Chereads / KEMBALILAH / Chapter 6 - KERISAUAN HATI IBU ?

Chapter 6 - KERISAUAN HATI IBU ?

HAI GUYS!!! I come backkkk....

Penasaran??? Yuk, langsung saja saya persembahkan.....

Jeng jeng jeng....

Silahkan dibaca. I hope tou enjoy it! ☺

Happy reading guys! 🤗🤗🤗         

⭐⭐⭐

Kilauan sinar kuning keemasan kembali memancar lewat cela-cela ventilasi kamar. Hangatnya menepis dinginnya udara malam. Mentari bersorak kegirangan karena diperkenankan untuk dapat kembali menjadi penerang semesta raya. Bulan harus segera pergi ke belahan bumi yang lain.

Sudah saatnya aku bangun. Menyongsong harapan dan mensyukuri setiap anugerah dari Yang Maha Kuasa. Atas perkenanannyalah, aku dapat kembali membuka mata. Maka dengan rendah hati, kuberdoa pada-Nya, berpasrah hanya dalam tangan kasih-Nya.

Terima kasih Tuhan atas hari baru yang telah Kau berikan lagi padaku. Berkati dan sertailah diriku di sepanjang hari ini. Tuntun dan arahkanlah setiap derap langkah kakiku, agar tak salah jalan. Biarlah sinar terang kasih-Mu senantiasa menuntunku ke jalan yang benar. Dan berikanlah berkat-Mu atas setiap kerja dan rencanaku selama sehari ini. Demi Kristus Tuhan kami. Amin. Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus. AMIN.

Usai berdoa, aku langsung turun dari kamar mandi dan berjalan santai menuju ke kamar mandi. Air dingin di pagi itu mengguyur deras badan. Memberikan kesejukan dan semangat baru. Semua keletihan di tubuh terlepas semua. Aku siap menatap masa depan yang lebih baik. Semoga hari ini semuanya berjalan lancar dan baik-baik saja.

Setelah selesai membersihkan badan, aku kembali lagi ke dalam kamar tidur untuk berganti pakaian. Kukenakan pakaian yang sederhana saja. Walaupun sederhana dan biasa-biasa saja, pakaianku tak bisa dibilang barang murahan. Hampir semua barang-barang milikku dibeli dengan harga di atas Rp.500.000.

Bukannya sombong, tapi aku selalu ingin tampil elegan dan memukau di mana pun aku berada, tapi tetap dengan gaya yang sederhana. Koleksi baju-bajuku pun kebanyakan yang biasa-biasa saja. Yang terlihat lux (mewah) hanya ada sedikit, tak lebih dari sepuluh potong.

Sebuah baju kaos berwarna hijau dengan gambar kucing putih dan celana putih pendek sebatas lutut kukenakan di badan. Kuambil sisir rambut di atas meja dan menyisir rambutku yang panjang dengan warna hitamnya yang berkilau.

Terakhir, kupolesi pipiku dengan bedan Herocin. Ya, bedak Herocin. Bedak kesayanganku sejak kecil. Dari semua barang-barangku, mungkin bedak inilah benda yang kubeli dengan low price (harga murah). Setelah merasa cukup yakin dengan penampilanku, aku langsung keluar dari dalam kamar.

"Selamat pagi Raisa!" Ayah berjalan menghampiriku. Segelas kopi tergenggam di tangannya. Seulas senyum terlihat jelas tersungging dari bibirnya.

"Selamat pagi, Ayah!" kataku sembari membalas senyum manis pada lelaki itu. "Apa kabar?"

"Luar biasa baik," katanya. "Kamu terlihat cantik sekali pagi ini, seperti Ibumu saja," lanjutnya lagi disertai sebuah kekehan tawa kecil yang keluar dari mulutnya.

"Terima kasih, Yah, buat pujiannya."

Setelah itu Ayah langsung berjalan menuju ke teras dan duduk di depan.

Aku berjalan menuju dapur. Segelas air putih hangat kuteguk. Itu merupakan kebiasaanku dari kecil. Sebuah habitus yang dibiasakan oleh Ibuku. Katanya biar aku selalu sehat, tidak gampang sakit, dan bisa lebih cantik dan awet muda. Aku sungguh-sungguh bisa merasakan khasiatnya. Dan memang betul apa yang dikatakan oleh ibuku. Aku menjadi jarang sakit dan wajahku tetap terlihat awet muda.

Tiba-tiba aku teringat dengan Ibu. Bagaimana kabarnya yah pagi ini? batinku. Aku segera berjalan menuju kamarnya. Kubuka pintu kamar dan langsung masuk ke dalam. Ternyata Ibu sudah bangun. Sebuah senyum tulus terpancar dari wajahnya. Aku cukup senang karena dapat melihatnya dengan kondisi yang lebih baik pagi ini. Bibirnya sudah tak pucat lagi, pertanda kesehatannya semakin membaik.

Kudekati dirinya dan berusaha duduk di sampingnya. Ibu menggeser sedikit tubuhnya ke samping, sehingga aku bisa sedikit mendapat tempat untuk duduk. "Selamat pagi Ibu. Apa kabar? Sudah sedikit baikan?"

"Sudah. Ibu merasa lebih baik dibanding kemarin. Semalam Ibu Diana datang dan mengurut badan-badan Ibu. Sepertinya hari ini Ibu sudah bisa beraktivitas seperti biasanya."

"Syukurlah kalau begitu." Aku tersenyum bahagia mendengar perkataan Ibu.

"Apa Ibu sudah sarapan pagi?" tanyaku.

"Sudah," katanya. "Tadi pagi Nenek sudah membuatkan bubur dan sebutir telur rebus. Sebelum berangkat, Nenek membawa sepiring bubur dengan telur rebus yang telah dimasaknya itu kepada Ibu."

"Baiklah kalau begitu. Ibu istirahat saja yah di sini. Jangan dulu beraktivitas pagi ini. Biar nanti pekerjaan rumah Raisa saja yang kerjakan. Tenang saja, semua akan beres di tangan Raisa," kataku sambil tertawa kecil.

"Bisa aja kamu," kata Ibu sembari tertawa bersamaku.

Seraya berdiri aku berkata, "Ibu, Raisa ke dapur dulu yah. Belum makan pagi soalnya."

"Iya, Nak. Tapi," jeda Ibu, lalu dilanjutkannya lagi, "habis itu balik lagi yah! Ibu ingin bicara sesuatu dengan kamu."

Aku bangkit dan berjalan menuju dapur dalam sebuah tanda tanya. Apa yang ingin dikatakan Ibu kepadaku? batinku. Dengan cepat aku berjalan ke dapur, menimba sepiring bubur yang masih panas dan langsung kembali ke kamar Ibu.

Piring berisi bubur kutaruh duly di atas meja karrna masih panas. Sambil mendekati Ibu, aku bertanya, "Ada apa Bu? Apa yang ingin Ibu katakan?"

Ibu menatap aku lekat-lekat. Tak ingin dilepaskannya tatapan itu dariku. Lalu Ibu pun berkata, "Begini, Nak. Akhir-akhir ini Ibu sering mencemaskan kakakmu, Daud."

"Kakak sekarang di mana? Apa yang membuat Ibu cemas dengannya?" Dahiku berkerut, tanda rasa penasaranku semakin bergejolak.

"Kakakmu pergi ke Jakarta sejak enam bulan yang lalu. Dua bulan pertama sejak dia tak ada di sini, selalu ada kabar darinya sehingga Ibu tahu pasti bagaimana keadaannya di sana. Namun setelah itu, sudah tak ada kabar dari dia lagi. Ibu pun sudah menelpon dia, namun nomornya selalu tidak aktif. Tak ada kabar darinya membuat Ibu selalu resah dan khawatir. Entah apa yang telah terjadi padanya? Ibu hanya bisa berharap agar Tuhan selalu menjaganya di manapun dia berada," terang Ibu dengan wajah gelisah dan gundah.

Yah, begitulah kakakku. Sejak dulu orangnya memang pendiam. Tak banyak bicara. Introvert adalah ciri khasnya. Aku sendiri bahkan tak banyak tahu tentangnya, gara-gara sifat pendiamnya itu.

Entah apa yang membuatnya tak mengabari Ibu. Aku pun sama sekali tak tahu bahwa dia sedang berada di Jakarta. Andai aku tahu, sudah pasti akan kukunjungi bila sempat.

"Bersabarlah Bu," ujarku menenangkan dirinya. Sambil mengusap-usap pundaknya aku berkata, "Pasti esok-esok kakak akan memberikan kita kabar. Mungkin kakak sedang sibuk bekerja, jadi tak ada waktu untuk mengabari kita."

"Sesibuk itukah sampai tak bisa meluangkan waktu hanya untuk mengabari Ibunya sendiri?"

"Sudah, sudah. Tak usah Ibu pikirkan. Kan ada Raisa di sini, yang akan selalu menjaga dan melindungi Ibu." Pelan-pelan wajah Ibu berubah ceria. Kegundahan di wajahnya berubah menjadi seulas senyum manis. "Jadi, Ibu tak perlu cemas atau khawatir. Aku akan selalu bersama di samping Ibu."

"Terima kasih yah, Nak. Kamu memang anak kesayangan Ibu," kata Ibu sembari menciumku. "Ibu sangat bersyukur kamu bisa kembali ke sini. Daud berbeda sekali denganmu. Orangnya dingin dan tak banyak bicara. Sangat kontras dengan kamu yang ceria dan selalu bersemangat. Mungkin itulah mengapa Tuhan ingin kau hadir untuk melengkapi kekurangan kakakmu itu."

"Ah... Jangan membanding-bandingkan aku dengan kakak, Bu. Walaupun begitu kakak juga anak Ibu, bukan?"

"Iya, iya... Ibu mengalah deh. Eehhh...," katanya, "bubur kamu keburu dingin. Ayo makan!"

"Hehehe.... Iya Bu, Raisa makan dulu yah," ujarku sambil tertawa terbahak-bahak.

Setelah makan, aku langsung meninggalkan Ibu sendirian di kamarnya. Rumah dan halaman masih kotor. Tanpa disuruh Nenek, aku mengambil sapu dan langsung membersihkan lantai dan halaman rumah. Banyak daun nagka yang berjatuhan sehingga membuatku cukup lelah.

Akhirnya, semua pekerjaan beres. Saatnya istirahat. Aku kembali ke kamar dan merebahkan tubuhku di atas kasur. Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Kuarih ponselku dan mulai mengutak-atiknya. Tak lupa aku juga memeriksa akun sosial mediaku, Instagram, Facebook, Twitter, Chat Whatsapp.

Tiba-tiba Nenek masuk ke dalam kamarku. "Raisa! Buruan keluar, ada seseorang yang ingin Nenek kenalin kepadamu."

"Siapa, Nek?" tanyaku penasaran.

"Sudah, tidak usah banyak tanya. Cepat sisir rambut kamu dan keluar. Nenek tunggu kamu di depan yah. Jangan lama," katanya sambil berjalan meninggalkan kamarku.

Siapa yang ingin dikenalkan Nenek kepadaku? Tanyaku dalam hati.

Aku lalu cepat-cepat menyisir rambutku dan langsung berjalan menuju ke ruang tamu.

.

..

...

....

.....

...

....

.....

......

.......

......

.....

....

...

.....

....

...

..

.

Penasaran siapa yang akan dikenalkan oleh Nenek kepada Raisa? Saksikan kelanjutannya di chapter berikutnya yah!

Jangan lupa vote, comment and share yah teman-teman!

Nantikan aku di bab berikutnya!!! See you 👋👋👋

I LOVE YOU ALL MY READERS... 😘😘😘