Jari-jemari Binar mulai bergerak, dia berusaha membuka kedua matanya secara perlahan. Meski terasa berat, dia terus berusaha membuka matanya. Cahaya yang begitu menyilaukan, membuatnya kembali menutup kedua matanya.
"Kau sudah bangun, Sayang?" Adan bertanya dengan begitu lembutnya sembari menggenggam tangannya.
Binar pun kembali berusaha membuka kedua matanya, sekarang yang dilihatnya adalah Adnan. Kepalanya masih terasa sangat berat, pandangannya masih samar-samar.
Dia kembali menutup matanya sekejap lalu kembali membuka matanya. Sekarang sudah terlihat dengan jelas, wajah Adnan yang terlihat tersenyum. Namun, terlihat kelelahan karena terus menjaga Binar.
"Di mana ini?" ucapan pertama yang keluar dari mulut Binar dengan lirih.
"Ini di rumah sakit, bagaimana apa ada yang sakit?" jawab Adnan sembari bertanya padanya.
Binar terdiam, dia masih merasa lemas dan saat dia hendak menggerakkan lehernya masih terasa sakit. Adnan berniat untuk memanggil dokter karena melihat Binar telah sadar.
Namun, saat Adnan hendak beranjak dari duduknya, tangan Binar menarik tangan Adnan. Seraya jika dia tidak ingin ditinggalkan sendirian.
"Kau tenang saja, aku tidak akan pergi!" kata Adnan dengan lembut lalu dia menekan sebuah tombol yang berada di dekat ranjang Binar berbaring.
Tidak begitu lama, tibalah seorang dokter dan seorang perawat. Dokter pun memeriksa Binar dengan saksama, terlihat senyum di wajah sang dokter.
"Istri Tuan tidak apa-apa, mungkin dalam beberapa hari ke depan sudah bisa kembali ke rumah." Dokter menjelaskan hasil pemeriksaannya tadi.
Adnan merasa lega karena binar sudah melewati semua masa kritisnya. Sekarang dia tidak akan membiarkan siapa saja menyakiti istrinya itu.
"Terima kasih Dok," ucap Adnan melepas kepergian sang dokter.
Dokter pun mengangguk lalu berjalan meninggalkan ruangan. Sekarang hanya tinggal Binar dan Adnan, mereka berdua terlihat hanya diam. Sebenarnya Adnan masih kesal dengan Binar yang tidak menuruti perintahnya.
"Maaf...," ungkap Binar dengan lirih.
Dia sudah mengingat semua kejadian yang menimpanya. Binar merasa bersalah karena sudah tidak patuh Adnan.
"Maaf untuk apa?" tanya Adnan.
"Maaf karena aku tidak menuruti perintahmu," jawab Binar sembari menatap Adnan untuk melihat apakah suaminya itu marah atau tidak.
Adnan menatap lekat wanita yang ada di hadapannya itu. Dia merasa aneh saja, mengapa Binar dengan mudahnya meminta maaf. Karena biasanya dia anti meminta maaf padanya.
"Aku belum bisa memaafkanmu! Setelah kembali dari rumah sakit aku akan memberikan hukuman padamu, ingat itu!" kata Adnan dengan sedikit penekanan.
Dia ingin mengetahui bagaimana reaksi dari kucing liarnya itu. Apakah akan melawan atau menjadi kucing penurut dan tidak akan berulah lagi.
"Aku akan menerima hukuman darimu," timpal Binar yang membuat Adnan terkejut.
Dia memegang kening Binar perlahan lalu berkata, "Apa kau tidak terluka di bagian kepala?"
Binar merasa kesal dengan tingkah Adnan seperti itu, tanpa banyak kata dia memalingkan wajahnya. Seraya tidak ingin melihat Adnan yang menggodanya saat ini.
Adnan terkekeh melihat sikap Binar, dia berhasil membuat kesal wanita yang sudah membuatnya kesal juga dengan tingkahnya yang tidak penurut.
***
Keesokan harinya Binar yang sudah tidak betah berada di rumah sakit meminta Adnan untuk membawanya pulang. Dia lebih memilih beristirahat di kamar hotel, meski semua kenyamanan sudah diberikan Adnan di rumah sakit.
"Aku ingin keluar dari rumah sakit!" pinta Binar yang terus-menerus.
"Dokter bilang besok atau lusa kau baru bisa keluar dari rumah sakit," jawab Adnan dengan lembut.
Namun, binar bersikeras ingin tetapi keluar karena dia merasa bahwa dirinya sudah membaik. Hanya luka gores saja yang masih terasa nyeri di bagian lehernya.
Bagaimana tidak terasa nyeri, luka di lehernya bukan hanya goresan kecil. Namun, dokter menjahit luka itu, mungkin saat ini lukanya masih dalam tahap penyembuhan.
"Tidak perlu merengek seperti anak kecil! Besok aku akan meminta dokter untuk mengizinkanmu pulang!" ucap Adnan yang sudah mulai kesal dengan keinginan Binar.
Binar terdiam dengan menekuk bibirnya, dia tahu sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Karena Adnan terlihat sangat kesal dengan apa yang diinginkannya.
Tidak berapa lama candra tiba, dia merasa senang karena Binar sudah terlihat lebih membaik. Dia melihat ke arah Adnan, sepertinya ada yang ingin disampaikan olehnya.
"Ikuti aku!" perintah Adnan pada Candra sembari berjalan keluar ruangan.
Candra pun mengangguk lalu berjalan mengikutinya, Binar merasa aneh dengan sikap mereka berdua.
"Mereka menyembunyikan sesuatu padaku," gumam Binar sembari berusaha beranjak dari ranjang.
Dia begitu bosan berada di rumah sakit, dia berjalan perlahan menuju jendela. Berdiri di sana sembari melihat keadaan di luar. Ada sebuah taman di sana banyak orang-orang yang sedang menikmati udara pagi hari yang segar.
"Apa kau ingin berjalan-jalan di taman?" tanya Adnan yang baru saja masuk ke ruangan yang melihat binar sedang menatap keluar.
"Bolehkah?" Binar balik bertanya.
Adnan mengangguk lalu dia berjalan mendekat pada Binar, dia menggendongnya dan mendudukkan binar di sebuah kursi roda. Dengan lembut dia mendorong kursi tersebut menuju taman.
Binar merasa ada yang kurang, dia tadi melihat Candra. Namun, sekarang dia tidak melihatnya, apakah Candra sudah pergi untuk melakukan tugas yang diberikan oleh Adnan.
Adnan berhenti di sebuah tempat yang tidak terlalu terkenal terik matahari. Dia duduk di sebuah kursi dengan diamnya.
"Ada apa dan ke mana Candra?" tanya Binar yang melihat Adnan terdiam setelah bicara dengan Candra.
Adnan menghela napas, dia ingin mengatakan apa yang sudah terjadi. Namun, dia merasa tidak tega dengan Binar jika mengetahui semuanya.
"Tidak ada apa-apa," Adnan menjawab dengan berbohong.
Merasa Adnan tidak mengatakan yang sebenarnya, Binar pun diam. Dia merasa jika Adnan tidak menganggap dirinya lagi. Namun, dia menghilangkan perasaan itu, mungkin saja itu adalah masalah perusahaan dan tidak mau diketahui olehnya.
Melihat Binar yang juga terdiam, dia tahu jika istrinya itu pasti merasa kecewa. Akan tetapi, belum saatnya menceritakan semua ini. Jika sudah tiba saatnya dia pasti akan menceritakan semuanya.
"Aku harap mulai saat ini kau berhati-hati! Maafkan aku yang sudah menyeretmu kedalam duniaku," ungkap Adnan dengan nada penyesalan.
Binar terdiam sebab dia masih mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh Adnan. Dia bingung mengapa Adnan mengatakan maaf dan telah menyeretnya kedalam dunianya.
Sebelum Binar bertanya lebih lanjut, ponsel Adnan berdering. Dia mengambil ponsel yang berada di saku celananya. Adnan meminta izin pada Binar untuk mengangkat teleponnya.
Tidak biasanya Adnan bersikap seperti ini, biasanya dia mengangkat telepon selalu di dekatnya. Binar semakin yakin ada yang disembunyikan oleh suaminya itu.
Binar hanya memperhatikan Adnan yang menerima telepon. Dia tidak menyadari jika ada seseorang yang selalu memperhatikan dirinya.
Adnan menutup sambungan teleponnya lalu dia berjalan mendekat pada Binar. Dia terlihat kesal dan sedikit terlihat khawatir.
"Ada apa?!" tanya Binar melihat wajah Adnan yang seperti itu.
"Kita bersiap—sekarang juga kita keluar dari rumah sakit!" jawab Adnan sembari memegang kursi Binar dan mendorongnya perlahan.
Ini semua membuat Binar semakin yakin ada yang tidak beres dengan semuanya. Dia membiarkan dulu Adnan saat ini. Namun, dia akan meminta penjelasan jika sudah keluar dari rumah sakit.
Dia tidak tahu apakah akan kembali ke hotel atau ke mana. Saat di ruangan dia melihat Candra dan seorang wanita yang sedang merapikan barang-barangnya.
"Semua sudah siap, Tuan." Candra berkata dengan penuh hormat.
"Bantu istriku bersiap!" perintah Adnan pada wanita yang sudah merapikan barang-barang Binar.
Wanita itu mengangguk lalu berjalan mendekat pada Binar. Dia bersikap dengan hormat lalu menanti Binar untuk mengganti pakaian. Setelah semua siap, mereka pun pergi meninggalkan rumah sakit.