Tadi malam, aku banyak menangis sampai-sampai aku ketiduran. Bunyi pintu besi yang terbuka membangunkanku pada hari berikutnya.
Aku mengangkat kepala dan melihat ke pintu. Kulihat ada dua pria jangkung dan berotot dengan hoodie hitam berdiri di ambang pintu. Mulutku menganga saat aku mendapati mereka memegang rantai dan belenggu di tangan mereka.
Ketika mereka berjalan ke arahku, aku duduk dan mundur sampai punggungku menabrak dinding batu.
"Bangun!" salah satu dari mereka memerintahkan setelah mereka sudah berdiri di depanku.
Mengesampingkan perasaan takut, aku menolak untuk menuruti perintah mereka.
Karena aku tidak mau bekerja sama, mereka secara kasar menarikku hingga berdiri. Setelah itu, salah satu dari mereka mengambil penutup mata dari sakunya dan kemudian menggunakannya untuk menutup mataku.
"Apa yang kalian lakukan?" Aku mencoba melepaskan penutup mataku, tetapi keduanya meraih tanganku dan merantai pergelangan tanganku di depan. Sebelum aku bisa bereaksi, mereka juga menaruh belenggu di kakiku.
"Jalan!" salah satu pria memerintahkanku sambil menarik rantaiku ke depan.
Aku diam saja, tidak mau mematuhinya.
"Aku bilang, jalan!" dia mengulangi ucapannya, membentakku.
"Tidak!" aku bersikeras.
"Apakah kamu ingin berjalan sendiri atau aku harus menggendongmu seperti sekarung kentang?" pria di sebelah kiriku mengancam.
"Oke, oke, aku akan berjalan," kataku.
Dengan enggan, aku mulai melangkah ke depan. Karena mataku ditutup oleh kain, aku jadi tersandung di ambang pintu. Aku hampir jatuh, tetapi pria di sebelah kananku meraih lenganku sebelum tubuhku tersungkur ke lantai.
"Perhatikan langkahmu!" dia memperingatkanku dengan sarkastik.
"Bagaimana aku bisa memperhatikan langkahku jika mataku ditutup?" balasku dengan geram.
Tanpa diduga, pria di sebelah kiri menampar pipiku dengan keras. "Jangan pernah bicara kecuali kami memintamu! Apakah kamu mengerti?"
Aku menggigit bibir bawahku untuk menahan isakan.
Dia menarik rambutku ke atas. "Jawab aku! Apakah kamu mengerti aku atau tidak?"
"Iy—iya," aku tergagap.
"Baik! Sekarang terus bergerak!" Dia mendorongku.
"Aduh!" Aku merintih ketika aku mendarat di lantai dengan bunyi gedebuk.
Aku mendengar pria di sebelah kananku menghela nafas frustrasi.
"Ayo!" Dia meraih lenganku dan mengangkatku. Setelah itu, dia menarik aku ke depan.
Mereka menyeret aku melalui banyak belokan. Bahkan jika mataku tidak tertutup, aku pikir aku akan merasa sulit untuk mengingat setiap belokan yang kami ambil.
Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya kami berhenti. Tiba-tiba, suara-suara gadis menjerit dan menangis memenuhi telingaku. Aku segera tahu bahwa aku bukan satu-satunya sandera di sini.
Penutup mataku akhirnya ditarik. Aku mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba menyesuaikan penglihatanku. Setelah semuanya menjadi jelas, aku melihat ke sekeliling ruangan. Aku menemukan diriku berdiri di tengah-tengah aula besar. Aku bergabung dalam antrian dengan gadis-gadis lain yang juga dirantai sepertiku. Setidaknya ada 20 dari kami. Dan aku berada di antrian paling belakang.
Lusinan penjaga bersenjata mengepung kami. Mereka mengawasi kami dengan tatapan yang mengancam.
Lingkaran penjaga tiba-tiba terbelah, memperlihatkan seorang pria berotot tinggi dengan kulit pucat dan rambut berwarna gelap. Dia tampak muda. Mungkin dia berusia akhir di dua puluh tahunan, atau awal tiga puluhan. Aku benci untuk mengakui hal ini, tetapi aku tidak bisa berbohong bahwa dia adalah salah satu pria paling tampan yang pernah aku temui.
"Lord Sigmund," sapa semua penjaga secara serentak sambil menundukkan kepala.
Melihat bagaimana para penjaga membungkuk di hadapan pemuda itu, aku kira dia adalah pemimpin mereka. Sayang sekali mengapa pria tampan seperti dia menjadi pemimpin para penculik ini.
Pria itu, Lord Sigmund mendekati gadis yang ada di awal antrian dan mulai memeriksanya. Setelah selesai dengan dia, dia memerintahkan dua penjaga untuk menyeretnya pergi.
Lord Sigmund kemudian pindah ke gadis berikutnya dan melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan pada gadis sebelumnya. Sambil menggelengkan kepalanya, dia memberi isyarat kepada pengawalnya untuk menyeret gadis itu juga.
Ini berlanjut dengan gadis-gadis lain. Setiap kali dia selesai memeriksa mereka, dia akan meminta pengawalnya untuk membawa mereka pergi.
Jantungku berdetak lebih cepat ketika Lord Sigmund semakin dekat dan dekat denganku. Ketika dia mencapai gadis di sampingku, aku menutup mataku, takut apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tiba-tiba, tangan dingin menyentuh wajahku dan mengangkat daguku.
"Buka matamu!" perintahnya.
Dengan keras kepala, aku tetap memejamkan mata.
Dia menangkup pipiku, meremasnya keras sampai membuatku merintih kesakitan. "Buka. Matamu!" Dia memisahkan setiap kata seperti kalimat.
Aku membuka mataku dengan hati-hati dan mata coklatku bertemu iris birunya.
Melihat wajahku, matanya tiba-tiba berbinar.
Salah satu pengawalnya menghampirinya dan bertanya, "Bagaimana, Tuanku?"
Dia melepaskan pipiku, tetapi tidak memalingkan matanya dari aku.
"Katakan pada Raja..." dia menggantung kalimatnya.
Lord Sigmund berbalik dan menghadap anak buahnya. "Kita akan segera pulang!" tambahnya.
Semua penjaga terkejut karena kata-kata pemimpin mereka.
Seorang penjaga bergerak maju dan berkata, "Tuanku, apa maksud Anda—"
"Ya," kata Lord Sigmund, "kita sudah menemukannya!"
'Oh tidak, apakah ini berita baik atau buruk bagiku?' pikirku.
"Dengan segala hormat, Tuan, apakah anda yakin itu memang dia?" tanya salah seorang penjaga.
"Yakin sekali," jawab Lord Sigmund.
"Tapi Tuanku, gadis ini tidak memiliki aroma seperti salah satu dari kita." Penjaga itu tiba-tiba mengendus tubuhku seolah dia adalah seekor anjing.
'Aroma?' tanyaku dalam hati kebingungan.
Lord Sigmund beringsut mendekatiku dan mulai mengendus juga. "Kau benar. Itu sebabnya kita harus memastikannya."
Lord Sigmund mengeluarkan kunci dari sakunya dan kemudian melepaskan pergelangan tanganku. Aku ingin menggosok pergelangan tanganku yang sakit, tetapi dia meraih tangan kiriku terlebih dahulu. Mataku membeliak ketika melihat dia mengeluarkan pisau dari saku belakangnya. Bibirnya melengkung membentuk seringaian ketika dia meletakkan pisau di pergelangan tanganku.
"Tidak! Apa yang akan kamu lakukan?" Aku mencoba melepaskan tanganku, tetapi dia memegang tanganku dengan erat.
Aku bermaksud untuk mengambil pisau itu darinya dengan tanganku yang bebas, tetapi dia menangkapnya sebelum aku dapat mencapainya.
"Pegangi dia!" perintah Lord Sigmund kepada anak buahnya.
Dua penjaga mendekati kami. Salah satu dari mereka mencengkeram tangan kananku erat-erat sementara yang lain memegang bahuku untuk membuat aku tetap diam.
Lord Sigmund menyeringai padaku. Jeritan terlontar mulutku ketika dia membuat sayatan di pergelangan tanganku. Sayatan itu kecil dan dangkal, namun cukup untuk menyakitiku. Dia membawa tanganku ke bibirnya dan membiarkan darahku menetes ke mulutnya.
'Ya Tuhan, aku tidak percaya ini! Dia baru saja mencicipi darahku,' aku menjerit dalam hati.
Begitu Lord Sigmund melepaskan tangan kiriku, aku melepaskan tangan kananku dari penjaga dan kemudian menekan luka di pergelangan tangan kiriku untuk menghentikan pendarahan.
"Bagaimana, Tuanku? Apakah dia memang orangnya?" tanya salah seorang penjaga.
Semua orang di ruangan ini menatap kami, mengharapkan jawaban dari pemimpin mereka.
Lord Sigmun tersenyum lebar pada pengawalnya dan berkata, "Ini adalah gadis yang kita cari. Tidak ada keraguan tentang itu."
"Tapi Tuanku, mengapa dia tidak memiliki aroma seperti kita?" tanya penjaga lain ragu-ragu.
"Biar aku periksa!" Lord Sigmund tiba-tiba menangkupkan daguku di tangannya dan memutar wajahku ke kanan lalu ke kiri, mengamati wajahku dengan seksama.
"Lepaskan!" Aku mencoba mendorong Lord Sigmund, tetapi dia jauh lebih kuat dariku. Jadi meskipun aku telah mendorong dengan sekuat tenaga, dia tidak bergerak sedikit pun.
Lord Sigmund lalu memiringkan kepalaku ke atas. Ketika dia melihat liontin di leherku, dia menyeringai, dan tiba-tiba menyambar liontinku sampai jepitannya patah.
"Hei, apa yang kamu lakukan?" aku memprotes.
Mengabaikan aku, dia mengangkat liontinku ke atas dan menunjukkannya kepada seluruh anak buahnya. "Ini adalah akar permasalahan kita."
"Kembalikan!" Aku berjinjit, mencoba mengambil liontinku. Tapi dia mengangkatnya lebih tinggi, di luar jangkauanku.
"Liontin ini dimanterai untuk menyamarkan aromanya dari kita. Itu sebabnya dia tidak memiliki aroma seperti kita," jelasnya.
Semua orang mulai mengendus-endus di sekelilingku. Segera, tawa riang bergema di ruangan itu.
"Apa yang kalian bicarakan?" aku bertanya dengan bingung.
Sibuk dengan perayaan mereka, mereka semua mengabaikanku.
"ADAKAH YANG BISA MENJELASKAN KEPADAKU APA YANG TERJADI DI SINI?" aku berteriak sekencang mungkin untuk menarik perhatian mereka.
Ruangan ini mendadak menjadi sunyi. Mata semua orang terfokus padaku.
Lord Sigmund mendekatiku. aku pikir dia akan menamparku jadi aku menutup mata untuk mengantisipasi. Tanpa diduga, dia menyentuh pipiku dengan lembut. Dengan hati-hati, aku membuka mata dan melihatnya menyeringai padaku.
"Kamu akan segera mengetahui apa yang kami rencanakan, Tuan Putri," katanya sambil mengedipkan mata.
Dia melepaskan pipiku dan berbalik untuk menghadap anak buahnya. "Bersiap-siaplah! Kita akan pergi malam ini. Akhirnya, setelah 17 tahun, kita akan pulang," Lord Sigmund mengumumkan dengan gembira.
Setelah mengatakan itu, dia berbalik lagi untuk menatapku. "Buka rantainya dan bawa dia ke kamarku sekarang!"
'Dia mengatakan kamar tidurnya?' Mataku membelalak ngeri. 'Ya Tuhan, apakah dia akan memperkosa aku?'
Dua penjaga di sebelahku mengangguk. Mereka berlutut dan melepas belenggu di sekitar pergelangan kakiku. Kemudian mereka berdua mencengkeram lenganku dan mulai menyeretku keluar dari ruangan tersebut.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!" Aku berusaha membebaskan diri. Tapi mereka terlalu kuat untukku; aku tidak bisa melepaskan diri dari mereka.
"Tolong lepaskan aku! Kalian menangkap gadis yang salah. Kalian harus membebaskan aku sekarang. Tolonglah!" aku memohon.
Langkah para penjaga mendadak terhenti, memaksaku untuk berhenti juga.
"Jika aku jadi kamu, aku akan berdoa bahwa aku bukan gadis yang salah," komentar salah seorang penjaga.
Aku menoleh untuk melihat penjaga yang berbicara kepadaku. "A—apa yang akan terjadi padaku jika aku gadis yang salah?"
Dia menyeringai padaku lalu menjawab, "Karena kamu telah melihat wajah kami, aku khawatir kami harus menyingkirkanmu."
"Me—menyingkirkan aku? Mak—maksudnya, ka—kalian akan membunuhku?" aku tergagap.
Tawa jahat mereka secara otomatis menjawab pertanyaanku
"Tunggu! Lalu bagaimana dengan gadis-gadis lain? Apa yang akan terjadi pada mereka? Apakah kalian akan membunuh mereka juga?" aku bertanya dengan nada panik.
"Itu tergantung pada apa yang akan dikatakan Lord Sigmund tentang mereka," jawab penjaga lainnya.
'Ya Tuhan, mereka akan membunuh semua gadis itu. Dan nasibku mungkin tidak akan jauh lebih baik daripada mereka.' Aku menggigil ketakutan memikirkan hal itu.
"Ayo!" Mereka menarikku ke depan. Kali ini aku tidak melawan dan membiarkan mereka mengantarku ke tempat tujuan.