Chereads / ARETA & RENJANA / Chapter 27 - BUKETAN

Chapter 27 - BUKETAN

Semarang,

Sama seperti Surabaya, Semarang juga kota pesisir dengan pelabuhan yang ramai. Malah dulunya, sebagian wilayah Semarang ini laut yang mengalami pengendapan dan berubah menjadi daratan. Jika Surabaya punya Tanjung Perak, maka sebagai pasangannya, Semarang punya Tanjung Emas—yang lebih dikenal dengan Tanjung Mas.

Seperti banyak wilayah pesisir dan kota-kota bandar, berbagai etnis dan budaya tumbuh di Semarang. Kota lama semarang, seperti ruang temu antara budaya Tionghoa, Arab dan Eropa. Dengan status sebagai Staadsgemeente van Semarang di tahun 1900-an, Semarang—yang pernah diberikan Kerajaan Mataram pada VOC—tidak dipimpin oleh Bupati.

Bentuk bangunan di kota Semarang pun banyak mengadopsi bangunan di Belanda. Jika Lasem adalah Little Tiongkok, maka Semarang mendapat julukan Little Netherland. Seorang arsitek dari Eropa dipercaya untuk membuat rancang bangun kota Semarang kuno. Thomas Karsten, menjadi insinyur paling berpengaruh yang terkenal dengan tiang-tiang berbentuk cawan di Pasar Johar Lama, Semarang.

Tentu saja, salah satu bangunan peninggalan pemerintahan kolonial yang paling ikonik adalah gedung tempat sekarang Rei berada: Lawang Sewu. Gedung yang mendapat julukan seribu pintu ini ternyata hanya punya pintu kurang dari 500. Tapi itupun sudah siap membuat pengunjung tersasar. Tidak heran kalau Ia harus membayar jasa pemandu untuk menemani menyusuri lorong-lorong di Lawang Sewu.

Tiang dan lorong di gedung ini sedikit mengingatkannya dengan lorong-lorong di Museum Bank Indonesia dan Museum Bank Mandiri. Meski tidak sama persis. Tiang kokoh berwarna putih, langit-langit yang tinggi dan kusen kayu yang bertengger manis tidak hanya membuatnya terkesima, tetapi juga merinding.

Bukan rahasia lagi, gedung yang pernah menjadi kantor NIS ini juga pernah menjadi penjara dan saksi bisu perlawanan pemuda Semarang—terhadap tentara Jepang dalam Perang Lima Hari. Entah berapa banyak mayat tergeletak di sini? Suasana mistis dan angker sangat kentara.

Perjalanan mengelilingi Lawang Sewu—sebagai gedung paling angker kedua di Asia—sudah pasti membuat Rei berkali-kali menelan ludah. Meski begitu, Ia sangat menikmati peninggalan Belanda yang cantik dan kokoh ini. Jendela-jendela besar menjadi ciri khas bangunan Belanda di Indonesia.

Berbeda dengan jendela kebanyakan, jendela di Lawang Sewu—yang dibuka dengan cara mendorong atau menarik—justru tampak menghalangi udara yang akan masuk.

"Sengaja dibuat begini. Fungsinya, agar kaca jendela bisa menyaring kotoran yang masuk melalui udara," ujar pemandu wisata.

Rei keluar dari Lawang Sewu menjelang siang dan langsung menuju Kampung Batik yang terletak tidak jauh dari Pasar Johar dan Kota Lama Semarang. Ada beberapa rumah yang disulap menjadi galeri.

Semarang memang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan batik di Indonesia. Banyaknya peranakan Eropa, Tionghoa dan Arab di Semarang, membuat kain panjang dan sarung batik motif peranakan menjadi primadona.

Mungkin di Semarang juga, batik berubah dari kebutuhan rumahan menjadi barang komersil. Dalam catatan tahun 1817 yang berjudul batek or painted cloth, Thomas Stamford Raffles menggambarkan cara berpakaian orang Jawa. Para lelaki dengan bangga menggunakan batik yang dibuat oleh istri, anak perempuan atau saudara perempuan mereka.

Namun, di tangan peranakan Eropa bernama Carolina Josephina von Franquemont, batik berkembang menjadi industri baru. Tahun 1840, Carolina memulai workshop batiknya tidak jauh dari Gunung Ungaran.

Keberadaan Sungai Ungaran ini memberi keuntungan tersendiri, sebab pembuatan batik membutuhkan banyak air bersih. Batik produksi workshop Carolina dibuat sangat terbatas dan ekslusif, hingga menjadi kemewahan tersendiri bagi peranakan Eropa dan Tionghoa.

Kemahiran Carolina dalam menciptakan berbagai warna dari pewarna alami, membuat namanya bertengger dalam kosakata Melayu—dengan lahirnya varian warna hijau yang disebut Prankemon Green. Tahun 1867, Gunung Ungaran meletus dan ikut menyapu workshop batik milik Carolina. Namun di hati pecinta batik, batik Carolina memiliki tempat tersendiri dengan karya-karyanya yang dikenal dengan batik Prankemon.

Kesuksesan Carolina diikuti oleh peranakan Eropa dan Tionghoa lainnya. Workshop-workshop batik tumbuh di daerah pesisir yang kaya akan air. Seiring berjalannya waktu, Pekalongan—yang letaknya tidak jauh dari Semarang—mulai terkenal sebagai pusat workshop batik.

Batik van Zuylen dengan motif buketan yang indah atau batik Oey Soe Tjoen dengan motif Jawa Hokokai yang mengadopsi budaya Jepang, membuat kota Pekalongan sebagai surganya pecinta batik. Berkembangnya workshop batik di pesisir utara Jawa, tidak hanya melahirkan juragan batik, tapi juga buruh batik.

Hingga saat ini, keturunan peranakan Tionghoa dan Arab masih menunjukkan eksistensinya di Semarang. Seperti salah satu galeri yang Rei jumpai di Kampung Batik Semarang. Seorang lelaki keturunan Arab menghampiri. Mungkin dia generasi kedua atau ketiga yang mengelola galeri batik ini sebagai warisan turun-temurun. Hampir semua batik yang dipamerkan di tempatnya bermotif kembang setaman dengan ragam hias dan warna yang berbeda.

Berhubung ini batik pesisir, warna cerah seperti hijau, merah, kuning atau biru mendominasi latar dan motif batik. Sepertinya, batik-batik di sini mengadopsi budaya Eropa.

Bisa dilihat dari pilihan bunga-bunga besar yang tampak mekar dengan tumpal di tengah yang kebanyakan berlatar dlorong (garis diagonal). Juga warna biru yang menjadi warna favorit peranakan Eropa. Uniknya, di tempat ini, Rei menemukan sertifikat batik ramah lingkungan yang bertaraf nasional dan internasional.

Geleri lain yang menarik perhatiannya adalah galeri milik peranakan Tionghoa yang memamerkan batik-batik berwana merah dan putih. Motifnya yang berbentuk bunga sangat sedikit. Di Galeri ini, dipajang batik-batik bermotif bangau, kupu-kupu, phoenix, burung hong dan naga.

Motif-motif ini erat kaitannya dengan budaya Tionghoa. Motif yang juga sangat menarik adalah motif Qillin. Barangkali motif ini hanya bisa ditemui di sekitar Semarang dan Lasem. Itu pun sudah jarang yang bisa membuatnya.

"Qillin bisa dibilang motif stilasi dari 18 hewan dalam cerita mitologi. Kepalanya berbentuk naga, tubuhnya berbentuk rusa, memiliki sisik ikan emas dan berekor singa. Biasanya Qillin ada di depan rumah orang Tioghoa dan juga di meja sembahyang. Qillin diletakkan sepasang. Qillin perempuan memegang anak, yang menggambarkan tugas perempuan untuk mengurus keluarga. Qillin lelaki memegang bola, yang menjadi simbol kalau lelaki harus berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tetapi di Semarang ini, motif Qillin ada juga yang mengalami penyesuaian dan merupakan stilasi dari singa, kuda dan unta. Ini menggambarkan perpaduan budaya Tionghoa, Eropa dan Arab, yang hidup di daerah ini," ujar pemilik galeri—seorang perempuan bermata sipit dan berkulit putih yang tampak sangat cantik. Meski sedikit galak.

Rupa-rupanya tak hanya batik khas Semarang yang mengisi galeri. Tapi juga kain daerah lain yang tak jauh dari Semarang. Tenun Troso khas Jepara, tampak cantik berjajar di lemari kaca.

Sejenak Rei kagumi keindahan tenun Troso yang dibuat dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Warna biru pekat dengan garis seperti rintik hujan berwarna putih. Terlihat elegan dan menawan.

Bagian pinggir kain berhias motif sulur ringin dengan ulir menyerupai huruf S. Motif ini menggambarkan pohon beringin berumur panjang dan kuat. Mengandung doa agar langgeng dan tahan ditempa cobaan.

Troso sendiri sebenarnya merupakan nama desa di Jepara. Selain terkenal dengan ukiran kayu dan kemampuan gambar penduduknya, Jepara juga punya penenun yang setia melestarikan budaya secara turun-temurun.

Budaya menenun di Desa Troso diperkirakan sudah ada sejak abad ke-17, bersamaan dengan pengaruh Islam di Majapahit. Menurut Algemeen Verslag Residentie Jepara, aktivitas menenun ini sudah dilakukan sejak abad ke-19.

Sekitar tahun 1930-an, masyarakat Desa Troso masih menenun menggunakan alat yang dinamakan Gedog. Tahun 1940-an telah menggunakan alat tenun yang namanya Pancal. Tahun 1956, mulai banyak yang menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Sekarang, ada yang masih setia dengan ATBM, ada juga yang menggunakan Alat Tenun Mesin (ATM).

Tanpa terasa, waktu menjelang sore, Rei membeli beberapa batik yang sesuai di kantong. Batik peranakan dengan motif-motif yang padat dan meriah bisa dibilang lumayan menguras dompet.

Masih penasaran dengan perpaduan budaya di Semarang, Ia tancap gas menuju Klenteng Sam Po Kong. Setelah melihat-lihat gedung peninggalan Belanda, sekarang waktunya menikmati hiasan-hiasan unik budaya Tionghoa.

Katanya, seorang laksamana dari Tiongkok tanpa sengaja bersandar di Semarang—karena awak kapalnya banyak yang sakit. Sampai di Semarang, laksamana yang beragama Islam itu lantas mendirikan Masjid. Saat harus melanjutkan perjalanan, beberapa awak kapalnya tinggal di semarang dan menikah dengan penduduk setempat.

Kelak laksamana itu dikenal dengan panggilan Laksamana Cheng Ho dan Masjid yang didirikannya berubah menjadi Klenteng Sam Po Kong. Tidak terlalu aneh, sebab penganut Kong Hu Cu sangat menghormati nenek moyang yang telah tiada.

Klenteng Sam Po Kong sendiri didominasi warna merah. Cukup luas tempat ini. Ornamen budaya Tionghoa terlihat di setiap sudut bangunan. Menjadi latar menarik bagi mereka yang suka fotografi. Buat yang ingin foto dengan mengenakan baju khas Tionghoa juga bisa.

Ada tempat-tempat yang dilarang untuk masuk. Beberapa memang sedang direnovasi. Namun ada juga tempat sembahyang yang hanya boleh dimasuki oleh orang-orang yang berdoa.

Hari kian larut dan sudah waktunya makan malam. Rei ingin menikmati sisi lain Semarang. Tidak hanya berisi daerah pesisir yang panas, dataran tinggi Semarang juga layak dijajaki.

Sambil menyereput teh poci di teko dan gelas tanah liat, matanya dimanjakan dengan kelap-kelip lampu dari kota yang tampak gelap dan jauh di bawah sana. Tempat ini menawarkan pemandangan dari atas bukit yang menawan.

Dan Semarang, kota cantiku itu. Tempat di mana budaya Tionghoa, Eropa dan Arab melekat dalam semua rupa. Jendela-jendela bangunan kuno, helai demi helai kain batik beragam motif hingga raut wajah orang-orang yang kentara berbeda. Tapi di kota ini pula, perbedaan bukan jadi pertikaian. Perbedaan ada untuk dirayakan.

Dingin merambat dari kepala hingga ke ujung kaki. Hanya secangkir teh panas yang membuat jemarinya tetap hangat. Beberapa bulan lagi, tahun ini akan selesai. Berganti dengan angka yang baru dan segudang harap yang baru. Tetapi mimpinya masih tetap sederhana. Semoga masih ada esok pagi yang membuat perjalanan ini kian utuh.

Mungkinkah nama Sin akan ikut tertera dalam perjalanannya? Entahlah. Rei tak berani menebak-nebak. Hanya satu yang Ia pahami. Besok Sin pulang dari Inggris. Hatinya jadi buncah. Duhai Turida, melagu lah sekali lagi. (Bersambung)