Chereads / KEMBALILAH / Chapter 3 - PERGI KE TEMPAT YANG BARU

Chapter 3 - PERGI KE TEMPAT YANG BARU

Di dalam ruangan yang bercat dinding berwarna biru langit, warna kesukaanku, aku terbaring lemah di ranjangku yang empuk. Mataku sudah ingin tertutup. Namun, tertahankan akibat pikiranku terus mengingat lelaki bernama Rafa itu.

"Mengapa tadi tak ku jadikan dia pacarku saja?" tanyaku pada diriku sendiri. Penyesalan memang selalu datang di akhir, tak pernah di awal. Itulah yang membuat setiap hati harus berhati - hati dalam mengambil sebuah keputusan. Hal itu harus dipikirkan berulang - ulang, sehingga tak membawa kegalauan dan kegundahan hati yang dapat menyiksa batin bahkan alam sadar manusia.

Aku terus merenungi hal yang baru kualami barusan. Parasnya yang tampan, mata biru dan rambutnya yang mempesona, serta postur tubuhnya yang kokoh membuatku tak bisa berhenti untuk memikirkannya. Dia terus merasuki jiwa dan pikiranku. Setiap saat keindahannya berusaha mencuri sebuah tempat istimewa di dalam hatiku.

Aku berusaha untuk kembali menenangkan pikiranku yang sedikit kacau. Kupaksakan diriku untuk bangun dari nikmatnya kelembutan ranjang yang sedari tadi membuatku nyaman. Aku tak bisa terus - terus seperti ini. Otakku tak boleh hanya memikirkannya. Aku masih harus memikirkan hal - hal lainnya yang mungkin lebih berguna, daripada harus berkutat dengan pemikiran konyol tentang Rafa.

Akhirnya, aku meloncat pelan dari tempat tidurku. Aku pergi ke samping koperku yang berwarna senada dengan dinding kamarku. Kubuka koper itu. Pakaian Dan barang - barang Ku yang lain masih terlihat rapi, tak ada kurang suatu apapun atau kusut sedikit pun. Semuanya dengan kondisi baik adanya.

Aku lalu mengambil beberapa pakaian dan memasukkannya ke dalam lemari pakaianku. Setelah hampir semua pakaian dan barang - barangku telah selesai kubereskan dan kurapikan serta kutempatkan oada tempatnya masing - masing, tiba - tiba aku dikejutkan dengan sebuah benda yang terletak di bagian dasar koperku.

Di sana terletak dengan sangat baik smartphone - ku yang ku kira sudah hilang sejak tadi aku berada di bandara. Betapa senangnya hatiku, ketika aku dapat menemukan kembali salah satu benda berhargaku itu. Akhirnya, semua memori dan kenangan - kenangan indah berupa foto dan video selama berada di Amerika tak jadi hilang. Aku sangat berterima kasih pada Tuhan, karena dia masih menyayanginya dengan mengembalikan gawaiku yang ku sangka telah hilang itu.

Dengan cepat aku meraih benda tersebut ke dalam tanganku. Kuperiksa dengan sangat teliti apakah ada kerusakan pada benda tersebut atau tidak. Untunglah tak ada kerusakan yang cukup berarti pada benda tersebut. Aku kembali membaringkan tubuhku ke atas ranjang tempat tidurku. Kuraih kertas yang tadi diberikan oleh Rafa kepadaku. Di sana masih tertulis dengan sangat jelas nomor handphone – nya.

Dengan segera kubuka lockscreen hp – ku dan mencari aplikasi kontak. Kesentuh bagian situ dan langsung mengetik nomor teleponnya satu persatu. Aku pun menyimpannya. Kebingungan kembali melandaku. Apakah aku harus menelponnya atau tidak. Atau mungkin hanya sekedar mengirim pesan? Aku pun tak tahu.

Namun, tiba – tiba hasratku untuk mengetahui aktifitasnya saat ini membuatku bangkit dengan sangat cepat. Dalam posisi duduk, aku membuka aplikasi pesan. Dengan pelan, aku mulai merangkaikan kata – kata yang cocok untuk diketikan di dalam kotak pesan. Dengan cepat, aku menemukan kata – kata yang menurutku pas.

Hai, Rafa. Ini dengan aku, Raisa. Sekali lagi aku berterima kasih banyak kepadamu karena tanpamu, mungkin aku masih berada di bandara hingga saat ini. Oleh karena itu, sudah sepantasnya aku berterima kasih padamu. Btw, kamu sedang apa sekarang?

Kira – kira begitulah pesan yang kuketikan di papan keyboard – ku. Kalimat pendek itu lalu dengan segera kukirimkan kepada Rafa. Tak lama setelah itu, pesan yang aku kirimkan padanya telah dibaca. Secepat kilat, Rafa langsung membalas pesanku. Begini bunyinya :

Jangan terlalu berlebihan. Itu juga sudah menjadi tugas dan tanggung jawabku. Sudah seharusnya aku menghantarmu pulang sampai di rumah dengan selamat. Di lain hal, itu juga merupakan perintah khusus dari Om Will, Ayahmu. Jadi, mau tak mau aku harus melakukannya dengan sebaik mungkin. Sekarang, aku sedang dalam perjalanan menuju ke kantor. Sebentar lagi rapat akan segera dimulai. Aku harap kamu baik – baik saja sekarang.

Aku lalu membalas pesannya dengan cepat, berharap dia belum sampai di kantornya. Aku menuliskan kalimat pesan sebagai berikut :

Walaupun sedikit lelah namun aku sedang baik – baik saja kok. Jangan khawatirkan aku. Kamu harus fokus mengemudikan mobilmu. Jangan sampai, hanya gara – gara membaca dan membalas chat dariku, kamu harus ditimpa kecelakaan. Hati – hati yah! Semoga kegiatan rapatmu berjalan dengan lancar sampai akhir.

Pesan itu lalu kukirimkan kepada Rafa. Dia lalu membalasku. Begini bunyi pesannya :

Terima kasih untuk perhatiannya. Juga untuk semangatnya. Aku sudah sampai dan sekarang aku harus segera menuju ke ruangan tempat akan diadakannya rapat. Rapat akan dimulai dalam beberapa menit lagi. Sampai ketemu lain waktu.

Betapa senangnya hatiku ketika membaca pesannya itu. Rafa kini telah sampai di kantornya dalam keadaan selamat. Tak ada suatu apapun yang menimpanya. Aku lalu menutup aplikasi pesan. Kemudian, aku mulai melihat – lihat kembali kenangan indah bersama teman – temanku di Amerika, juga bersama bibi dan paman yang sangat baik kepadaku, dan tak terlewatkan oleh pandanganku adalah foto – foto panorama alam Amerika yang sangat indah.

Setelah lama melihat – lihat kembali beberapa foto dan video milikku selama aku masih berada di Amerika, aku kembali menutup aplikasi galeri. Kubuka dengan cepat aplikasi wattpad. Di dalamnya telah ku-download berbagai macam novel. Namun, yang paling kusukai adalah novel bergenre horror. Novel itu berjudul Penjaga Kuburan Kosong.

Entah mengapa aku selalu tertarik dengan hal – hal berbau hantu dan yang berhubungan dengannya. Seperti setan, tempat – tempat angker dan lainnya. Ayahku selalu memperingatkan aku untuk tidak boleh lagi mebaca novel – novel seperti itu. Namun, apa boleh buat. Kebiasaanku ini telah tertanam mati dalam diriku sejak aku masih sangat kecil.

Oleh karena itu, seberapa besar pun usaha Ayahku tak mampu menepiskan semangat bahkan menghilangkan kebiasaanku yang telah mendarah daging dalam diriku ini. Ayah hanya bisa mengingatkanku agar tidak boleh membaca cerita yang memiliki unsur seram. Namun, sekali lagi, aku tak menghiraukannya.

Kubuka novel itu dan langsung membacanya. Selama membaca, aku tak lupa mendengarkan lagu – lagu kesukaanku. Tentunya yang bernada serupa dengan jenis bacaan yang sedang kubaca. Semakin lama, aku semakin menghayati jalan ceritanya. Hingga, pada suatu ketika ada sebuah bunyi derap langkah kaki seseorang. Namun, ketika aku mendengarnya dengan lebih teliti dan saksama, aku tahu bahwa itu bukan suara langkah kaki Ayahku. Bunyi langkah kakinya seperti seorang penjaga kuburan yang sedang melangkah menuju tempatnya bekerja. Persis seperti yang kubaca dalam novel ini.

Aku berusaha untuk menenangkan diriku. Namun, bunyi derap langkah kakinya yang semakin terdengar mendekati kamarku membuat seluruh bulu kudukku berdiri. Aku sudah sangat ketakutan. Dengan cepat kutarik selimutku untuk menutup tubuhku. Aku berharap bahwa itu bukanlah hantu.

Tiba – tiba, suara pintu dibuka mulai terdengar jelas. Gagang pintu kamar tidurku mulai terlihat berputar. Tandanya hantu itu sudah berada di depan kamarku dan sebentar lagi akan masuk dan langsung membunuhku lalu memangsaku dengan sangat ganas. Aku semakin takut. Badanku bergetar dengan sangat hebat. Gigiku menggigil dan keringat dingin mulai berjatuhan satu per satu dari dahiku. Pintu kamarku pun terbuka dan...

"AAAAAAAAA.......!!!!" teriakku sekencang mungkin, berharap hantu itu lari meninggalkanku sendirian di kamar. "CEPAT MENJAUH DARIKU SETAN JAHAT!!! AKU BERJANJI TAK AKAN MEMBACA CERITA – CERITA TENTANGMU LAGI!!!" ujarku dengan nada takut.

Tapi, tiba – tiba sebuah tangan lembut menarik selimutku. Sedikit demi sedikit cahaya senja sore mulai masuk dan dengan jelas aku melihat Ayahku sedang berdiri di hadapanku. Dengan jas kantornya, dia menyimpulkan sebuah senyum yang sangat manis kepadaku. Tak menunggu lama, aku langsung segera memeluknya dengan sekuat tenaga.

Aku mengira bahwa hantu itu akan segera memakanku ketika dia telah menemukanku. Namun, ternyata sosok yang aku takuti sebagai hantu itu adalah ayahku sendiri. Dengan lembut, dibalasnya pelukanku. Aku pun semakin erat memeluknya. Pria bernama Will itu lalu berkata kepada dengan sedikit tawa, "Makanya, jika Ayah telah memperingatkan kepadamu untuk tidak mebaca novel bergenre horror, kamu harus menurutinya. Ini akibatnya jika kamu mau melanggar perintah Ayah. Akhirnya kamu jadi terlihat ketakutan seperti ini."

"Maafkan Raisa ya, Ayah!" pintaku dengan suara penuh penyesalan. "Aku berjanji untuk tidak melanggar perintah Ayah kepadaku. Mulai dari saat ini, aku akan menghilangkan semua kebiasaanku. Semua novel dalam daftar bacaanku di wattpad akan kuhapus."

"Begitu baru namanya Raisa, anak kesayangan Ayah," pujinya. Kemudian dia pun melanjutkan kata – katanya, " Kalau begitu, cepat rapikan tempat tidurmu dan ganti bajumu dengan baju yang baru. Ayah telah membelikan makanan kesukaanmu. Segera setelah semuanya beres, turun ke ruang makan. Ayah menunggu kamu di sana."

Segera setelah itu, Ayahku langsung beranjak pergi dari dalam kamarku. Ditutupnya pintu itu rapat – rapat. Aku langsung membuka pakaianku dan menggantinya dengan pakaian yang baru. Setelah itu, kurapikan tempat tidur dan juga selimutku. Kini semuanya sudah terlihat bersih dan rapi seperti semula. Tak menunggu lama, aku langsung berjalan menuju ke ruang makan.

Deretan tangga menuju ke lantai dasar yang terbuat dari marmer itu kulangkahi satu per satu. Tak lama kemudian, aku telah menapaki kakiku di lantai bawah. Ayah sedang duduk dengan sangat manis di atas salah satu kursi yang terletak di pinggiran meja makan itu. Dengan senyum manis, dia melambaikan tangannya memanggilku untuk bergegas menuju di dekatnya.

Aku mulai berjalan santai ke arahnya. Sambil berdiri dia menarik sebuah kursi dan mempersilahkan aku untuk duduk. Aku lalu merespon balik dengan duduk sopan di atas kursi itu. Dia pun kembali duduk di tempatnya. Dengan lembut dia berkata, "Ayah sangat merindukanmu, Raisa. Hari – hari kehidupan Ayah selama engkau tak ada di sini terasa hampa. Kehadiranmu sekarang telah membuat Ayah merasa lebih bersemangat daripada sebelumnya."

"Maafkan Ayah, karena tadi siang tidak sempat menjemputmu di bandara. Ayah sedang disibukkan dengan urusan kantor yang akhir – akhir semakin banyak. Ayah harap kamu dapat memakluminya, Sa," tuturnya lanjut.

"Tidak apa – apa kok, yah. Raisa baik – baik saja," jawabku singkat.

"Baiklah kalau begitu," katanya dengan suara lega. "Tadi pagi Ayah telah menyuruh seseorang untuk menjemputmu. Apakah dia yang menjemputmu di sana? Kalau tak salah, Rafa, namanya."

"Iya Ayah," jawabku singkat. "Rafa yang telah menjemputku di bandara dan menghantarkanku sampai pulang di rumah dengan selamat. Dia sangat baik, dan juga tampan," kataku, yang tak sadar bahwa pipiku telah memerah karena malu. Ayahku yang melihat perubahan seketika dalam diriku, dengan cepat tahu bahwa aku ada menyimpan perasaan terhadap Rafa.

"Apa yang kalian lakukan selama dalam perjalanan?" tanyanya penasaran.

"Kami berbincang – bincang tentang banyak hal. Dari sana, aku mulai kenal lebih dekat dan tahu lebih banyak tentangnya."

"Ayah harap kalian berdua dapat menjadi sahabat yang baik. Atau mungkin kalian sudah pacaran?"

Tiba – tiba, aku semakin grogi. Seluruh darah di dalam tubuhku dengan cepat mengalir naik ke kepalaku. Aku tak bisa berkata – kata apa – apa lagi. Namun, aku berusaha untuk terlihat tenang didepan Ayahku.

"Nggak kok Ayah! Kami hanya sahabat saja, tak lebih dari itu," kataku sambil terputus - putus.

Sambil tertawa kecil, Ayah berkata, "Ayah hanya bercanda. Jangan kau masukkan kata - kata Ayah dalam hatimu. Rafa juga bukan laki - laki yang nakal. Dia pria yang baik hati. Susah loh, untuk dapat memperoleh tempat di hatinya."

"Tapi ternyata kamu juga bisa dekat dengannya dengan sangat cepat. Kamu memang anak kebanggaan Ayah!" pujinya dengan suara gembira.

Kami berdua kemudian menimba makanan ke dalam piring kami masing - masing dan mulai makan malam. Tiba - tiba, Ayah bertanya kepadaku. Beliau penasaran dengan kegiatan apa saja yang telah kulakukan selama sepuluh tahun berada di Amerika.

"Everything run very good, Daddy!*" jelasku singkat.

*Semuanya berjalan baik, Ayah!

Aku lalu menambahkan, "Di sana aku mendapatkan banyak pengalaman baru dan juga menyenangkan. Bibi selalu mencukupi segala kebutuhan dan keinginanku. Nilai - nilaiku selama berada di perkuliahan selalu bagus dan itulah yang membuat aku dapat lulus dengan predikat 'cum laude'. Aku cukup bangga dengan hal itu. Namun..."

"Apa gerangan yang membuatmu gelisah, Raisa? Katakan pada Ayah. Ayah akan membantu mencari solusinya," pintanya dengan tulus.

"Sampai saat ini aku masih belum menemukan pasangan hidup yang cocok denganku. Banyak pria Amerika yang telah menjadi pacarku. Namun, lagi - lagi mereka semua tak sesuai dengan harapanku. Mereka sama sekali bukan tipeku. Apakah Ayah bisa menemukan solusi untuk masalah yang sedang aku hadapi ini?" tanyaku dengan wajah sedih.

"Hanya ada satu solusi untuk masalahmu ini, Ra," katanya. "Kamu hanya perlu diam, tenang dan mulai berdoa kepada Tuhan. Hanya dari pada-Nya, Engkau dapat meminta. Di sanalah tempat curhat terbaik. Dia akan mendengarkan segala keluh kesah yang sedang kau hadapi. Dan yakinlah, Tuhan tak pernah menutup telinga untuk seruan hamba - hambaNya yang memohon pada-Nya. Janji Tuhan bukanlah yang tercepat, namun yang terbaik. Semua akan indah pada waktunya. Apakah kamu mengerti Raisa?"

Setelah me dengar ucapan Ayah, aku menjadi bertambah semangat. Lalu, berkata dengan nada gembira, " Mengerti Ayah. Raisa akan selalu berdoa dan memohon agar Tuhan segera memberikan seseorang yang terbaik buat Raisa. Dan harapanku, semoga orang yang dikirimkan oleh Tuhan dapat menjadi pemimpin yang baik bagiku kelak. Juga buat anak - anakku."

"Ayah juga berharap hal yang sama, Sa. Semoga Tuhan selalu mengabulkan setiap permohonanmu."

Beberapa menit kemudian, seluruh makanan yang tadi kami tiba di atas piring kami masing - masi g telah habis. Kini, saatnya untuk beristirahat. Namun, ketika hendak berdiri, Ayah dengan sangat cepat menarik tanganku dan memintaku untuk duduk sebentar saja. Aku lalu menuruti permohonannya.

"Raisa, Ayah ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Tapi, Ayah berharap agar kamu dapat menerima hal yang nanti Ayah katakan padamu dengan tulus hati."

"Katakan saja, Ayah! Raisa siap untuk menerimanya."

Ayah lalu menarik napas panjang dan berkata, "Ibuku saat ini sedang berada di kampung halamannya, di Kei Kecil. Letaknya sangat jauh dari daerah tempat tinggal kita sekarang. Tepatnya, di Provinsi Maluku, Kabupaten Maluku Tenggara. Saat kamu masih berumur satu tahun, Ayah dan Ibu telah membawamu ke sana. Tapi, tak begitu lama. Hanya sebulan kita berada di sana karena Ayah masih harus melanjutkan pekerjaan Ayah. Semenjak saat itu, kamu tidak pernah kembali lagi ke sana."

Dia berhenti sejenak dan langsung kembali melajutkan perkataanya, "Jadi, Ayah berharap kamu mau ikut dengan Ayah untuk berlibur di sana. Lebih tepatnya tinggal untuk beberapa bulan."

Aku yang mendengar hal itu tiba - tiba stok dan tak tahu berkata apa - apa lagi. Aku hanya bisa terdiam dan mengangguk kecil, tanda mengiyakan permintaan Ayah.

Meskipun banyak sekali terdapat kenangan indah semasa remaja yang telah aku jalani selama berada di sini, namun harus kuakui bahwa aku pun rindu untuk melihat Ibuku. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk berangkat bersama Ayah menuju ke Kei Kecil, kampung halaman ibuku.

"Kapan kita akan berangkat, Yah?" tanyaku singkat.

"Kita akan berangkat malam ini juga. Ayah telah membeli tiket kita berdua untuk keberangkatan malam. Jadi, Ayah harap kamu dapat segera membereskan segala barang - barang yang ingin kau bawa. Dan lima belas menit tepat sebelum jam delapan malam, kita akan berangkat menuju bandara. Percepat sedikit gaya mu, jangan lambat!" perintahnya.

Aku hanya bisa terdiam dalam kebingungan. Aku baru saja sampai dan diminta untuk langsung meninggalkan rumah ini tanpa harus tidur semalam? Hatiku masih terasa berat. Namun, demi Ibu aku rela melakukan segala hal.

Dengan cekatan aku langsung merapikan meja makan dan membawa piring kotor ke tempat cuci piring. Setelah itu, aku berlari dengan secepat kilat menuju kamar tidurku.

Kubuka lemari pakaianku. Kutarik semua pakaianku yang tergantung di dalamnya. Dan dengan cepat, aku melipat semua pakaianku itu dengan sangat kecil agar sebentar koperku dapat menyimpan lebih banyak benda.

Tak lupa, aku juga memasukkan beberapa benda kesayanganku. Seperti, bola kaca salju, poster - poster Walt Disney, lilin aroma terapi, buku - buku novel dan juga buku - buku kuliahku, dan beberapa perlengkapan rias. Setelah ku rasa cukup, aku lalu mengambil handphone - ku yang terletak di atas tempat tidurku dan langsung memasukkannya ke dalam saku celana ku. Dengan pakaian itu sudah, aku langsung berlari menuruni tangga sambil menenteng koper yang cukup berat itu.

Terlihat di bawah, Ayah telah berdiri siap dengan segala barang bawaannya. Terdapat sebuah tas ransel berwarna coklat tua, sebuah kotak berisi kue - kue kesayangan Ibu, dan sebuah koper berwarna hitam.

Ayah terlihat sedang menelpon sesorang. Ternyata, beliau sedang memesan jasa penyedia layanan mobil untuk datang menjemput kami di rumah.

Tak menunggu lama, mobil itu pun sampai di depan teras rumah. Ayah dengan cepat menenteng semua barang bawaan kami ke dalam bagasi mobil yang dibantu juga oleh si sopir.

Aku lalu masuk ke dalam dan diikuti oleh Ayah. Kami berdua duduk di kursi tengah dan pak sopir pun masuk ke dalam mobil. Ditutupnya pintu depan, dan langsung menyalakan mesin mobil. Mobil itu pun langsung berlari meninggalkan rumah yang kudatangi itu.

Hampir saja air mataku menetes karena sedih meninggalkan rumahku walaupun hanya untuk beberapa bulan saja. Namun, aku berusaha untuk menenangkan hatiku.

Sembari menyusuri jalanan yang sudah tak macet lagi, aku terus asyik memainkan smartphone android milikku.

Tak terasa hampir tiga jam telah berlalu dengan sangat cepat. Kini, mobil yang kami tumpangi telah berhenti dan berada tepat di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta.

Dengan cepat pak sopir turun dari mobil dan mengeluarkan barang - barang bawaan kami. Ayah dan aku pun ikut turun dari dalam mobil.

Dengan dibantu oleh Ayah, aku berusaha menenteng barang - barang bawaan yang menurutku sanggup untuk dibawa olehku. Dengan cepat kami telah berada di ruang tunggu. Proses check-in telah kami lewati dengan baik. Kini, yang harus Ayah dan aku lakukan adalah menunggu perintah dari petugas bandara untuk memerintahkan kami naik ke dalam pesawat.

Beberapa puluh menit kemudian, tibalah pesawat yang akan kami tumpangi. Suhu udara malam itu sangat dingin. Aku sudah terlelap sejak tadi. Tapi karena tiba- tiba saja aku dibangunkan oleh Ayah, maka mataku langsung terbuka dengan sangat lebarnya. Mataku masih terlihat sayup. Namun, aku berusaha untuk tidak tertidur untuk sementara waktu.

Beberapa penumpang lainnya terlihat telah berjalan menuju arah pesawat berada. Aku dan Ayah adalah orang terakhir yang berada di dalam ruang tunggu.

Seorang petugas bandara memerintahkan kami untuk segera berjalan menuju ke arah tempat pesawat berada. Kami berdua lalu mengikuti instruksi yang diberikan oleh lelaki tersebut.

Tak lama kemudian, aku, Ayah, dan beserta semua penumpang lainnya telah berada di dalam ruang pesawat. Pramugari yang cantik terdengar memberikan instruksi untuk mengaitkan sabuk pengaman pada tubuh kami. Semua penumpang mendengar dengan saksama dan melakukannya.

Pesawat pun lepas landas dan aku dapat melihat dengan jelas dari ketinggian keindahan pulau Jawa yang mempesona itu. Semakin lama pesawat semakin tinggi dan yang kulihat hanya bintang - bintang dan sedikit awan.

Dengan segera, aku langsung terlelap dalam tidur yang sangat pulas. Ayah yang sedang duduk di sampingku hanya bisa melihatku dengan tatapan penuh kasih. Dibelinya rambutku dengan sangat lembut. Pesawat pun semakin terbang menjauhi pulau Jawa.

Itulah hal terakhir yang bisa aku ingat. Setelah itu, hanya mimpi sebagai bunga tidur yang menemani malam panjang itu. Aku pun tertidur dengan sangat pulas, berharap dapat segera sampai di tempat tujuan.

.

..

...

....

.....

...

....

.....

......

.......

......

.....

....

...

.....

....

...

..

.

Penasaran dengan kelanjutan ceritanya? Apa yah yang akan Raisa jalani dan hadapi selanjutnya di Pulau Kei Kecil, tempat tinggal Ibunya?

Kalau begitu, saksikan kelanjutannya di chapter berikutnya yah! Satu saja permintaanku, maksudnya banyak sih 🤣 :

1. Tolong di-like

2. Di-vote

3. Comment, and;

4. Share yah!

Biar banyak orang yang dapat membaca cerita ini. Aku harap kalian suka yah teman - teman pembaca! 😄

Nantikan aku di bab berikutnya! I'll see you next time! 👋