Para penjaga membawaku ke sebuah kamar tidur dan melemparkan aku ke atas ranjang. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, mereka meninggalkan ruangan ini.
Aku turun dari tempat tidur dan berlari menuju pintu. Tetapi sebelum aku sampai di sana, mereka sudah membanting pintu sampai tertutup.
Aku mencoba membuka pintu, tetapi tentu saja pintu itu terkunci. Akhirnya, aku mulai menggedor pintu dengan keras.
"BUKA PINTUNYA! BIARKAN AKU KELUAR! AKU MOHON! KELUARKAN AKU DARI SINI!" aku berteriak sekencang-kencangnya, tetapi permohonanku diabaikan. Mengetahui hal itu tidak berguna, aku akhirnya menyerah.
Mataku melirik ke sekeliling ruangan ini. Semua dinding di kamar ini ditutupi dengan wallpaper berwarna merah. Lantai kayunya juga dilapisi oleh karpet merah. Lampu LED tergantung dari langit-langit putih. Dan satu set tirai merah menutupi jendela.
Ada dua pintu di dalam ruangan ini. Aku kira salah satu dari mereka menuju ke kamar mandi dan yang lainnya adalah lemari. Di tengah ruangan ada tempat tidur dengan sperei dan selimut berwarna hitam serta bantal merah. Dua buah nakas diposisikan di sisi kiri dan kanan tempat tidur. Di atas setiap meja ditaruh sebuah lampu.
Aku berjalan ke jendela dan membuka tirai. Rupanya, jendelanya tertutup rapat dengan balok-balok kayu. Aku mengintip melalui lubang di papan itu dan yang bisa kulihat hanyalah pepohonan yang mengelilingi tempat ini.
"Ya Tuhan, tidak! Sepertinya aku berada jauh dari mana-mana. Sekarang kesempatanku untuk kabur sangat kecil, bahkan mungkin mustahil," kataku dengan nada panik.
Aku menggelengkan kepala. "Tidak. Jangan berpikir seperti itu! Aku yakin aku dapat menemukan cara untuk melarikan diri dari sini. Yang paling penting adalah aku harus keluar dari ruangan ini terlebih dahulu dan kemudian aku bisa melewati hutan sampai aku bisa menemukan peradaban."
Aku mencoba menarik papan yang menutupi jendela dengan sekuat tenaga, tetapi tidak ada gunanya. Namun aku tidak ingin menyerah begitu saja dan terus berusaha membuka jendela ini.
"Percuma saja. Kamu tidak akan pernah bisa membuka jendela itu." Tiba-tiba sebuah suara mengejutkanku.
Aku berbalik dan mendapati si pemimpin penculik, Lord Sigmund berdiri di pintu.
"Ba—bagaimana kamu bisa masuk ke kamar ini?" aku tergagap.
"Melalui pintu itu." Lord Sigmund menunjuk ke pintu di belakangnya.
Aku mengerutkan kening. "Tapi aku tidak mendengarmu datang."
Dia mengangkat bahu. "Kamu terlalu sibuk mencoba melarikan diri. Bagaimana kamu bisa mendengar aku datang?"
Aku memutar bola mataku dengan jengah.
Sigmund perlahan mulai berjalan ke arahku.
"Menjauh dariku!" aku berteriak sambil berjalan mundur.
"Jangan takut! Aku tidak akan menyakitimu," ucapnya dengan tenang.
"Kamu sudah menyakitiku." Aku menunjuk ke pergelangan tangan kiriku.
"Aku tahu." Dia menghela nafas. "Maafkan aku. Aku berjanji tidak akan pernah menyakitimu lagi."
"Apakah kamu pikir aku akan mempercayaimu?" tanyaku dengan sinis.
Dia menggelengkan kepalanya. "Kamu tidak harus mempercayai aku."
Lord Sigmund terus berjalan ke arahku. Aku mundur sampai punggungku menghantam dinding. Bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman ketika ia melihat bahwa aku sudah terpojok sekarang.
"Duduk!" Lord Sigmund menunjuk ke tempat tidur.
"Tidak!" aku menolak dengan tegas.
"Jangan mengetes kesabaranku, Putri! Sekarang duduk!" dia membentakku.
Dengan enggan, aku duduk di tepi tempat tidur. Dan Sigmund duduk di hadapanku.
"Ulurkan tangan kirimu!" dia memerintahkan.
Aku menyipitkan mataku padanya dengan curiga. "Mengapa? Apakah kamu ingin menyayat tanganku lagi?"
"Sudah kubilang aku tidak akan pernah menyakitimu lagi. Aku hanya ingin membersihkan lukamu. Lihat!" Dia mengeluarkan swab alkohol, krim antiseptik, dan perban dari sakunya.
"Berikan padaku! Aku bisa melakukannya sendiri," kataku.
"Tidak, aku yang akan melakukannya," dia bersikeras, "Sekarang ulurkan tanganmu!"
Aku lelah berdebat dengannya, jadi aku mengulurkan tangan kiriku.
"Mungkin ini sedikit menyengat," dia memperingatkan aku.
Aku mengangguk.
Saat dia mengusap kapuk kapas basah pada luka di pergelangan tangan kiriku, aku merasa seperti tersengat. Aku meringis dan menggigit bibir bawahku, berusaha tidak menjerit.
"Mengapa kamu melakukan itu?" tanyaku pada Sigmund, mencoba mengalihkan perhatian dari rasa sakit.
Dia menatapku bingung. "Melakukan apa?"
"Kau tahu, menyayat pergelangan tanganku dan mencicipi darahku," jawabku.
"Percayalah padaku kamu tidak ingin tahu jawabannya, Putri!" dia berkata.
"Coba saja!" aku menantangnya.
"Tidak." Dia menggelengkan kepalanya.
Aku terus mengawasinya ketika dia menaruh krim antiseptik di lukaku dan kemudian membalutnya dengan perban.
"Selesai!" dia berseru.
"Di mana liontinku?" tanyaku secara tiba-tiba.
"Aman bersamaku," jawabnya.
"Kembalikan!" aku menuntut.
"Tentu, aku akan mengembalikannya nanti," ujarnya dengan tenang.
"Tidak, aku ingin kamu memberikan liontinku sekarang," aku bersikeras.
Dia mengertakkan gigi. "Nanti."
Aku menghela nafas. "Janji?"
Dia mengangguk. "Iya."
"Aku pegang kata-katamu," ucapku.
Sigmund berdiri dari tempat tidur. "Kita akan melakukan perjalanan panjang malam ini. Kamu sebaiknya tidur sekarang," usulnya.
Aku melipat tangan di dadaku. "Aku tidak mau tidur."
Dia mengangkat alis. "Apakah aku harus memaksamu, Putri?"
"Tapi aku tidak mengantuk," bantahku.
"Aku tidak peduli. Tidurlah sekarang atau aku akan membiusmu," dia mengancam.
"Oke." Aku berbaring di tempat tidur dan menarik selimut hingga ke leherku.
"Aku harus pergi sekarang. Aku akan memeriksa kamu dalam setengah jam. Jika kamu tidak tidur pada saat itu, aku akan membiusmu," dia memberitahuku.
"Terserah," gumamku.
Lord Sigmund mulai berjalan menuju pintu. Dia mematikan lampu, keluar dari kamar, dan akhirnya membanting pintu hingga tertutup.
Aku memejamkan mata tetapi aku tidak bisa tidur. Aku terus membolak-balikkan badan di tempat tidur untuk waktu yang lama tetapi aku belum bisa tidur juga.
Aku melempar selimut dan turun dari tempat tidur. Kunyalakan lampu dan mulai berjalan mondar-mandir di sekitar ruangan ini.
"Aku harus menemukan cara untuk keluar dari sini," kataku pada diri sendiri.
Pintu tiba-tiba terbuka, dan masuklah Sigmund. Dia tampak kesal ketika tahu aku masih terjaga.
"Jadi kamu belum tidur?" dia bertanya dengan geram.
"Sudah kubilang aku tidak bisa tidur," aku membuat alasan.
"Kalau begitu jangan salahkan aku jika aku harus membiusmu!" Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan jarum suntik.
"Tunggu!" aku berteriak, "Jangan lakukan itu! Aku akan mencoba untuk tidur sekarang."
Dia menunjuk ke tempat tidur, mengisyaratkan agar aku berbaring.
"Oke." Dengan enggan, aku mendekati tempat tidur dan berbaring di sana.
Sigmund berjalan ke arahku dan duduk di tepi tempat tidur.
Aku duduk tegak dan bertanya dengan nada panik, "Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Jangan khawatir! Aku tidak akan memperkosamu atau apapun. Aku hanya ingin mengawasimu sampai kamu tertidur," ujarnya kepadaku.
"Tapi aku tidak bisa tidur jika seseorang memperhatikanku," aku memprotes.
Dia melipat tangan di dadanya. "Itu bukan masalahku."
Menghembuskan nafas frustrasi, aku berbaring dan menarik selimut hingga ke atas kepalaku. Tidak lama setelah aku menutup mata, aku akhirnya tertidur.