Waktu yang sangat panjang telah berlalu. Hampir lima belas jam telah kulewati untuk bisa datang di Kei Kecil. Aku hanya bisa terbaring lesu ketika pesawat yang aku tumpangi dengan sangat cepat menapakkan roda - rodanya di tanah kelahiran ibuku. Pramugari telah menyampaikan pengumuman bahwa kami telah sampai di tempat tujuan dengan selamat.
Aku sama sekali tak menggubris perkataan wanita cantik bertubuh ramping itu. Mataku masih terus terpejam. Semua tenaga dan kekuatan yang kumiliki kini telah terkuras habis. Samar - samar dapat kulihat dari kaca pesawat di sebelah ku, deretan pepohonan hijau yang berdaun rimbun berjejer dengan sangat rapihnya menghiasi lingkungan di sekitar bandara.
Dengan lembut, aku dibangunkan oleh Ayah. Aku berusaha keras untuk bangun. Namun, mataku enggan untuk terbuka. Ini belum waktunya, namun kondisi dan keadaan tak bisa dipaksa untuk menuruti kehendak jasmaniku.
Dengan sedikit malas, aku berusaha untuk menegakkan badanku. Berharap agar bisa mendapat kekuatan baru. Tapi, ternyata semua usah aku sia - sia. Aku masih saja merasa lelah.
Tiba - tiba, dengan senyum manis, Ayah menyodorkan sebuah botol air isotonik kepadaku. Dengan cepat kuraih botol tersebut dan tanpa berkata apa - apa, aku langsung membuka tutupnya dan langsung menghabiskan seluruh isinya.
Botol tersebut kini kosong melompong. Tak ada setetes air pun yang tersisa di dalam benda berukuran sedang itu. Ayah yang melihatku hanya bisa tersenyum manis. Segera setelah itu, aku merasakan sebuah perubahan tiba - tiba dalam diriku.
Tubuhku sekarang tidak terasa lelah dan lemah lagi. Aku merasakan adanya sebuah kekuatan baru di dalam tubuhku. Seluruh organ- organ di dalam tubuhku dengan sangat cepat berfungsi normal kembali lagi seperti sedia kala.
Dengan senyum bahagia, kupeluk Ayahku yang telah memberikan minuman itu kepadaku. Seandainya beliau tidak memberikannya kepadaku, entah apa jadinya aku sekarang ini. Mungkin, aku akan terus berada di dalam pesawat ini dan akan berangkat kembali ke Pulau Jawa.
Ayah hanya bisa merespon balik pelukanku dengan dekapan hangat khas seorang Ayah. Kenyamananlah yang bisa kurasakan saat itu.
Kini, pesawat telah berhenti dan terparkir rapi di tempatnya. Aku segera membereskan semua barang - barang ku. Handphone kesayanganku tak lupa kemasukan ke dalam kantong celana ku.
Semua penumpang terlihat mulai bersiap - siap untuk turun. Aku pun tak tinggal diam. Dengan cepat, aku bangkit berdiri dari tempat dudukku dan bersama Ayah, aku berjalan menuju pintu keluar. Tangga pesawat telah diturunkan dan semua penumpang mulai turun satu per satu.
Ayah pun mulai turun dan aku mengikutinya dari belakang. Satu per satu tangga itu kutapakai. Dalam hati aku berkata, "Semoga Tuhan selalu menyertaiku selama berada di Pulau Kei Kecil ini. Semoga segala kebaikan selalu didatangkan-Nya padaku dan segala kemalangan dijauhkan-Nya daripaku." Aku meng-amin-kannya dengan hentakan pertama kakiku di tanah.
Ayah menggandeng tanganku dan kami berdua berjalan menuju bandara. Dapat kulihat dengan jelas, beberapa penumpang yang berjalan dengan senyum sumringah karena telah kembali ke tanah tercintanya. Ada pula yang hanya berjalan sambil memasang muka datar. Sungguh pemandangan yang menyebalkan. Beberapa turis pun ikut berjalan dengan santai.
Beberapa menit kemudian, sampailah kami di ruang kedatangan (arrival room). Tanpa tergesa - gesa, aku berjalan menuju ke ruangan itu. Banyak orang pun berkerumun di sana.
Setelah semua barang - barang milik Ayah dan milikku telah berhasil berada di tangan kami masing - masing, Ayah langsung menyewa sebuah mobil avanza.
Mobil itu dengan cepat menghampiri kami. Segera setelah mobil itu berhenti, Ayah langsung memerintahkan sopirnya untuk turun dan memasukkan barang- barang kami ke dalam bagasi. Sopir itu pun menuruti perintah Ayahku.
Semua barang - barang kami kini telah aman di dalam bagasi. Tanpa menunggu lama, aku langsung masuk ke dalam mobil tersebut. Ayah pun mengikutiku dari belakang. Ditutupnya pintu mobil itu.
Si sopir pun masuk dan duduk di tempatnya yang berada di bagian paling depan. Lelaki separuh baya dengan rambut yang sudah setengah beruban itu langsung menyalakan mesin mobil dan kami pun berlari meninggalkan bandara.
Setelah mobil berlari sedikit lebih jauh dari bandara, aku tiba - tiba dikejutkan oleh sebuah nada dering yang berasal dari ponsel seseorang. Suara itu berasal dari ponsel milik Ayahku.
Dengan cepat, Ayah langsung meraih ponselnya yang terselip di dalam saku celana jeans-nya yang ketat. Karena bunyi mobil yang sedikit keras, aku tak dapat mendengar jelas percakapan yang sedang Ayah lakukan dengan seseorang yang tak kukenal. Dia terlihat tersenyum sendiri. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Aku pun tak tahu.
Setelah selesai berbicara di telepon, Ayah langsung mematikan kembali teleponnya dan langsung duduk diam saja. Aku semakin penasaran. Perasaan itulah yang membuatku seketika bertanya dengan sangat cepat kepada Ayahku.
"Dengan siapa Ayah berbicara tadi?" ujarku.
Sambil tertawa dia berkata, "Maafkan Ayah, Sa."
"Saking senangnya Ayah akan bertemu lagi dengan Ibumu, sampai membuat Ayah tak sabar untuk cepat - cepat pulang dan melihatnya. Tadi, nenekmu yang menelpon," lanjutnya.
"Apa kata nenek?" tanyaku lagi.
"Nenek bilang bahwa Ibumu sudah tak tahan lagi untuk dapat bertemu denganmu," jawabnya sambil tersenyum simpul.
"Aku juga Ayah," kataku, dengan senyum manis yang sedang tersungging di bibirku yang tipis. "Sudah lama sekali aku tak berjumpa dengan Ibu. Aku sudah sangat merindukan kasih sayang dan kelembutannya."
Karena kabar yang diberikan Ayah, aku tiba - tiba menjadi tidak sabaran. Aku langsung dengan cepat mencondongkan badanku sedikit mendekati pria tua itu dan menyuruhnya untuk menambah kecepatan mobil.
Pria itu hanya mengiyakan permintaanku dengan mengangguk - anggukan kepalanya.
Mobil pun semakin melaju. Kecepatannya kini semakin bertambah. Dan Ayah yang melihat akibat dari perbuatanku hanya bisa menggeleng - gelengkan kepalanya. Aku hanya bisa tertawa kecil melihat tanggapannya itu.
Akhirnya, setelah kurang lebih sejam berada di dalam mobil dengan laju kecepatan yang cukup tinggi, kami pun sampai di kampung halaman ibuku. Terdapat sebuah tanjakan yang harus dilalui setiap kendaraan yang ingin masuk ke dalam kampung halaman ibuku. Sebenarnya ada jalan lainnya juga. Tapi, jalan ini merupakan jalan pintas yang dapat menghantarkanku dengan cepat kepada Ibuku.
Di depan sebuah rumah yang sederhana, mobil itu pun berhenti. Aku yang melihatnya sontak terkejut dengan pandangan pertama ku ini. Rumah yang ditempati Ibuku ternyata jauh dari kata perumahan kaya milik Ayah yang berada di Anyer.
Rumah itu sangat sederhana. Bahkan mungkin sangat jauh pula dari kata sederhana. Atapnya hanya terbuat dari daun – daunan yang dianyam dan disusun berderet dengan rapi. Dinding – dinding rumah yang ditempati oleh Ibu dan Nenek bukanlah terbuat dari semen seperti rumah pada umumnya. Namun terbuat dari kayu. Ya, dari kayu – kayu panjang yang saling berdekatan. Jendelanya pun tidak menggunakan kaca, namun semua dibalut indah oleh kayu.
Jadi, dapat dikatakan bahwa rumah yang sedang kulihat ini bisa disamakan dengan pondok para petani di daerah Jawa. Namun, semua kesederhanaan ini tak membuatku enggan untuk tinggal di sini. Satu – satunya hal yang bisa membuatku merasa nyaman tinggal di rumah yang sederhana ini adalah kehadiran orang – orang yang sangat aku cintai.
Ayah, Ibu, dan Nenek. Mereka bagaikan sejuknya angin sepoi – sepoi di tengah teriknya mentari dan hangatnya selimut tidur di tengah dinginnya malam. Kehadiran mereka seketika dapat menghilangkan segala kejenuhan dalam diriku.
Dari balik kaca mobil yang tertutup, dapat kuihat dengan jelas, Nenek yang sedang berdiri di depan pintu masuk. Namun, aku sama sekali tak melihat Ibu. "Dimana dia?" batinku. Terlihat pula Ayah yang sedang dibantu oleh si sopir mengangkut barang – barang keluar dari dalam bagasi. Semua barang – barang itu lalu dibawa menuju ke teras rumah.
Tiba – tiba terdengar sebuah suara yang menyuruhku untuk turun dari dalam mobil. Aku masih sedikit ragu – ragu untuk turun. Ini merupakan pertemuan kali keduaku dengan nenek. Namun, dengan bulat hati aku memutuskan untuk menepis segala keragu – raguan yang terus mengusik hatiku.
Kurapikan pakaianku dan langsung keluar dari dalam mobil. Si sopir yang melihatku hanya tersenyum lalu masuk ke dalam mobil. Sekeluarnya aku dari dalam mobil, deru mesin telah terdengar jelas di telingaku. Mobil itu lalu berlalu menjauhi tempat aku berdiri.
Aku yang masih berdiri di situ – situ saja sontak dipanggil oleh Nenek.
"Raisa!", serunya sambil tersenyum manis padaku. "Ayo, datang! Jangan terus – terusan berdiri di situ."
Aku pun menuruti permintaannya. Dengan sedikit malu, aku berjalan menghampiri wanita yang sudah beruban itu. Dengan senyum penuh kasih dan ketulusan disambutnya diriku. Aku pun membalasnya dengan tersenyum. Kudekati dirinya. Dan dia lalu mengulurkan kedua tangannya ke depan. Aku tahu isyarat dari tanda itu. Aku ingin dipeluk olehnya.
Aku hanya bisa membiarkan diriku masuk dalam dekapan hangatnya. Kelembutannya membuatku teringat akan masa – masa kecilku. Di saat – saat di mana Ibu selalu memberikanku sebuah pelukan yang persis seperti yang dilakukan oleh nenek kepadaku sekarang. Aku hanya bisa mendekapnya balik.
Akhirnya, setelah beberapa saat dipeluk oleh Nenek, dilepaskannya juga diriku. Nenek lalu menuntunku masuk ke dalam rumah. Yang pertama kali terlintas di dalam kepalaku adalah apersepsi atau pandanganku terhadap isi rumah tersebut.
Rumah itu biasa – biasa saja. Tidak ada yang bisa membuatnya dikatakan wah dan istimewa. Di bagian ruang tamu, terdapat enam kursi yang terbuat dari rotan. Semua kursi itu disusun rapi. Tiga kursi di sisi kiri dan tiga kursi lainnya di sisi kanan. Di tengah – tengahnya terdapat sebuah meja dengan sebuat pot bunga yang ditanami bunga hidup yang ditaruh di atasnya.
Di situ terdapat pula foto keluargaku. Terlihat di dalam foto tersebut Ibu yang sedang menggendongku dengan penuh kasih sayang dan Ayah yang sedang menggandeng Ibu sambil tersenyum manis.
Nenek lalu mengantarku masuk lebih dalam. Di bagian dalam rumah milik Ibuku yang merupakan warisan dari Nenek, terdapat tiga buah kamar yang berukuran sedang. Nenek kemudian memberi tahu yang mana kamarku, juga kamar miliknya dan kamar kedua orangtuaku.
Setelah sedikit mengenal tata ruangan di dalam rumah, Nenek lalu mengajakku masuk ke dalam kamar Ayah dan Ibu. Aku hanya pasrah dan mengikutinya saja.
Namun betapa kagetnya diriku ketika Nenek membuka pintu kamar tersebut. Di atas sebuah ranjang yang tidak terlalu besar, terbaring lemah Ibuku dengan wajah yang pucat pasi. Aku sontak kaget dibuatnya.
Pemandangan yang mengoyak – ngoyak hatiku. Harapanku datang ke sini adalah untuk melihat senyum kebahagian yang terpancar dari wajah cantik Ibuku. Bukan untuk sebaliknya, melihat dia yang tengah terbaring tak berdaya di atas tempat tidur.
Aku langsung berlari dan memeluknya erat – erat. Tak peduli apakah pelukanku yang seketika ini dapat membuatnya bertambah sakit. Ibu pun mendekapku dengan penuh kasih sayang.
Yang dapat kurasakan ketika memeluknya adalah suhu tubuhnya yang sangat tinggi. Dengan cepat dapat kuduga bahwa dia sedang panas tinggi. Atau mugkin demam? Aku pun tak tahu.
"Putri kesayanganku kini telah kembali," ujar Ibu dengan suara lemah. "Ibu sangat merindukanmu, nak. Sekarang, rasa rindu Ibu akan dirimu terbalas sudah. Kau telah pulang dan akan terus di samping Ibu."
"Iya, Bu," balasku dengan mata yang sudah berkaca – kaca. "Raisa sudah kembali. Ibu tak perlu khawatir karena aku akan selalu menjaga Ibu dan akan terus bersama Ibu."
"Namun, mengapa sampai suhu tubuh Ibu bisa setinggi ini?" tanyaku.
"Jangan mengkhawatirkan Ibu, Raisa. Ibu baik – baik saja. Paling mungkin esok sudah sembuh."
"Bagaimana bisa aku tidak mengkhawatirkanmu, Bu!" ujarku. "Ibu kini sedang panas tinggi dan memintaku untuk tenang saja? Tidak bisa! Aku harus mencari bantuan. Kita harus membawa Ibu ke rumah sakit sekarang juga!" perintahku.
"Tak usah repot – repot," ujar Ibuku dengan suara pelan. "Sebentar lagi akan datang Ibu Dian akan datang untuk mengobati Ibu."
"Siapa Ibu Dian itu, Bu?" tanyaku penasaran.
"Ibu Dian itu adalah tukang urut profesional di kampung ini. Bahkan, dia sudah terkenal di seluruh kepulauan Kei Kecil," jelasnya padaku sambil masih terbaring lemah di atas ranjang. "Hanya dalam sekali urut, orang yang sakit akan sembuh seketika. Namun,..."
Belum sempat Ibu melanjutkan perkataannya, aku tiba – tiba memotong dengan bertanya, "Namun apa Bu?"
"Namun, itu juga tergantung dari jenis penyakit yang diderita oleh si pasien. Kalau sakit seperti Ibu bisa langsung sembuh dalam sekali urut. Tapi, jika sakitnya parah maka akan membutuhkan waktu yang cukup lama juga. Jadi, semua tergantung dari apa penyakit yang diidap oleh orang yang sakit tersebut."
"Lalu, kapan Ibu Diana akan datang?"
"Sebentar lagi pasti beliau sudah sampai. Nenekmu baru saja memanggilnya tadi sebelum kalian datang."
"Baiklah Bu. Aku harap Ibu dapat cepat pulih dari penyakit yang Ibu derita sekarang," uajrku penuh harap.
Setelah itu, Nenek dan aku lalu meninggalkan Ibu dan langsung menuju ke dapur.
.
..
...
....
.....
...
....
.....
......
.......
......
.....
....
...
.....
....
...
..
.
Ingin tahu bagaimana kelanjutan kisah Raisa bersama keluarganya di rumah Ibunya yang sederhana? Nantikan di episode selanjutnya.
Aku harap kalian dapat memaklumi keterlambatan updatenya yah guys! Soalnya author (penulis) sedang dalam masa – masa Ujian Akhir Semester Ganjil. Apalagi aku sedang dalam masa – masa persiapan menyongsong Ujian Nasional.
Doakan aku yah guys! Biar bisa melalui dan menghadapi UAS kali ini dengan baik.
Itu saja dariku. Aku harap teman – teman suka. Dan jangan lupa like, vote, comment and share juga yah!
Sampai jumpa di chapter selanjutnya!!! BYE – BYE!!!
I LOVE YOU SO MUCH
(Yang merasa dirinya masuk dalam kelompok yourRaisa : [fan-base Raisa/penggemar berat Raisa] ANGKAT TANGANNYA!!! Yang bukan juga nggak papa kok . Komen juga yah tentang tokoh utamanya.) SEE YOU!!!