Mojokerto, Jawa Timur,
Setelah Kerajaan Majapahit mengalami perkembangan yang sangat pesat, pusat kota dipindah dari Tarik ke Trowulan. Pusat kota ini dipindah agak sedikit ke dalam dan menjauh dari laut.
Majapahit adalah negara maritim sekaligus agraris. Konon Sungai Brantas—sebagai sungai terbesar di Jawa Timur—dimanfaatkan untuk menghubungkan daerah pesisir dengan pusat kota Majapahit.
Aliran sungai juga digunakan untuk irigasi. Ada pula yang bilang, kalau di pusat kota, dibangun kanal-kanal air. Entah hanya sekedar untuk aliran air, pengairan sawah atau transportasi air.
Moda transportasi air memang populer pada era Kerajaan Majapahit. Tercatat ada tiga pelabuhan besar yang dikuasai Kerajaan Majapahit. Pelabuhan ini sebenarnya sudah ada sejak Kerajaan Kahuripan dan Kerajaan Kadiri. Tiga pelabuhan penting ini adalah Pelabuhan Kambang Putih, Pelabuhan Canggu dan Pelabuhan Hujung Galuh.
Banyak yang percaya, Pelabuhan Hujung Galuh terletak tak jauh dari Pelabuhan Tanjung Perak (Surabaya). Sementara Pelabuhan Kembang Putih diperkirakan terletak di Tuban dan Pelabuhan Canggu ditaksir berada di Desa Canggu, Mojokerto.
Katanya—berdasarkan berita dari Cina—kapal-kapal asing yang ingin ke Majapahit, harus singgah dulu di Pelabuhan Kambang Putih dan Pelabuhan Hujung Galuh. Dari Pelabuhan Hujung Galuh, baru melanjutkan perjalanan ke pusat kota Majapahit dengan menggunakan kapal kecil dan merapat di Pelabuhan Canggu.
Pada masa-masa itu, Sungai Brantas jauh lebih besar dengan sekarang. Berbagai peristiwa alam membuat Sungai Brantas mengalami sedimentasi dan luasnya kian menyusut.
Ada juga yang bilang, Pelabuhan Hujung Galuh khusus untuk pelabuhan antar pulau. Pelabuhan Canggu berfungsi sebagai pelabuhan dalam yang menjadi pusat perdagangan. Sedang Pelabuhan Kambang Putih dijadikan pelabuhan internasional, tempat merapatnya kapal-kapal dari berbagai belahan dunia.
Membayangkan perahu-perahu berlayar di sungai ke tengah kota menghadirkan romantisme sendiri di benak Rei. Memang hanya romantisme belaka. Sekarang pun Ia menuju Mojokerto tidak menggunakan kapal atau perahu. Apalagi bermanja-manja dengan derasnya arus Sungai Brantas.
Perjalanan berlanjut ke Maha Vihara Mojopahit. Yang jadi incaran pastinya patung emas Buddha Tidur yang berada di halaman belakang Vihara. Beberapa orang tampak memperhatikan dengan seksama setiap ulir dan pahat yang ada dalam patung Buddha Tidur dengan panjang 22 meter, lebar 6 meter dan tinggi 4,5 meter.
Tidak pernah Rei bosan memperhatikan guratan-guratan kain pada patung Buddha Tidur yang tampak seperti kerutan kain yang asli. Detail sekali. Kekaguman Rei pada pemahatnya berlapis-lapis. Pasti butuh ketelitian tingkat untuk membuat karya seindah ini. Di bawah Patung Buddha Tidur terdapat pahatan-pahatan halus lainnya yang menceritakan fase hidup Siddharta Gautama.
Patung ini yang ada di Mojokerto ini menjadi Patung Buddha Tidur terbesar di Indonesia dan ketiga terbesar di Asia Tenggara. Namun, meski Kerajaan Majapahit bercorak Buddha dan Hindu, tapi Maha Vihara Majapahit ini bukanlah peninggalan Kerajaan Majapahit.
Tak jauh dari Patung Buddha Tidur, terdapat pahatan di dinding besar yang juga bercerita tentang fase hidup Siddharta Gautama dari mulai lahir sampai moksa. Paling mencuri perhatianku adalah kain yang digunakan oleh Ibu dari Siddharta Gautama. Tampak jelas pahatan menyerupai motif batik Mega Mendung khas Cirebon.
Sepertinya perkembangan batik memang tidak pernah bisa dipisahkan dari jejak seni rupa di Indonesia. Rouffer meyakini, batik sudah masuk ke Indonesia sejak abad ke-6 M. ini dibuktikan dengan berbagai ornamen mirip batik yang terdapat di berbagai candi dan patung peninggalan Kerajaan Nusantara.
Misalnya motif ceplok yang ditemukan pada Patung Padmani dan Patung Ganesha, yang diperkirakan dibuat pada abad ke-8 M sampai abad ke-10 M. Juga arca di dalam Candi Arimbi yang menggambarkan Raden Wijaya menggunakan kain motif kawung.
Teknik menyerupai batik sendiri telah dikenal sejak lama di Mesir sekitar abad ke-5 atau ke-6 M. Bahkan pernah ditemukan kain sutra di Asia Tengah yang menggunakan teknik merintang warna. Kemungkinan diimpor dari Cina pada masa dinasti Tang (618 - 906).
Sutra impor juga ditemukan di Jepang pada periode Nara (646-749). Kemungkinan juga dibuat oleh imigran Cina. Di Nusantara, teknik serupa juga telah lama dikenal di Banten dengan nama kain simbut. Di Sulawesi disebut galumpang dan di Toraja dikenal dikenal dengan sarita.
Umumnya, untuk merintang warna digunakan lilin atau tepung yang telah diolah hingga menjadi kental. Lilin atau tepung ini dioles ke kain menggunakan bambu kecil. Sedang untuk lilin malam yang ditorehkan di kain dengan canting hanya dikenal di Jawa. Tak heran di dunia internasional, teknik membatik dengan canting lebih populer disebut Javanese Batik.
Konon, budaya membatik yang berkembang di Jawa, pertama kali dibawa oleh pedagang-pedagang dari India. Pedagang dari India inilah yang mengajarkan putri-putri kerajaan kemahiran membatik. Bebeberapa motif batik punya posisi di penting dalam Kerajaan Majapahit. Misalnya motif gringsing yang digunakan tentara Kerajaan Majapahit saat berperang.
Begitu sakralnya, hingga motif ini dimuat dalam Kitab Pararaton. Dikisahkan Raden Wijaya sebagai pendiri dan Raja pertama Kerajaan Majapahit membagikan lancing (pakaian) gringsing kepada para prajurit yang akan berperang—sebagai simbol keberanian untuk berjuang sampai mati.
Motif gringsing sendiri berbentuk seperti lingkaran yang di tengahnya ada titik kecil atau disebut dengan mata deruk. Biasanya digunakan sebagai ragam hias latar. Ada juga modifikasi gringsing terbuka yang bentuknya seperti setengah lingkaran. Kelak ada yang menyebut motif ini sisik melik.
Perjalanan berlanjut ke Trowulan. Melewati Segaran atau kolam milik Kerajaan Majapahit. Kabarnya, Raja Majapahit sering menjamu tamu-tamu asing di pinggir kolam itu. Alat makan yang digunakan untuk menjamu terbuat dari emas. Setelah makan, alat makan emas ini dibuang begitu saja ke dalam Segaran. Sebuah pesan diplomatis yang sangat penting untuk tamu-tamu asing, Kerajaan Majapahit adalah kerajaan yang besar, berpengaruh dan sangat kaya.
Mobil yang Rei tumpangi tidak berhenti di dekat Segaran. Mobil langsung masuk ke dalam Museum Trowulan atau Pusat Informasi Majapahit (PIM). Rei memulai dari halaman belakang. Melihat-lihat berbagai patung dan arca yang menjadi koleksi museum. Patung dan arca yang ada di sini tidak hanya terkait dengan Kerajaan Mapahapit. Demi mengamankan benda-benda purbakala—yang dikhawatirkan hilang dan rusak di tempatnya asalnya—dari kerajaan lain juga diletakkan di sini.
Ada yang bilang, barang-barang bersejarah kadang hilang dan dicuri untuk dijual pada para kolektor. Untuk melindungi patung dan arca yang ada di Museum Trowulan, pengunjung dilarang mengambil gambar/foto. Beberapa patung masih utuh, sebagian lagi sudah rusak dan diletakkan tidak beraturan. Sayang tidak ada pemandu dari museum yang bisa "mendongeng" cerita lampau Kerajaan Mapahit dari patung-patung dan arca yang disimpan di dalam museum.
Di dalam ruangan, ada perhiasan, alat berburu, alat masak, mata uang, replika rumah, contoh pakaian dan semua perlengkapan yang pernah digunakan saat kejayaan Kerajaan Majapahit. Ingatan Rei kembali pada kisah Nyi Banowati, sang pembatik Kerajaan Majapahit yang kisah cintanya abadi dalam motif gandrung.
Di salah satu dinding, terpampang peta besar bergambar pulau-pulau di Nusantara. Lengkap dengan sumpah anyar Sang Mahapatih. Amukti Palapa Mahapatih Gajah Mada.
Beberapa tahun setelah Raden Wijaya—raja pertama Kerajaan Majapahit yang bergelar Kertarajasa Jayawarddhana—dinobatkan sebagai Raja Majapahit, seorang lelaki dari rakyat jelata lahir dari kasta yang tidak terlalu dianggap.
Kelak saat Tribbhuwana Wijayatunggadewi naik tahta—menggantikan Gayatri (ibunya) yang seharusnya naik tahta tapi memilih menjadi bhiksuni—Gajah Mada menjadi Mahapatih dan mengucap setia yang dikenal dengan Sumpah Amukti Palapa:
"Setelah tunduk Nusantara, aku akan beristirahat. Setelah tunduk Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, barulah aku istirahat."
Ketika Gajah Mada mengucapkan sumpahnya di Paseban, Hayam Wuruk baru saja lahir. Di bawah asuhan Patih Gajah Mada, Hayam Wuruk tumbuh menjadi calon raja yang bijaksana. Setelah Gayatri meninggal, Tribbhuwana Wijayatunggadewi turun tahta dan menjadi Bhre Kahuripan. Tampuk kepemimpinan Kerajaan Majapahit beralih pada Hayam Wuruk yang baru berusia 17 tahun.
Pada masa Hayam Wuruk menjadi raja dan Gajah Mada menjadi patih inilah, Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Sesuai dengan sumpahnya, Gajah Mada memang melakukan ekspansi ke kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Dengan kondisi alam Nusantara yang begitu luas dan didominasi laut, kekuatan maritim dan angkatan laut mutlak menjadi perhatian Kerajaan Majapahit.
Ekpansi dilakukan dengan cara-cara persuasif. Jika cara ini gagal, baru digunakan kekuatan militer. Kerajaan Majapahit tidak mencampuri urusan dalam negeri kerajaan-kerajaan bawahan yang berhasil ditaklukkan.
Kerajaan yang ditaklukan cukup memberi upeti dan mengirimkan utusannya pada waktu-waktu yang ditentukan sebagai simbol takluk pada Kerajaan Majapahit. Jika kerajaan yang ditaklukan melanggar ketentuan Kerajaan Majapahit, maka Kerajaan Majapahit tidak segan-segan menggunakan kekuatan militer.
Kekuatan militer Kerajaan Majapahit sangat ditakuti. Terutama angkatan laut. Demi mengamankan wilayahnya, Kerajaan Majapahit pernah memberantas bajak laut dari Sulu yang mengacaukan bagian barat Kalimantan.
Armada-armada ini juga ditempatkan di pantai utara Jawa—untuk melindungi pusat kota Kerajaan Majapahit dari pemberontakan atau serangan kerajaan bawahan—dan jalur perdagangan yang krusial. Seperti jalur perdagangan rempah-rempah.
Demi mewujudkan armada dan angkatan laut yang kuat, Kerajaan Majapahit memiliki industri pembuatan kapal sendiri. Konon, setiap kapal perang Kerajaan Majapahit dilengkapi pula meriam Jawa yang disebut cetbang. Baru-baru ini, dibuat replika kapal Kerajaan Majapahit yang berlayar dari Indonesia ke Jepang.
Mashyurnya kekuatan tentara Jawa sudah dikenal di mancangera. Hang Tuah saja hanya takut pada tentara Jawa. Bahkan Dinasti Ming pun merasa segan. Sayangnya, kejayaan Kerajaan Majapahit perlahan surut setelah meninggalnya Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Kerajaan maritim yang menguasai Nusantara itu sedikit demi sedikit kehilangan wilayahnya karena gagal mengatasi pemberontakan di daerah dan konflik perebutan kekuasaan di internal keluarga kerajaan.
Menyesapi jatuh-bangun Kerajaan Majapahit, Rei tersadar, negeri yang begitu besar dan kuat pun bisa koyak di tangan orang-orang yang serakah. Waktu menjelang sore, ditinggalkannya situs Trowulan. Menyimpan kenangan akan Kerajaan Majapahit yang melegenda.
Memang tak lagi bisa bermanja-manja dengan sungai. Tapi kan tidak ada salahnya mengikuti rute Sungai Brantas lewat jalur darat. Mobil diarahkan melewati jalan Mojokerto-Surabaya. Terus mengikuti jalan hingga menyebrangi Sungai Brantas. Tak jauh dari mobil yang melintas, Sungai Brantas bercabang menjadi Kalimas dan Sungai Porong. Kabarnya, di percabangan inilah, Pelabuhan Canggu terletak.