Kita bisa mulai dengan Indramayu-Ciwaringin-Cirebon."
Tak mungkin Rei tolak, batik dan perjalanan adalah dua sisi koin emas yang disimpan di hatinya. Tentu Rei senang menemani Sin. Tidak berdua. Sin memberi kebebasan Rei mengajak orang yang diinginkan untuk menemani.
Menjelang sore, baru Rana dan Ben datang. Ada Restu juga rupanya. Berlima, mereka kenang saat-saat bertemu dan membangun mimpi. Hingga Maghrib terlewat dan Rei harus pulang. Rana yang masih ingin mengobrol tentu senang mengantar ke shelter.
"Kamu pulang sama siapa?" Sin bertanya sebelum mereka berpisah.
Ben menyambar. "Kami yang antar. Saya dan Rana. Biasanya juga begitu."
Rei dan Sin terdiam.
"Kamu mau diantar siapa? Kamu gak papa diantar Rana dan Ben? Kalau kamu gak mau diantar saya, ya saya langsung pulang."
Setengah mati Rei menahan diri. Sungguhnya Ia ingin sekali Sin yang mengantar. Tapi Rei tak mungkin bicara begitu di depan Rana dan Ben.
"Nanti merepotkan kamu." Rei berkelit.
Sin tersenyum. "Gak repot. Rumah saya kan di dekat sini."
"Sama Rana dan Ben saja deh."
"Kamu yakin?"
Rei mengangguk. Meski dalam hatinya menggeleng. Rei masih ingin bersama Sin.
"Oke, saya pulang dulu ya."
Sin berlalu dan meninggalkan Rei yang mematung. Rana dengan riang menarik tangan Rei masuk ke dalam mobil. Bandung menjelang malam. Tak banyak bintang yang bersinar. Hanya sedikit harap dipanjat. Moga lain waktu ada masa untuk bisa bersama—meski hanya sekejap.
--- 0 ----
Indramayu,
Tok! Tok! Tok! Berisik sekali pintu diketuk. Rei selesaikan rakaat terakhir shalat Subuh. Dor! Dor! Dor! Orang di balik pintu rupanya tidak sabar. Sekarang pintu digedor kencang. Rami yang masih di tempat tidur hampir saja lompat. Pintu pelan-pelan dibuka. Ada wajah kesal Sin di dekat meja resepsionis.
"Jam berapa sekarang? Katanya mau lihat matahari. Kan sudah janji mau berangkat pagi-pagi."
Diberondong kata-kata begitu cepat, Rei hanya bisa meringis. Tidak bisa dibantah kata-kata Sin kalau dia sudah begini. Secepatnya Rei kembali ke kamar dan siap-siap. Sepertinya Rami mulai stres menemani perjalanan mereka. Setelah mobil yang hampir melayang semalam, sekarang dia harus kena damprat karena telat bangun.
Rami, salah satu junior Rei di kantornya didaulat menemani perjalanan mereka. Dalam bahasa Rami, perannya tak lebih dari obat nyamuk. Tapi nanti juga akan ada Taufan yang bergabung. Sementara waktu, Rami harus ikhlas menjadi yang ketiga dari dua manusia impulsif.
Gerimis menyambut mereka saat keluar dari hotel. Rei pesimis matahari mau menampakan diri dengan sempurna. Tapi syukurlah, kekesalan Sin sudah reda saat mobil meluncur ke Pantai Tirtamaya.
Setelah bayar tiket masuk, mereka parkir dengan bebas. Maklum masih pagi. Pantai Tirtamaya hanya dikunjungi sedikit pemancing.
Gerimis reda ketika mereka turun dari mobil. Dirgantara berubah cerah. Mungkin ini rezeki mereka. Meski sunrise juga belum muncul. Sin asik sendiri dengan kamera dan tripod-nya. Dia merekam semua yang tampak menarik. Meski tanpa matahari, Pantai Tirtamaya tetap mempesona.
Rei dan Rami berjalan menyusuri satu sisi pantai. Mereka terdiam di dermaga. Menikmati harmoni pagi yang begitu tenang. Ketika mereka membalikkan badan, tampak seekor kepiting besar dengan tubuh terbalik. Dia tampak menderita.
"Ini kepiting dari mana ya?" Rami merasa heran.
Rei menggeleng. "Dari tadi hanya ada kita berdua di sini. Pemancing jauh di sana. Tidak ada yang lewat pula. Masak jatuh dari awan?"
Spontan, Rami menganggkat kepalanya menatap angkasa yang cerah. "Hahaha…iya nih, Kak, jatuh dari langit, hahahaha…."
"Hei." Sin datang menghampiri. "Kok ada kepiting?"
Rei mengangkat bahu. "Entah jatuh dari mana…dia tidak bisa jalan karena tubuhnya terbalik. Kita harus tolong dia."
Pelan-pelan Rei balikkan tubuhnya dengannya dengan kayu. Kepiting itu waspada. Capitnya dibuka lebar. Hendak menghadang bahaya. Sebuah ekspresi yang sayang jika tidak direkam atau diabadikan. Beberapa menit kemudian, tubuh kepiting itu sudah kembali normal. Mereka tinggalkan kepeting janggal yang datang seperti jelangkung.
Angkasa berubah kemerahan. Rei tahu, sang surya kembali hadir. Tidak terburu-buru. Seakan memberi mereka kesempatan menyalakan kamera. Mencari posisi terbaik untuk mengabadikan fajar.
Laut kembali berubah warna. Sebelumnya membiru, sekarang menjadi keemasan. Bak satin emas yang melekat pada tubuh putri-putri di istana. Sederhana sekaligus megah.
Swastamita…merahlah laut yang sejenak tadi berwarna keemasan. Hadir mentari, mengganti rona warna samudera. Inilah kisah laut dan langit. Dua biru yang berjarak. Memantul satu sama lain. Bertahan tak luruh agar manusia bumi tetap selamat.
Tetapi cinta laut pada langit tak hanya sebatas biru. Saat langit memerah, laut pun memerah. Ketika langit kelabu, begitu juga dengan laut. Bila langit memancar emas merona, laut menyimpan kilau serupa.
Mungkin begitulah semestinya rasa kasih diumbar. Tidak selalu sama persis, namun pasti punya ruang untuk saling menyesuaikan.
Sin mengatur tripod dan kameranya sedemikian rupa. Berganti-ganti posisi dan sudut pandang. Rei dan Rami duduk di salah satu pondok kayu.
Mereka biarkan Sin dengan dunianya sendiri. Tidak hendak mengganggu. Apalagi mencampuri. Jika Sin sudah bersama kameranya, hanya pertandingan sepakbola saja yang mengalihkan perhatiannya.
"Kakak sama Mas Sin itu bagaimana?" Pertanyaan Rami seperti bisa ditebak.
Rei tersenyum. "Kamu melihatnya bagaimana?"
"Aneh sih kalian. Terlihat acuh dan cuek, tapi entah kenapa kayak saling sayang. Kalian pacaran?"
"Tidak." Rei menjawab datar.
Rek memang tidak pernah rewel tentang hubungannya dengan Sin. Bahkan Ia tak merasa perlu memperjelas apa yang dirasakan. Biar takdir yang menjawab semuanya. Mungkin Sin hanya menganggapnya teman. Mungkin hanya rekan kerja. Mungkin juga bukan apa-apa. Rei sendiri tidak tahu pasti.
Ada banyak ragu berkelindan. Berkali-kali Rei ingin pergi Sin, tapi seperti ada tembok tinggi. Seperti ada pagar besi yang gagal Ia terobos. Hingga Rei lelah dan menyerah. Jika satu hari Rei harus pergi dari Sin, biarkan itu atas kehendak dan rencana Tuhan yang selalu tak terduga. Rei yakin, jika saatnya sudah tiba, semua akan terjadi begitu saja.
"Tapi Kakak sayang kan sama Mas Sin?"Rami masih dengan tanyanya pagi ini.
"Aku tidak tahu Rami, apa yang sebenarnya tengah kujalani. Biar takdir saja yang menggiring. Yang aku tahu, jika waktunya telah tepat, aku pasti sudah siap. Siap untuk berjalan bersama ataupun siap untuk melangkah sendiri."
Entah Rami paham atau tidak, gadis itu hanya terpaku di depan Rei. Sin datang ke tempat mereka berdua. Mengajak mereka beranjak karena gerimis mulai terasa sakit di tubuh. Sebentar lagi, air dari awan itu akan benar-benar jadi deras. Mereka berlari, masuk ke mobil dan meninggalkan Pantai Tirtamaya. (Bersambung)