Chereads / ARETA & RENJANA / Chapter 26 - TIGA NEGERI

Chapter 26 - TIGA NEGERI

Lasem, Jawa Tengah

Rei kembali ke Sidoarjo dan diantar ke Terminal Bungurasih. Bus ke Lasem biasanya jurusan Surabaya-Semarang. Perjalanan dari Surabaya ke Lasem lumayan lama. Tapi cukup menyenangkan. Melewati Gresik dan Tuban. Juga tepian laut yang indah. Dua pelabuhan penting di era Kerajaan Majapahit.

Cukup lama bus ini terdiam di Terminal Tuban. Laut lepas yang begitu indah, barangkali di sinilah Pelabuhan Kambang Putih Kerajaan Majapahit pernah berjaya.

Sebagai pelabuhan internasional Kerajaan Majapahit, Pelabuhan Kambang Putih terkenal hingga ke berbagai belahan bumi. Kapal-kapal pedagang dari berbagai negara singgah di sini untuk menjual kain dan kerajinan yang mereka bawa. Juga untuk membeli rempah dan hasil bumi Indonesia.

Sayang, kisah kejayaan pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Nusantara hampir karam. Pun Pelabuhan Kembang Putih, tidak tampak lagi menjadi ruang berkumpulnya beragam etnis, bangsa dan budaya. Kapal-kapal jarang terlihat.

Kalau ada kapal-kapal kecil yang memukau mata, pastilah deretan kapal nelayan yang tengah bersandar di Sluke. Ya, Rei telah berada di Rembang. Sebentar lagi, mesti sampai kota Lasem. Kota yang dikenal dengan Little Tiongkok. Di Lasem, tinggal sewa becak untuk keliling.

Tujuan pertama, tentu saja klenteng legendaris di Lasem, Klenteng Cu An Kiong. Becak yang Ia tumpangi melewati jalan-jalan kecil yang dihimpit bangunan. Beberapa rumah malah tampak berlumut. Seperti melemparnya pada puluhan tahun silam.

Saat melewati sebuah rumah, tukang becak memberitahu kalau ini rumah yang pernah menjadi lokasi syuting Film Ca Bau Kan. Film yang diadopsi dari novel karya Remy Silado itu sendiri ditontonnya pertama kali di layar kaca.

Ceritanya tentang ca-bau-kan atau perempuan dalam area prostitusi yang menjadi simpanan juragan tembakau keturunan Tionghoa. Bukan semata-mata kisah cinta, film ini juga menggambarkan persaingan pengusaha Tionghoa sebelum Indonesia merdeka dan peran mereka dalam perjuangan kemerdekaan RI.

Rumah yang dimaksud tukang becak itu terkunci rapat. Sepi sekali. Seperti tak ada kehidupan. Tentu untuk masuk harus minta izin dulu pada ahli waris. Tukang becak sendiri tidak menyarankan ke sana. Agak seram rumahnya. Ya, tanpa tukang becak itu bilang pun suasana rumah sudah terlihat beda.

Becak lanjut melewati gang-gang yang masih dipenuhi bangunan-bangunan kuno dan berhenti di halaman Klenteng Cu An Kiong. Rei bingung mau apa. Tukang becak menyuruhnya masuk dan menemui penjaga Klenteng.

Sekarang tanpa sungkan, Rei masuk dari samping Klenteng. Mencari ruang penjaga dan minta izin. Tentu boleh masuk, asal harus lepas alas kaki dan tidak boleh foto beberapa tempat tertentu. Misalnya, bagian tengah Klenteng yang dipenuhi lilin, dupa dan sesaji. Rei menurut.

Memasuki Klenteng Cu An Kiong, wangi dupa langsung menyengat. Lampion-lampion cantik digantung di langit-langit. Nuansa merah tentu mendominasi. Berpadu dengan ukiran emas khas Tionghoa.

Rei mengamati ilustrasi yang dipajang di dinding Klenteng. Seperti kisah Dewa-Dewa yang tak Ia pahami. Ilustrasi ini berjajar cukup panjang dan besar. Konon, tinta yang digunakan untuk membuat ilustrasi di dinding ini dibawa langsung dari Tiongkok beberapa abad silam. Ini tinta khusus dan sudah tidak diproduksi lagi. Tinta tidak luntur meski sudah ratusan tahun.

Bisa dibilang ini salah satu Klenteng paling indah dan antik yang pernah Ia masuki. Meski Rei selalu takut dengan patung-patung Dewa dan bau dupa yang ada dalam Klenteng. Klenteng Cu An Kiong ini diperkirakan telah berdiri sekitar tahun 1411 M. Informasi ini diperoleh dari dokumen yang tersimpan di Leiden, Belanda.

Penjaga sendiri tak tahu kapan persisnya Klenteng ini berdiri. Namun yang pasti, diperkirakan Klenteng ini termasuk yang pertama kali didirikan di Pulau Jawa. Konon keturunan Tionghoa di Lasem sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit.

Menurut catatan Fa Hsien, sejak Abad ke-1 Masehi, sudah dikenal sebuah daerah bernama Ya-Wa-Di atau Javadwipa (Pulau Jawa). Umumnya yang datang lebih dulu adalah para pedagang. Diperkirakan pada abad ke-11, pemukiman Tionghoa sudah ada di Lasem. Sejak itu, perkawinan campuran antara Tionghoa dan Jawa semakin sering terjadi.

Setelah dari Klenteng Cu An Kiong, Rei lanjut ke Klenteng Gie Yong Bio. Masih dengan becak yang sama. Berbeda dengan saat memasuki Klenteng Cu An Kiong yang harus meminta izin lebih dulu, di Klenteng ini Rei langsung masuk saja. Beberapa orang pemuda tengah berkutat dengan pekerjaan pertukangan. Ada yang berwajah Jawa dan ada juga yang oriental. Mereka terlihat akrab dan membaur.

Mungkin ini warisan dari perjaalnan panjang Klenteng Gie Yong Bio. Klenteng bersejarah ini memang dibangun untuk menghormati Oei Ing Kiat, Tan Kee Wie dan Raden Panji Margono (putra Adipati Lasem).

Sekitar tahun 1740, seluruh daerah di Pulau Jawa meletus pemberontakan keturunan Tionghoa terhadap VOC. Pemberontakan—yang membuat Kali Ci Liwung di depan Toko Merah Oud Batavia berubah merah seperti darah—ini ternyata terjadi juga di Lasem. Ketiga tokoh di Lasem itu pun mengangkat sumpah setia untuk bersama-sama melawan VOC.

Meski sempat menguasai beberapa wilayah, namun jumlah pasukan yang tidak seimbang membuat ketiga tokoh itu berhasil dikalahkan VOC. Setelah peristiwa ini, Pakubowono II yang awalnya memihak Raden Panji Sumargono, berbalik memihak VOC. Sebagai penghormatan kepada tiga tokoh yang dianggap pahlawan, dibangunlah Klenteng Gie Yong Bio.

Pertama memasuki Klenteng Gie Yong Bio, Rei disambut baskom besar berwarna emas. Pada kiri dan kanannya, diletakkan beberapa kursi yang saling berhadapan. Seluruh dinding di bagian beranda dilukis gambar bernuansa monokrom. Hampir mirip dengan di Klenteng Cu An Kiong. Tapi yang ini tampak lebih detail dan nyata. Gambar-gambar yang terasa hidup.

Ya, setiap orang punya pengalaman dan sensasi sendiri saat mengunjungi tempat kuno dan bersejarah. Ketika di Klenteng Cu An Kiong, aku tak merasakan ada sesuatu berbeda. Tetapi di Klenteng di Gie Yong Bio ini, Rei merasa terjebak dalam masa lalu.

Seakan ada banyak duka, luka, darah dan air mata. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Hanya bulu kuduk yang berdiri. Membuatnya tanpa sadar, memeluk diri sendiri dengan kedua tangan mendekap bagian dada. Tak banyak waktu dihabiskan di sana. Rei harus kembali pada tujuan awalnya: menelusuri keindahan batik Lasem.

Sebenarnya, di jalan raya ada satu galeri batik yang besar dan terkenal. Koleksinya juga bagus-bagus. Sayang, hanya ada beberapa penjaga toko yang terlalu asik diajak mengobrol. Harus datangi tempat lain. Kampung batik yang letaknya tak jauh dari Klenteng Gie Yong Bio.

Seperti Klenteng Gie Yong Bio yang merupakan akultrasi budaya Tionghoa dan Jawa, begitu pula ciri khas batik Lasem—perpaduan unik motif Tionghoa dan Mataraman. Kabarnya, batik sudah dikenakan para bangsawan Jawa di Lasem sejak era Majapahit. Bahkan sampai sekarang masih dibuat batik berwarna cokelat dan biru yang dikenal dengan sogan Majapahit.

Ketika Laksamana Cheng Ho berlayar ke Nusantara, salah satu prajuritnya yang bernama Bi Nang Un memutuskan untuk tinggal di Lasem. Bi Nang Un tak sendirian, istrinya yang bernama Na Li Ni beserta kedua putrinya Bi Nang Na dan Bi Nang Ti ikut tinggal di Lasem.

Na Li Ni, Bi Nang Na dan Bi Nang Ti kemudian ikut belajar membatik. Kehadiran tiga perempuan Tionghoa ini ikut mempengaruhi motif-motif yang dilukis dengan canting. Na Li Ni memperkenalkan motif khas Tionghoa seperti burung Hong, qillin, lotus (bunga teratai) dan chrysantemum (seruni). Warna batik Lasem pun didominasi warna merah ati ayam—yang identik dengan budaya Tionghoa.

Sampai di Kampung Batik, Rei disambut banyak rumah yang disulap jadi galeri. Tak jauh beda dengan kampung batik di Laweyan (Solo) atau Giriloyo (Bantul). Langkahnya seperti dituntun memasuki salah satu rumah. Bertemu dengan perempuan keturunan Tionghoa berusia sekitar 60-an yang dipanggil Nyonya. Mereka mengobrol sebentar.

Nyonya mengizinkannya melihat proses pembuatan batik. Nyonya itu sendiri juga sedang mewarnai batik dengan teknik colet—yang menggunakan kuas dan pewarna sintetis. Warna dan motif yang dibuatnya semarak. Ciri khas batik Peranakan.

Pembatik di tempat ini ada sekitar empat sampai lima orang. Umumnya mereka membatik di rumah masing-masing. Setelah selesai, baru dikumpulkan pada si Nyonya yang sangat ramah ini.

Nyonya juga membuka kelas privat. Dengan 2,5 juta Rupiah, akan diajarkan cara membatik dari awal sampai akhir. Termasuk rumus pencampuran warna. Kalau cepat, proses belajar batik di tempatnya hanya sekitar seminggu. Paling lama dua minggu.

Nyonya mengeluarkan beberapa koleksi batik Tiga Negeri dan Tiga Warna koleksinya. Indah dan rumit sekali. Harganya tentu di atas Rp 500.000,00. Bagi pecinta batik, batik Tiga Negeri atau Tiga Nagri, tentu harus masuk daftar batik incaran. Batik Tiga Negeri punya cerita yang khas dan unik.

Ada yang berpendapat kalau batik ini dinamakan Tiga Negeri karena menggambarkan tiga budaya yang berbeda. Batik Tiga Negeri memang punya tiga warna utama, yaitu merah, coklat dan biru. Konon warna merah melambangkan budaya Tionghoa. Warna coklat melambangkan budaya Jawa. Dan warna biru melambangkan budaya Eropa.

Tapi ada juga yang berpendapat kalau Tiga Negeri menggambarkan tiga kota atau daerah. Dulu, proses pewarnaan batik belum semudah sekarang. Untuk mendapat warna merah, batik harus dicelup di Lasem. Untuk mendapatkan warna coklat, batik harus dicelup di Solo. Untuk mendapatkan warna biru, batik harus dicelup Pekalongan.

Konon, warna merah ati ayam hanya bisa didapat di Lasem. Pewarnaannya sendiri menggunakan akar pohon noni (mengkudu). Pada saat proses pencelupan, air tanah di Lasem dipercaya memiliki mineral tertentu yang membuat akar mengkudu menghasilkan warna merah seperti ati ayam. Ini yang membuat warna merah Lasem tak mungkin ditiru daerah lain.

Sehingga untuk membuat satu batik saja, harus diproses di tiga daerah yang berbeda.

Sering orang salah membedakan antara batik Tiga Negeri dengan batik Tiga Warna. Batik Tiga Negeri mesti punya warna coklat, merah dan biru. Sedang pada batik tiga warna, salah satu warna dalam batik Tiga Negeri bisa berubah menjadi hijau atau ungu. Kalau dalam kain batik ada warna coklat, merah, biru, hijau dan ungu, disebutlah batik itu dengan nama batik Lima Warna.

Di tempat si Nyonya juga berjajar batik motif Latohan. Ini termasuk salah satu motif khas Lasem. Latohan sendiri semacam ganggang yang banyak tumbuh di Lasem. Kian menggambarkan posisi Lasem sebagai kota pesisir yang dekat dengan kehidupan laut. Selain motif Latohan, motif Sekar Asem juga banyak dipajang di galeri.

Puas berbincang dengan Nyonya pemilik toko batik. Rei kembali berjalan kaki melintasi lorong-lorong sepi di Lasem. Jarang bertemu dengan motor atau mobil. Lebih banyak melihat becak dan sepeda.

Sejenak, kedua kakinya di warung kopi seberang Klenteng Gie Yong Bio. Meski kecil, tapi warung kopi ini sangat terkenal di kalangan wisatawan yang sering singgah di Lasem. Sekilas memang tak ada yang istimewa dengan warung kopi yang juga menjual makanan kecil itu.

Begitu masuk ke dalam, baru bisa ditemui beberapa orang yang sedang asik minum kopi sambil "nglelet". Ya, kopi lelet, kopi di Lasem ini bisa digunakan untuk membatik atau membuat kaligrafi. Tampaknya budaya membatik di Lasem sudah mendarah daging. Tak hanya kain, orang bisa membatik menggunakan media apa saja.

Beberapa lelaki yang sedang minum kopi dan duduk bersama di kursi panjang itu rupanya sedang nglelet di batang rokok. Rei memesan kopi dan menyapa mereka. Minta izin untuk gabung. Mereka melihat dengan heran, tapi membiarkannya duduk diantara mereka—yang semuanya adalah lelaki. Tanpa merasa sungkan, Rei minta diajari nglelet.

Caranya lumayan unik. Kopi dituang ke cangkir dan dihirup pelan-pelan sampai ampas kopi tersisa di cangkir. Lalu ampas kopi dicampur dengan susu kental manis. Setelah ampas kopi menjadi semakin kental, ampas kopi sudah bisa digunakan untuk melelet. Bisa pakai tusuk gigi atau lidi.

Seorang lelaki yang duduk bersamanya merelakan dua batang rokok untuk Rei lukis. Ternyata sulit juga nglelet di sebatang rokok. Percobaan pertama gagal. Tak putus asa, coba lagi di rokok kedua. Hasilnya lumayan, lebih bagus dari yang pertama. Tapi tetap tidak bisa sebagus yang dibuat para lelaki yang minum kopi di sana.

Mungkin karena kasihan, akhirnya, para lelaki yang sedang nglelet ini memberikan rokok yang sudah dilelet untuk Rei. Hari sudah sore. Waktunya kembali ke jalan besar dan menunggu bus antar kota. Melanjutkan perjalanan menuju Semarang. (Bersambung)