Khana berdiri di depan lobby rumah sakit pandangannya tertuju pada ponsel miliknya. Kakaknya telah berjanji untuk menjemputnya sepulang kerja di rumah sakit. namun hingga setengah jam dari waktu yang di sepakati, kakaknya belum juga muncul di hadapannya.
Raka yang berada di dalam mobil yang terparkir tak jauh dari khana berdiri hanya menatap wanita kesayangannya itu dari kejauhan. Kerinduan yang selama ini Ia pendam bertambah menumpuk saat melihat wajah manis yang berdiri dengan gelisah saat ini.
Tak lama kemudian mobil silver berhenti tepat di depan rumah sakit, Khana tersenyum, lalu melangkah menuju ke mobil yang berhenti tepat di hadapannya. Khana mengerutkan dahi ada desir rasa cemburu dan ke khawatiran yang melanda hatinya melihat senyum manis Khana tertuju bukan untuk dirinya.
'Siapa yang menjemput Khana?' Gumam Raka sambil menegakkan pungungnya untuk melihat lebih jelas laki – laki yang duduk di belakang kemudi.
Khana segera masuk ke dalam mobil lalu mencium tangan kakaknya itu dengan takzim.
"Maaf telat, sayangku."
"Ga apa – apa kak, pasti kakak sibuk ya?"
"Ya, di Batalyon ada latihan gabungan jadi kakak harus pastsikan semua persiapan untuk latihan telah tersedia."
"Kakakku memang sangat luar biasa. Aku bangga sama kakak."
"Kita langsung pulang atau ada sesuatu yang ingin kamu beli, atau kita mampir kemana dulu nih?" Tanya Razi kakak kandung Khana.
"Langsung pulang aja deh, kangen sama si Chubi."
Razi tersenyum, Ia sangat tahu jika Khana sangat menyayangi anak nya itu. Bahkan Khana selalu protektif terhadap kesehatan bayi kecil yang sering di panggil dengan sebutan Chubi itu.
"Kak Anisa pasti kerepotan mengurus si Chubi sendirian, bunda kan lagi sakit."
"Sudah biasa, kakak iparmu bukan wanita yang suka mengeluh kadang itu yang membuat kakak khawatir padanya,"
"Memang Kak Anisa itu menantu idaman Bunda."
Mobil yang mereka tumpangi merambat membaur hiruk pikuknya kota Jakarta yang padat akan lalu lalang kendaraan, ditambah lagi dengan suara klakson yang bersahutan menambah irama di antara hiruk pikuk keramaian jalan.
Raka masih setia mengikuti laju mobil yang di tumpangi Khana dengan seseorang yang membuatnya galau bukan kepalang.
'Dia seorang Tentara, sejak kapan Khana dekat dengan seorang tentara?'
Raka terus bergumam dengan tatapan mata yang tak dapat lepas dari mobil di depannya.
"Khana, apa kamu masih mengharapkan untuk bertemu dengan Raka?" Tanya Razi pada sang adik yang sedang sibuk menatap keluar jendela menatap mobil yang berlalu lalang menyalip mereka.
Khana mendesah nafas berat, "Aku juga tidak tahu kak," Sahut Khana pada akhirnya sambil mengigit bibir bawahnya dengan wajah yang tertunduk lesu.
"Mengapa kamu tak coba membuka hati kamu untuk laki – laki lain? Usia kamu sudah cukup matang untuk menikah, mengapa seolah kamu menunda – nunda, tidak kah kamu ingin melihat bunda bahagia bisa melihat dirimu menikah?"
Khana menarik nafas panjang dan lagi – lagi Ia hanya diam seperti yang sudah – sudah setiap kali ia ditanya perihal pernikahan ia selalu bungkam.
"Khana sampai kapan kamu ma uterus bungkam, apa kamu berpikir bahwa Raka akan kembali padamu, lagi pula apa dia juga menyukaimu? Kakak tidak mau kamu membuang waktumu dengan sia – sia hanya untuk menanti sesuatu yang tidak pasti."
Khana masih setia dengan diam. Tak ingin mengucapkan sesuatu yang kelak akan ia sesali, maka lebih baik ia hanya diam dan mendengarkan kakaknya berbicara.
Razi membelokkan mobilnya memasuki halaman rumah, sedangkan Raka memilih berhenti di jalan komplek sambil mengamati Khana dari kejauhan. Beberapa menit kemudian Raka melihat seorang laki – laki turun menhggunakan seragam tentara. Dan mencium seorang bayi mungil yang di gendong oleh seorang perempuan berjilbab. Lalu disusul Khana yang juga ikut menciumi dan mencubit gemas anak kakaknya itu.
Razi menoleh ke jalanan melihat motor dengan suara yang memekakkan telingga, kesempatan itu menjadi kesempatan bagi Raka untuk melihat wajah laki – laki berseragam tentara tersebut.
"Kak Razi." Dahi Raka berkerut, seingat yang di katakan oleh kakeknya, Razi hilang dalam tugasnya di Afghanistan, lalu siapa yang ia lihat? Apa kakeknya salah?
Raka buru – buru mengeluarkan ponsel miliknya lalu menghubungi Adit. Ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Hallo, Dit."
"Ya, Ka."
"Waktu itu kakek berkata jika Kak Razi kakak nya Khana hilang saat menjadi pasukan PBB di Afghanistan, tapi aku sekarang dapat melihat dengan mata kepala ku sendiri, jika kaka Razi ada di rumah bunda, bersama dengan seorang wanita dan seorang bayi, bahkan Ia menjemput Khana di rumah sakit."
Di lain tempat Adit mengerutkan dahinya, lalu membuka laptop yang ada si hadapannya.
"Kamu yakin, Ka?" Tanya Adit namun jemarinya dengan lincah mengetikkan kalimat – kalimat di atas keyboard.
"Aku sangat yakin, jika itu benar kak Razi."
"Aku sedang menyelidikinya, persoalan ini semakin rumit, sebenarnya apa yang terjadi, aku semakin penasaran, Ka."
"Begitu juga dengan diriku."
"Ka, aku harap kamu jangan bertindak gegabah dengan muncul di hadapan Khana saat ini, walau tempo hari aku menyuruhmu untuk segera menemui Khana. Aku hanya takut, hal itu akan membahayakan dirimu."
"Baiklah, tolong kabari aku jika ada informasi yang kamu temukan."
"Ok."
Raka lalu menutup panggilan telponnya pada Adit, Ia lalu meninggalkan komplek perumahan yang di tempati oleh Khana.
Pikirannya mencoba memasang kepingan puzzle yang masish berserakan, begitu banyak rahasia antara keluarganya dan juga khana. Parahnya semua rahasia itu bersangkutan dengan keselamatan nyawa mereka.
Di tempat lain.
"Ini bisa kita gunakan untuk membuat senjata yang tak tertandingi, sekali tekan ini dapat memusnahkan orang satu kota bahkan mungkin satu negara." Ujar salah satu orang yang berpakaian serba putih di dalam laboratorium.
"Kau tidak akan bisa menggunakan alat itu!" Kata seorang laki – laki dengan tangan terikat erat menggunakan rantai.
"Kau harus membantuku untuk mengaktifkan alat ini!" Paksa laki – laki yang menggunakan jas berwarna hitam.
"Sampai matipun aku tak akan sudi membantu kalian!" Kata laki – laki dengan tangan terikat.
PLAAKKK!!!
"Ingat keluargamu disana, apa kau ingin melihat keluargamu mati dengan cara mengenaskan, professor Atmaja?"
"Barata! Kau tak akan pernah bisa mengintimidasiku! Ingat itu!"
BUGH!!!
Pukulan lagi – lagi di sarangkan ke perut Atmaja oleh Barata, dengan tatapanj tajam Barata menekan rahang Atmaja dengan keras.
"Kamu pasti akan membantuku menggunankan alat itu!" Ucap Barata