Hari itu adalah hari terakhir dimana Khana melihat wajah Raka, hingga kini bertahun telah berlalu sejak mereka berpisah di halaman sekolah.
Khana tidak tahu lagi dimana keberadaan Raka hingga kini, tidak ada kabar apapun yang ia dapat baik dari Adit ataupun sahabatnya yang lain.
Khana berjalan menyusuri lorong rumah sakit tempat Ia bekerja wajahnya Nampak lelah karena seharian harus memeriksa pasien yang akhir-akhir ini bertambah banyak karena wabah DBD.
Ponsel di saku jas putihnya bergetar, diraihnya benda berbentuk pipih itu lalu melihat siapa yang menelponnya malam-malam seperti ini.
"Ya, Bun." Ucap Khana dengan nada malas.
"Assalamualaikum." Sapa Bunda.
Khana tersenyum kecil, Ia bahkan sampai lupa mengucapkan salam pada Ibunya. "Waalaikumsalam."
"Kamu terlalu capek sehingga tidak mengucapkan salam pada Bunda." Tegur Bunda di seberang telepon.
"Maaf, Bunda. Hari ini aku memang lelah sekali, karena banyak pasien DBD yang kondisinya drop." Jawab Khana.
Dilain tempat Ibunya tersenyum mendengar keluhan anak perempuannya. "Jaga kesehatan, boleh bekerja dan membantu orang banyak, tapi kamu juga harus memperhatikan kesehatan kamu itu juga sangat penting."
"Baik, Bunda. By The way ada apa bunda telpon aku malam-malam begini?" Tanya Khana karena tidak biasanya bundanya masih terjaga saat malam telah larut.
"Tidak ada apa-apa, bunda hanya mengkhawatirkanmu, sudah dua hari kamu lembur, bunda hanya ingin memastikan jika kamu baik-baik saja."
"Oh, aku baik-baik saja bunda. Tidak perlu mengkhawatirkan aku." Kata Khana.
"Baiklah kalau begitu, jangan lupa besok pagi waktu kamu pulang mampir ke rumah lexa, ibunya sakit, tolong kamu periksa."
"Siap, bunda."
"Ya sudah, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Khana memasukkan kembali ponsel miliknya ke dalam saku jasnya. Perlahan Ia berjalan kembali menuju ke ruangannya untuk beristirahat.
Dengan langkah gontai, Khana mendorong pintu ruangannya lalu masuk dan menutup pintu itu kembali. Sofa panjang tempatnya terakhirnya melepaskan penat seharian bekerja. Dengan kaki yang menyelonjor, serta kepala yang ia rebahkan di sandaran sofa, perlahan matanya mulai menutup karena rasa kantuk yang tak tertahan.
Khana tertidur dengan lelap hingga tak menyadari jika pintu ruangan tempatnya beristirahat terdorong dari luar. Sosok laki-laki tinggi besar dengan celana levis sobek-sobek di lututnya masuk ke dalam ruangan itu.
Laki-laki itu berjongkok, lalu perlahan mengecup kening Khana, cukup lama. Laki-laki itu tersenyum kecil.
"Khana, aku selalu ada di dekat kamu, walau kamu tidak pernah menyadarinya. Kita akan segera bertemu. Aku mencintaimu khana, dulu, kini dan selemanya. Terima kasih telah menjaga dirimu dengan baik selama ini."
Laki-laki itu lalu memasang selimut yang Ia ambil dari dalam lemari pribadi Khana. Mengecup kening khana sekali lagi, dan melangkah mundur hingga mencapai pintu.
"Dari mana saja kamu?" Tanya Adit pada Raka yang baru saja masuk ke dalam rumah.
"Menemui Khana lagi?" Lagi, Adit bertanya pada Raka yang masih diam dan tak menjawab.
"Iya, aku menemui khana."
"Sudah berapa kali aku bilang padamu, temuilah Khana dengan menunjukkan wajahmu, tidak secara diam-diam seperti ini." Kata Adit.
"Aku belum bisa, aku tidak mau membahayakan dirinya." Jawab Raka.
"Tidak akan ada yang terjadi pada Khana, percayalah padaku." Adit berusaha meyakinkan Raka jika apa yang Ia katakan itu salah.
"Ayah dan Ibuku tidak pernah main-main dengan ucapan mereka, Dit. Kamu tahu itu."
"Tidak untuk kali ini, Raka." Jawab Adit sambil melangkah mendekati Raka yang hanya berdiri menatap keluar jendela.
"Kenapa kau begitu yakin?" Tanya Raka sambil menoleh pada Adit.
"Karena aku tahu, kini kau bisa melindungi Khana, bahkan kini kau tak perlu takut jika Khana dikeluarkan dari sekolah, karena dia sudah lulus dan sekarang malah sudah menjadi dokter."
Raka menarik nafas panjang, lalu memikirkan apa yang di katakan oleh sepupunya itu. Mungkin kana pa yang dikatakan oleh Adit adalah sebuah kebenaran? Tapi bagai mana jika Khana dikeluarkan dari rumah sakit hanya karena dirinya. Menjadi dokter adalah impian khana sejak kecil, tak mungkin Raka akan menghancurkan apa yang di cita-citakan oleh gadis yang sangat Ia cintai dari Ia masih kecil hingga kini Ia telah menjadi CEO besar.
"Tidak sekarang, Dit." Raka tetap bersikukuh dengan keputusannya.
"Cukup melihat Khana bahagia, itu sudah cukup." Lanjut Raka.
"Hingga Khana dimiliki oleh orang lain?" Tanya Adit, membuat Raka kembali menolehkan wajahnya pada Adit yang Nampak kesal.
"Itu tak akan terjadi." Jawab Raka.
"Itu akan terjadi, jika kamu tidak segera memberitahu Khana, jika kau selalu menjaga nya dari jauh, jika kau mencintainya hingga kini." Ucap Adit tetap berusaha meyakinkan Raka.
Raka diam tak menjawab semua yang dikatakan oleh Adit. Dia memang takut kehilangan Khana, dan tidak ingin Khana dimiliki oleh laki-laki lain, namun lagi-lagi keselamatan dan kebahagiaan Khana menjadi taruhannya.
"Terserah kamulah." Kata Adit menyerah. Lalu meninggalkan Raka sendiri di dalam kamarnya.
"Ya Allah, jagalah Khana, jodohkan dia hanya denganku." Doa Raka yang penuh dengan harapan untuk bisa bersama dengan Khana suatu saat nanti.
Raka berjalan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri, setelah itu masuk lagi ke dalam kamar, dan merebahkan dirinya diatas ranjang besar.
Pikirannya melayang mengingat wajah cantik berjilbab, seorang dokter yang berhasil merebut hatinya. Khana. Raka lalu mengambil sesuatu dari dalam laci meja nakas. Benda mungil yang berhasil Ia ambil dari kamar Khana dulu, dan juga kotak makan yang menjadi kotak makan favoritnya.
"Aku berjanji, suatu saat kita akan kembali bersama, Khana." Gumam Raka.
Pintu kamar terbuka dari luar menampilkan sosok sahabat sekaligus saudara sepupunya. Adit.
"Apa lagi?" Tanya Raka.
"Jangan salahkan aku kalau aku mengambil Khana dari mu." Kata Adit sambil bersedekap dan bersandar di kusen pintu kamar Raka.
"Jangan coba - coba, atau kau... Adit! Sialan!" Raka berteriak pada Adit saat saudaranya itu justru mengendikkan bahu dan keluar begitu saja dari kamar Raka setelah kembali menutup pintu kamarnya.