Chereads / KEMBALILAH / Chapter 5 - KABAR TEMAN LAMA ?

Chapter 5 - KABAR TEMAN LAMA ?

Hai teman-teman readers yang aku cintai dan sayangi... 😚 ❤❤❤

Maaf yang sedalam-dalamnya aku sampaikan kepada kalian. 😔😔😔 Karena setelah sekian lama menghilang entah ke mana, aku baru saja kembali. Aku harap kalian dapat memaafkan keterlambatanku dalam meng-upadate cerita ini. Sekali lagi aku mohon maaf.

Aku yakin kalian udah kangen kan dengan Raisa? Iya kan...??? Kalau begitu, tanpa banyak bicara, langsung saja check it out!!! Aku harap kalian suka... 🤗🤗🤗

Kegelapan malam telah menyelimuti angkasa. Kilauan cahaya mentari di langit berwarna jingga telah lenyap, raib ditelan bumi. Sinarnya kini telah kembali ke peraduan, dan digantikan oleh terang rembulan malam.

Cahaya - cahaya lampu mulai berpendar menerangi tiap - tiap sudut Desa, yang diketahui bernama Loon. Lampu jalan bertenaga surya pun tak mau kalah. Sinarnya memancar ke segala penjuru jalanan, menepis kegelapan.

Sementara itu, aku sedang disibukkan dengan aktifitas memasak di dapur. Hidangan lezat harus bisa dihidangkan olehku di atas meja makan malam ini. Semua usaha, kemampuan serta kecakapan dan pengetahuan yang telah kuperoleh saat menjalani kursus memasak di Amerika harus bisa kutuangkan dalam ide masakan yang enak nan cemerlang.

Setiap lidah harus mengakui kepiawaianku dalam memasak. Aku harus bisa memasak makanan terbaik malam ini, tak boleh yang biasa - biasa saja. Harus ada sesuatu yang spesial untuk jamuan makan malam sebentar nanti.

Dengan dibantu oleh nenek, aku mulai menorehkan ide - ide brilianku. Satu per satu bahan - bahan dari masakan yang akan dimasak mulai kusiapkan. Takarannya pun mulai kuatur dengan sangat teliti dan pas. Tak lebih tak kurang. Semuanya seimbang sesuai dengan resep masakan yang telah mendarah daging dalam benak dan pikiranku.

Sesekali nenek memperingatkanku agar tidak menggunakan bahan - bahan penyedap rasa (MSG/Monosodium Glutamat). Aku hanya bisa menurut dan patuh padanya. Manis dan pahitnya lika - liku dunia masak - memasak makanan telah dilalui olehnya. Banyak sekali ilmu tentang kuliner Indonesia bahkan mancanegara yang tersimpan di dalam memorinya.

Nenek memberikan instruksi dan aku mengikutinya. Aku pasrah. Kali ini memang bukan saatnya bagiku untuk menunjukkan kemampuanku.

Mungkin di lain waktu. Semua ada masanya.

Setengah jam kemudian, semua masakan telah kelar. Aku membantu nenek untuk menghidangkannya di atas meja. Kini, semua masakan untuk dinner malam ini sudah siap untuk disantap.

"Will! Cepat datang ke dapur!" Nenek memanggil Ayah dengan suara yang sedikit keras. Namun, cukup keras untuk orang seumuran Nenek.

Tak lama kemudian, Ayah telah muncul di hadapan kami. Napasnya sedikit tersengal-sengal. Dengan cepat ditariknya sebuah kursi dan mendudukan dirinya di atasnya. Dirapikannya pakaiannya yang terlihat sedikit berantakan.

"Ayah dari mana saja?" tanyaku sembari menarik sebuah kursi untuk duduk.

Pria itu hanya terdiam. Namun tak lama. Dia lalu berkata, "Ayah baru selesai memperbaiki kipas angin di kamarnya Ibu."

"Wah, papa hebat!" pujinya dengan senyum. "Aku kira papa hanya bisa berhadapan dengan laptop dan dokumen kerja papa. Tapi ternyata papa juga bisa melakukan hal lain di luar pekerjaan kantorannya papa."

"Nenek juga bangga bisa mempunyai menantu seperti Ayahmu ini, Raisa." Nenek pun turut memuji Ayah sembari berusaha duduk di sebelahku.

"Terima kasih atas pujiannya Raisa, Ibu," kata Ayah.

Nenek lalu menyodorkan kepadaku sebuah piring yang telah terisi penuh oleh makanan dan sebuah piring lainnya yang terdapat buah dan segelas susu putih di dalamnya.

"Bawa ini ke kamar Ibumu. Kamu bisa kan?" tanya Nenek kepadaku.

"Apa sih yang tidak bisa buat Raisa? Ini masalah sepele, aku bisa membereskannya, Nek!" Dengan kedua tangan yang sudah memegang piring-piring tersebut, aku berjalan menuju kamar tidur Ibu.

Kamar itu hanya tertutupi oleh sebuah kain yang panjang. Semacam kain gorden. Aku berjalan pelan memasuki kamar tersebut. Di dalam Ibu terlihat sedang tidur. Namun tiba-tiba matanya terbuka pelan melihatku yang sedang menghampirinya. Sebuah senyum tulus tersungging dari bibirnya yang pucat.

"Ini bu Raisa bawakan makanannya. Dimakan sampai habis yah, biar Ibu bisa cepat sembuh." Dua buah piring itu kutaruh di atas sebuah meja kecil di samping tempat tidur Ibu.

"Iya nak. Ibu akan menghabiskannya," ujarnya dengan suara lemah.

"Baiklah kalau begitu. Bu, Raisa kembali dulu yah ke dapur," kataku. Ibu hanya mengangguk pertanda setuju.

Setelah berpamitan dengan ibunya, aku langsung melangkahkan kakiku menuju dapur. Di sana nampak Ayah sedang asyik menyantap makanannya. Nenek kelihatan sama seperti Ayah, lahap makannya.

"Sudah kamu bawa makanan itu ke Ibumu?" tanya Nenek segera setelah aku mendudukan diriku di kursi di sebelah Ayah.

"Sudah Nek," jawabku singkat.

"Sedang apa Ibumu?" Ayah kembali bertanya.

"Ketika aku masuk, Ibu sedang terbaring. Sepertinya setengah tertidur," aku berhenti lalu melanjutkan, " kedua piring itu lalu kuletakkan di meja dan langsung menyuruh Ibu untuk makan. Ibu mengiyakan dan aku langsung kembali ke sini."

"Syukurlah kalau begitu," kata Ayah, yang lalu melanjutkan makannya.

Makan malam pun usai. Nenek yang telah habis makan terlebih dahulu langsung membereskan semua makanan. Ayah langsung berdiri dari tempat tidurnya dan berjalan menuju teras depan. Rasanya tak ada lagi hal yang perlu aku lakukan. Semua sudah diurus oleh nenek dan kelihatannya telah kelar. Kuputuskan untuk kembali saja me kamar tidurku.

(DI KAMAR TIDUR)

Kurebahkan tubuhku ke atas tempat tidurku yang tidak begitu empuk, namun tak bisa dibilang keras juga. Kualitasnya sedang-sedang saja. Kasur itu dialasi oleh sebuah karpet berwarna merah, hampir menyerupai kecoklatan. Karpet itulah yang memberikan kesejukan setiap kali aku tidur.

Kubiarkan mataku terpejam beberapa saat. Namun, tiba-tiba aku teringat bahwa sejak aku tiba di rumah ini, aku sama sekali belum membereskan semua barang bawaanku. Aku langsung cepat-cepat bangkit dari posisi berabringku.

Koperku terletak di bawah sebuah meja kayu yang tidak terlalu besar. Kuhampiri koper itu dan langsung membukanya. Semua pakaianku masih terletak rapi di dalam koper itu. Perlahan-lahan ku ambil beberapa buah pakaian dan menaruhnya dalam sebuah lemari yang tidak terlalu besar ukurannya. Tingginya kira-kira setinggi tubuhku. Kurang tepat, lebih tinggi sedikit dariku, kurasa.

Sekarang semua barang-barangku telah tertata rapi di dalam lemari. Hanya tersisa satu benda di dalam koperku. Benda itu adalah handphone-ku. Aku meraih ponselku. Kubuka lock screen ponselku dan betapa terkejutnya diriku ketika melihat terdapat sebuah pemberitahuan tiga puluh tiga panggilan tak terjawab. Panggilan itu ternyata berasal dari teman lamaku sewaktu SMA dulu, Rani Wandhani Ramadhani.

Tanpa banyak berbasa-basi aku langsung menelponnya balik. Terdengar bunyi pertanda teleponku telah tersambung dengan telepon temanku. Tak lama kemudian panggilanku langsung diangkat oleh Rani.

"Selamat malam, sobat lama!" seruku dengan sangat bersemangat.

"Huuu...," nada suaranya terdengar jengkel, "Aku kesel banget sama kamu, Sa! Kenapa tidak kamu angkat teleponku? Sudah hampir seribu kali kutelepon, namun sama saja. Tak ada yang mengangkat panggilanku. Memangnya ada apa sih sampai kamu tidak bisa sedetik saja menerima telepon dari sahabat terbaikmu ini?"

Aku hanya bisa terdiam mendengar semua ocehan dari Rani. Perempuan itu memang tak pernah berubah sejak aku masih bersamanya di SMA dulu. Sampai sekarang, sikapnya yang cerewet itu tak pernah mau pergi dari dirinya. Dengan sabar aku membalasnya.

"Maafkan aku Ran," pintaku dengan suara memohon. "Tadi aku sedang makan, jadinya aku tidak sempat mendengar dan menjawab telepon darimu. Lagipula handphone-ku tertindih oleh pakaianku yang banyak. Suaranya teredam dan aku tak dapat mendengarnya."

"Okelah kalau begitu alasanmu. Tapi ingat," suaranya meninggi, "kalau kamu sekali lagi tak menjawab telepon dariku, maka kehadiannya akan lain lagi. Tak akan ada dispensasi lain kali."

"Terima kasih Rani," ucapku. "Kamu memang sahabt terbaikku. Yang selalu mengerti dan menerima keadaan dan kondisiku."

"Iya, iya. Nggak usah lebai deh. Btw, tidakkah kamu tahu? Aku datang ke rumahmu tadi pagi. Tapi, saat aku tiba di sana, pembantu di rumahmu berkata bahwa kamu dan Ayahmu sudah berangkat ke kampung halaman Ibumu. Aku kesal sekali mendengarnya. Padahal aku sudah berencana untuk mengajakmu jalan-jalan."

"Oh, maafkan aku karena tidak memberitahukan keberangkatanku kepadamu lebih dahulu. Soalnya kemarin malam saat makan malam, Ayah langsung menyuruhku bersiap-siap untuk berangkat malam itu juga. Aku tak bisa menolak. Akhirnya, malam itu juga, aku dan Ayah langsung berangkat menuju ke Kei, tanah kelahiran Ibuku?"

"Kei???" tanya Rani bingung. "Dimana itu? Aku belum pernah mendengar nama tempat itu sebelumya?"

"Kei, salah satu pulau di Provinsi Maluku. Kata Ayah, Kei adalah salah satu The Hidden Paradise--Surga Tersembunyi di dunia. Banyak tempat-tempat indah di sini. Namun, aku masih belum tahu banyak tentang daerah ini. Apalagi aku baru tinggal satu hari di sini."

"Wow!!! Sepertinya menarik sekali pulau itu. Aku ingin sekali pergi ke sana dan membuktikan sendiri dengan mataku bahwa kata-kata Ayahmu itu bukanlah bualan semata. Bolehkan Raisa?"

"Boleh saja, kalau kamu mau. Aku akan menjemputmu setibanya kau di sini. Ngomong-ngomong bagaimana dengan pekerjaanmu? Baik-baik saja kan?"

"Yah boleh dibilang begitu. Namun, kamu tahu bukan? Mengurus orang-orang sakit apalagi mereka yang lansia bukanlah hal yang mudah. Seringkali aku dimaki, dibentak, dan dibuat pusing oleh tingkah laku pasien-pasienku dengan berbagai macam karakternya masing-masing. Aku bingung harus bagaimana lagi. Terpaksa aku harus bisa melatih diriku untuk sedikit bersabar dalam melayani pasien-pasienku."

"Yang sabar yah, Rani. Aku tahu kok kamu bisa, asalkan kamu bisa sedikit bersabar dan setia. Pahala yang kamu dapatkan pun pasti tak sedikit. Semangat!"

"Terima kasih buat motivasinya, Raisa," ujarnya. "Baiklah kalau begitu, sampai di sini dulu yah percakapan kita malam ini. Aku harus istirahat lebih cepat dari biasanya malam ini. Karena esok aku harus berangkat kerja pagi-pagi sekali. Ada urusan penting sekali esok."

"Oke deh kalau begitu. Selamat tidur, Ran! Mimpi indah. Semoga esok pekerjaanmu berjalan dengan lancar dan baik."

"Kamu juga. Jangan lupa istirahat yang tempo. Jangan begadang! Have a nice dream, sweetie! Bye!"

"Da da.... See you tomorrow!!!"

Tut tut tut... Sambungan telepon kami pun putus. Kulihat jam dinding yang tergantung di atas lemari pakaianku . Ternyata sudah pukul 11.11. Sudah larut juga yah, batinku.

Dengan cepat aku keluar dan menuju ke kamar mandi. Setelah selesai membersihkan kaki dan tanganku, aku langsung kembali ke kamar tidurku. Aku naik ke atas tempat tidurku dan berdoa. Di bawah sinar remang-remang rembulan malam itu, kedua mataku terpejam perlahan. Relung mimpi kembali merasuki jiwa dan pikiranku. Semoga malam ini aku bermimpi indah. Dan esok kebahagiaan selalu meliputi kehidupanku. Good night!!!

🌚🌚🌚

Penasaran dengan kelanjutan ceritanya? Bagaimana kehidupan Raisa selanjutnya?

Kalau begitu, saksikan kelanjutannya di chapter berikutnya yah! Satu saja permintaanku, maksudnya banyak sih 🤣 :

1. Tolong di-like

2. Di-vote

3. Comment, and;

4. Share yah!

Biar banyak orang yang dapat membaca cerita ini. Aku harap kalian suka yah teman - teman pembaca! 😄

Nantikan aku di bab berikutnya! I'll see you next time! 👋