Chereads / KEMBALILAH / Chapter 2 - IDENTITAS ASLI

Chapter 2 - IDENTITAS ASLI

"Namaku adalah Rafardhan Radhitya Syahreza. Panggil saja Rafa atau Ardhan juga boleh," katanya singkat.

Aku hanya bisa diam dalam ketertarikannya terhadap nama indah lelaki itu. Seumur hidupku, aku hanya mengenal dua pria yang memiliki nama yang indah. Yang pertama adalah ayahku, William Anderson Brawijaya. Dan yang kedua adalah kakakku sendiri, Daud Agustinus Mahendra Brawijaya. Selain daripada dua orang tersebut, aku belum pernah sekalipun mendengar nama seindah nama pria berbadan kekar yang sedang duduk di depanku itu.

Aku berusaha untuk tidak menjadi berlebihan. Tingkahku yang over acting bisa membuatnya curiga. Aku tak mau sampai hal itu terjadi. Kubiarkan diriku tak merespon balik jawaban darinya, agar kondisiku bisa kembali tenang. Lagi - lagi dia membuatku semakin jatuh hati padanya.

Kali ini, aku harus bisa mengorek lebih dalam tentang jati diri sebenarnya dari pria bernama panggilan Rafa ini. Sekarang suasana hatiku sudah membaik. Dan inilah saat yang paling tepat untuk menanyakan identitas lengkapnya. Kebetulan dia sedang tidak melakukan aktifitas lain, selain mengemudikan mobil.

"Boleh aku bertanya sesuatu lagi kepadamu, Rafa?" tanyaku malu - malu.

"Boleh saja, aku siap mendengarkannya dengan senang hati," ujarnya sambil memalingkan wajah tampaknya kepadaku.

"Dari mana kamu tahu bahwa aku baru saja sampai di bandara? Atau adakah seseorang yang telah menyuruhmu untuk menjemputku?"

"Oh, kalau itu," serunya sambil terdiam sesaat, lalu melanjutkan lagi, "Aku mendapat kabar dari Ayahmu. Sering telepon telah mengusik sedikit kenyamanan tidur ku tadi pagi. Setelah kulihat, oh, ternyata dari papa mu, William. Beliau mengatakan bahwa kamu akan tiba di Jakarta siang nanti dan menyuruhku untuk menjemputmu. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk menunda pekerjaan kantorku untuk hari ini dan datang untuk mengantarkan kamu kembali ke rumah."

"Alasan apa yang membuay sehingga ayahku tak bisa datang menjemputku sendirian. Kenapa harus meminta bantuan darimu?" tanyaku semakin penasaran.

"Tentang alasan itu aku sama sekali tak tahu. Tapi sepengetahuanku, akhir - akhir ini Ayahmu sedang disibukkan oleh pekerjaan kantorannya. Mungkin, itulah alasan penyebab ketidaksempatan Ayahmu datang menjemputmu pulang," ucapnya dengan sedikit nada ragu - ragu.

"Oh, begitu..." kataku dengan jengkelnya.

"Ayahku lebih mementingkan tugas kantorannya daripada putri bungsu kesayangannya? Tunggu sampai aku kembali ke rumah! Dia belum tahu siapa itu Raisa?!" kataku dalam hati, agar tak terdengar oleh Rafa.

"Yah, begitulah sekiranya jawaban yang dapat kuberikan," ujar Rafa sambil menggidikan bahunya.

"Lalu, mobil ini milik siapa? Jangan bilang punyamu!" ucapku dengan nada sedikit mengancam.

"Sudah tentu mobil ini punyaku. Kamu kira mobil ini punya ayahmu?" NO!" ucapnya dengan nada sombong.

"Kalau mobil ini milikmu, dari manakah kamu mendapat uang sebanyak itu untuk dapat membelinya? Mungkin, smartphone saja kamu tak mampu membelinya!" ujarku dengan nada sarkastis.

"Kamu gila?!" tandasnya dengan raut muka yang sangat marah. Namun berusaha ditenangkannya kembali. "Mobil ini adalah hasil dari jerih payahku. Aku bekerja siang dan malam. Dan ini merupakan bukti dari semua perjuangan dan pengorbanan yang telah kulakukan selama ini. Apa kamu sudah mengerti, Raisa?"

Aku kembali terdiam. Tak berani kulihat wajahnya yang merah padam. Aku berusaha sekeras mungkin untuk mencari cara agar dapat menenangkannya. Dan, yah! Dalam sekejap aku telah mendapat solusi untuk masalah itu.

"Ngomong - ngomong, aku suka sekali dengan gaya rambut mu. Potongannya bagus dan rapi. Selain itu, penataannya sangat sempurna dan kilauannya membuat rambut mu semakin terlihat menggoda," tuturku dengan nada mempengaruhinya. Semoga saja hasutan yang aku buat lewat kata - kata pujianku padanya dapat membuat dia kembali baik kepadaku.

"Jangan memujiku dengan cara seperti itu! Aku sama sekali tak suka. Hasutanmu itu sama sekali tak berpengaruh bagiku!" ucapnya dengan sangat kasar padaku. Namun tiba - tiba saja dia tersenyum manis sambil berkata padaku, "Jangan kau masukkan kata - kataku dalam hatimu. Aku hanya bercanda saja. Dan ini sudah menjadi ciri khasku sejak aku masih kecil. Terima kasih lagi untuk pujiannya!"

"Sama - sama!" balasku singkat. Aku cukup senang sekarang karena trik hasutanmu telah berhasil. Dia sekarang terlihat lebih baik dari tadi. Senyum manis perlahan - lahan terpantul dari wajah tampannya itu.

Aku kini telah tahu sedikit tentangnya. Walaupun tak begitu banyak, namun cukup untuk membuatku akrab dengannya dalam waktu yang cukup cepat.

"Aku ingin tahu sedikit lagi tentangmu. Bolehkah aku bertanya lagi padamu untuk kesekian kalinya?" tanyaku ragu - ragu.

"Tentu saja, cantik!" pujinya, yang seketika membuatku lupa akan pertanyaan apa yang ingin kutanyakan padanya. Namun, aku berhasil mengingatnya kembali.

"Ada hubungan apa kamu dengan Ayahku?"

"Aku sama sekali tak memiliki hubungan keluarga dengan Ayahmu. Tapi, Ayahku merupakan teman dekat Ayahmu. Menurut cerita Ayahku, mereka berdua sudah sangat lengket sejak masih kecil sekali. Oleh karena itu, aku sangat kenal baik dengan Om William, Ayahmu itu," jelasnya singkat.

"Kalau begitu mengapa aku sama sekali tak mengenalimu?"

"Itu karena sejak lama Ayahku dan Ayahmu tak bertemu. Akhirnya, pada suatu hari mereka bertemu kembali. Dan pada saat itu, Ayahmu bercerita tentang kamu, anak perempuan bungsu kesayangannya yang sedang bersekolah di Amerika. Jadi, kamu sama sekali tak mengenaliku karena waktu itu kamu masih berada di Amerika."

"Begitu ceritanya. Baguslah kalau begitu. Kalau Ayahmu dan Ayahku bisa menjadi sahabat karib sampai saat ini, mengapa kita tak bisa begitu juga?" tanyaku padanya, berharap memperoleh jawaban yang tepat.

"Boleh juga saranmu itu!" ucapnya dengan nada gembira.

Mulai saat itu juga kami berdua mulai bersahabat. Kami mengikrarkan janji bahwa kami akan terus bersama dalam suka dan duka sebagai sahabat sejati selamanya. Dan tidak ada di antara kami berdua yang boleh mengingkari janji yang telah kami berdua buat hari ini.

"Best friend forever!" seru kami berdua serempak. Kami berdua hanya bisa tertawa mendengarnya.

Akhirnya, kami pun sampai di rumahku, setelah tiga jam lamanya kami lewati bersama di dalam mobil nan mewah ini. Jarak tempuh sejauh kurang lebih 129 km dari bandara Internasional Soekarno-Hatta hingga menuju ke Kecamatan Anyer, telah kami lewati dengan berbagai keseruan - keseruan yang tak akan terlupakan.

Sebenarnya, aku masih bisa sampai lebih cepat lima belas menit dari sekarang. Hanya saja karena senda gurau kami yang sedikit berlebihan membuat Rafa harus memelankan laju kecepatan mobil. Kalau tidak, kami bisa mati gara - gara melaju dengan kecepatan tinggi.

Akhirnya, dari kejauhan, dapat terlihat dengan jelas rumahku yang megah nan mewah itu. Pekarangan rumah yang ditumbuhi tanaman rumput liar yang menjulur dari dinding ke dinding memberikan rasa tersendiri bagi semua orang yang melihatnya, terlebih lagi diriku yang telah sekian lama tak melihat rumah yang begitu kucintai ini.

Banyak sekali perubahan - perubahan yang telah terjadi pada rumahku ini. Banyak sekali renovasi yang telah menjadikan rumah ini bak hotel bintang 5 di dunia.

Misalnya saja, ada berbagai jenis pot - pot dengan gaya Eropa klasik yang tertata rapi sepanjang halaman depan rumah. Pot - pot bunga itu tak hanya kosong melompong seperti itu, namun didalamnya ditanami berbagai jenis bunga yang sangat cantik nan menarik.

Mulai dari yang berwarna cerah hingga yang berwarna gelap semuanya ada di situ. Dari yang beraroma harum dan wangi hingga yang berbau busuk pun ada. Namun, sepertinya tak ada yang bunga yang berbau busuk. Karena ayahku sama sekali tak suka akan aroma jelek.

Dinding - dinding rumahnya pun telah dicat dengan cat yang lebih baru dan tentunya indah. Sepanjang mata mememandang, terhampar luas rumput hijau yang tumbuh dengan sangat segar. Kesegaran warnanya dengan cepat dapat menyejukkan hatiku yang sedari tadi telah letih duduk berlama - lama di mobil.

Aku sampai terheran - heran dan takjub dibuatnya. Sungguh, sungguh indah pemandangan langka ini. Ayahku telah mendesain rumah ini hanya untuk kedatangan putri tercintanya ini. Tak bisa terbayang dalam benakku, berapa banyak total biaya untuk semua renovasi pada rumah ini. Namun, bukan namanya Ayahku kalau tak menyiapkan segala sesuatu yang spesial buat putri yang sangat dicintainya ini.

Dengan cepat Rafa membelokkan arah mobil masuk ke dalam pekarangan rumah. Terlihat satpam telah membuka gerbang depan dan dengan cepat kami masuk ke dalam halaman parkir. Mobil itu pun berhenti dan aku pun turun dari tempat dudukku.

Betapa gembiranya hatiku ketika pertama kali menginjakkan kakiku lagi di rumahku ini, setelah sekian lama aku tak kembali ke sini. Ada perasaan senang dalam hatiku yang terus bergejolak dan menggebu - gebu, seakan - akan memaksaku untuk segera masuk ke dalam.

Rafa pun bergegas turun dari mobil dan membuka bagasi mobil. Dengan cepat diangkatnya koperku dan mendorongnya ke samping tempat aku berdiri.

Ketika koper itu sudah ada tepat di sampingku, aku masih terus berdiri sambil terdiam seperti patung mannequin. Tepukan ringan dari tangannya Rafa tiba - tiba saja membuyarkan lamunan ku.

"Maafkan aku yang tidak memperhatikanmu," ujarku spontan meminta maaf. "Aku sungguh dibuat takjub oleh apa yang sedang kulihat saat ini. Sepanjang sejarah hidupku selama aku masih berada di Amerika, belum pernah sekali pun aku melihat rumah seindah, sebagus dan semewah ini!" kataku sambil terperangah kagum.

"Ini semua adalah hasil dari kerja sama Ayahku dan juga Ayahmu. Kakakmu, Daud tak kalah pentingnya dalam menyelesaikan pekerjaan renovasi rumah ini. Dialah yang telah membuat semua desainnya dan tinggal Ayah kita yang melakukan renovasinya," tuturnya dengan sangat jelas.

Penjelasannya dengan tak sengaja telah membuatku terheran - heran akan apa yang telah dibuat oleh ketiga orang tersebut. Aku hanya bisa terdiam lagi sambil menatap kembali rumahku itu.

"Jangan terlalu banyak melamun!" perintahnya. "Ayo, buruan masuk! Kamu pasti sudah capai."

Aku berusaha untuk membawa koperku namun tiba - tiba dicegah oleh Rafa. Ditariknya koper itu dengan cepat dan langsung menghitungnya masuk ke depan pintu masuk. Dirogohnya saku celana jins hitamnya. Mencari - cari sebuah benda yang aku pun tak tahu benda apakah itu.

Tiba - tiba, dikeluarkannya sebuah kunci yang terbuat dari emas. Kali ini, kunci itu dengan sangat cepat dapat menarik perhatianku. Aku terperangah kagum pada benda yang dipegang Rafa itu. Sungguh tak dipercaya oleh akal sehatku. Bagaimana mungkin sebuah kunci pintu terbuat dari emas? Bagaimana kalau nanti kunci itu terjatuh dan hilang? Namun, itu semua tak penting!

Perlahan tapi pasti, Rafa memasukkan kunci itu ke dalam lubang kunci dan dengan segera terbukalah pintu rumah berwarna coklat keemasan itu. Dia lalu memegang koper dengan tangan kirinya dan tangan lainnya dengan cekatan menggenggam tanganku. Lalu ditariknya aku masuk ke dalam.

Aku lalu masuk dan berdiri di depan sebuah barang antik berupa patung sebuah malaikat besar yang terbuat dari marmer. Sungguh sebuah keindah nan eksotis yang belum pernah kulihat selama ini.

Berbagai lukisan nan indah menghiasi dinding berwarna putih cerah. Kursi sofa berwarna merah terang tertata rapi di tengah - tengah ruangan yang sangat besar itu. Lantainya pun mengkilap seperti baru dibeli di toko. Di bagian kanan rumah terdapat sebuah ruangan tersendiri yang terhalangi oleh dinding. Di sana merupakan tempat keluargaku biasanya berkumpul dan bersenda gurau bersama.

Sambil menatapku lekat - lekat, pria bermata biru itu berkata, "Baiklah kalau begitu!" Dia berhenti sedikit sambil merapikan kembali bajunya. Hal itu tiba - tiba membuat dada dan perutnya yang bidang terlihat dengan sangat jelas di depan mataku. Pipiku hanya bisa memerah merona, namun sama sekali tak digubrisnya.

Kemudian di melanjutkan perkataannya, "Kini, tugasku untuk mengantarkanmu pulang ke rumahmu telah selesai. Kini, kamu boleh bersenang - senang di rumahmu yang megah nan mewah ini. Dan sekarang, aku harus pulang karena aku harus mengikuti rapat di kantor jam 7 malam nanti."

"Terima kasih banyak untuk segala jasamu, teman baruku!" katanya dengan senyum tipis namun manis. "Aku tak ingin menggangu kegiatannya selanjutnya, Rafa. Kamu boleh pulang sekarang. Aku sekarang sudah sampai di rumahku dengan selamat dan hal - hal lainnya bisa kuurus sendiri."

"Sama - sama Raisa. Jaga diri kamu baik - baik yah! Aku harap kamu senang dengan pengalaman pertamamu di rumah ini. Ini nomor teleponku. Jika ada yang ingin kau tanyakan, telepon atau sms saja aku."

"Baiklah Kalau begitu. Sekali lagi ku ucapkan terima kasih banyak kepadamu, Rafa."

Ku terima sepucuk kertas yang bertuliskan nomor telepon Rafa dan dia langsung pergi dari hadapanku.

Sebelum benar - benar pergi, Rafa berseru dengan nyaring kepadaku. "Jangan khawatir! Ayahmu sebentar lagi akan kembali. Tunggu saja, tak lama lagi dia akan pulang dari kantornya. Aku akan mengabari Ayahmu, bahwa kamu telah sampai di rumah dengan selamat."

Deru mobil avanza itu pun mulai berbunyi dan dalam sekejap lelaki yang adalah sahabatku itu telah pergi. Yang ditinggalkannya hanyalah sebuah kertas berisikan nomor teleponnya. Dengan segera aku memasukkan kertas itu ke dalam kantong bajuku. Dan aku langsung menenteng koperku sendiri menuju kamarku.

.

..

...

....

.....

...

....

.....

......

.......

......

.....

....

...

.....

....

...

..

.

Penasaran dengan kelanjutan ceritanya? Apa yah yang akan dialami Raisa selanjutnya?

Kalau begitu, saksikan kelanjutannya di chapter berikutnya yah! Satu saja permintaanku, maksudnya banyak sih 🤣 :

1. Tolong di-like

2. Di-vote

3. Comment, and;

4. Share yah!

Biar banyak orang yang dapat membaca cerita ini. Aku harap kalian suka yah teman - teman pembaca! 😄

Nantikan aku di bab berikutnya! I'll see you next time! 👋