Chereads / Kisah Cinta Vega / Chapter 3 - Dosen Sadis

Chapter 3 - Dosen Sadis

Ia menemukan sederetan ruangan yang berturut-turut diberi nama sesuai himpunan masing-masing: mahasiswa Sastra Inggris, Prancis, Jerman, dll.

Ia masuk ke ruangan paling ujung dan menemukan beberapa mahasiswa yang bertugas jaga.

"Hallo, Kak. Aku Vega... mahasiswa baru. Mohon maaf, saya kemarin tidak bisa ikut OSPEK karena sakit. Hari ini jadwal kuliahnya saya belum tahu..."

"Hai, Vega. Hari ini kuliahnya ada 2, tadi COMPREHENSION 1 di ruangan C3.1, nanti jam 10 ada SPOKEN di Lab B."

"Wah... terima kasih banyak, tadi saya salah masuk ke kelasnya D3. Pfew... Eh, sekalian aja aku catat semua jadwalnya, biar tidak bingung lagi besok untuk mencari jadwal."

"Ide bagus, Non..."

Beberapa kakak kelas itu sangat menyenangkan dan menolong. Vega menyesal, seandainya dari tadi ia datang ke Himpunan. Pasti tidak akan sesial tadi.

Saat bel tanda jam kuliah pertama usai berbunyi, beberapa mahasiswa seangkatan Vega singgah ke Himpunan sehingga akhirnya ia bisa berkenalan dengan teman-teman sekelasnya.

Rio, adalah pemuda bertubuh tinggi besar dan hobi bermain basket. Ia senang sekali mendengar Vega juga dulu bergabung di klub basket. Ia mengaku masuk Sastra Inggris karena terjeblos. Pilihan hidupnya sebenarnya adalah jadi ahli hukum.

Ada pula Sandy yang tergila-gila teater dan masuk ke jurusan ini karena ingin mempelajari semua tentang Shakespeare. Dan terakhir, ada Rara yang tomboy. Mereka berempat segera akrab. Vega sungguh menyesal, seandainya dari awal ia ikut OSPEK mungkin ia sudah asyik dengan teman-teman barunya.

"Kamu nggak rugi kok tadi melewatkan kelas Comprehension-nya Miss Perfect. Ampun, deh... Mau bernafas saja sulit di situ," komentar Sandy. "Dia membuatku teringat guru bahasa Inggrisku di SMA dulu yang sadis. Ampuuuun, deh."

"Habis ini kuliahnya sama siapa?" Tanya Vega, sambil membaca jadwalnya." SPOKEN 1 Lab B2.1–R. Wijaya SS, M.Hum."

"Wah, ini dosen sadis juga. Kata kakak-kakak kelas dia lebih berbahaya dari si Miss Perfect," seru Rio sebal.

"Untung gantengnya berbanding lurus dengan kesadisannya. Kalau nggak ganteng, mana ada yang mau ambil kelasnya. Dari Ospek saja sudah keliatan kejamnya," timpal Rara.

Vega yang sama sekali belum merasakan kelas perkuliahan tak bisa membayangkan bagaimana sadisnya seorang dosen. Ia hanya mencoba berpikiran baik saja tentang kelas pertamanya nanti.

"Masuk, yuk... Sudah hampir jam 10, nih.." seru Sandy kemudian, "Nanti si Sadis Wijaya makan korban pertamanya kita, lagi..."

Mereka terburu-buru beranjak ke gedung B lantai 2 dan masuk ke laboratorium. Teman-teman yang lain juga berbuat sama. Vega masih sempat berkenalan dengan beberapa orang lagi sebelum duduk di booth.

Karena jumlah mahasiswa hampir 60 orang, sementara jumlah booth hanya 25, maka sebagian duduk di kursi di bagian belakang ruangan. Begitu kelas dimulai, seorang pria keluar dari ruang operator dan menutup pintu Lab. Ia memandangi semua mahasiswa baru itu dengan tajam sebelum akhirnya melangkah ke arah white board.

"Astaga Rune? Kamu nggak bilang... ternyata kita sekelas..!" seru Vega kaget. "Berarti tadi kamu bolos juga, dong... Kamu nggak ngaku."

Rune memandang Vega tanpa ekspresi, kemudian ia kembali ke arah whiteboard, dan menulis.

"Nama saya Rune Wijaya, akan menjadi dosen SPOKEN ENGLISH kalian selama satu semester ini. Kuliah SPOKEN ini bukan untuk melatih bahasa Inggris kalian, karena kami selaku dosen berasumsi kalian telah menguasai bahasa Inggris dengan baik sebagai persyaratan masuk ke jurusan ini. Tapi kuliah ini akan membuat kalian makin berkembang."

Vega hampir tak mendengar kata-kata Rune sedikit pun... Ia sibuk membayangkan pertemuannya dengan Rune tadi pagi, apakah itu nyata atau memang cuma mimpi.

Rune adalah seorang dosen? Tampangnya masih terlalu muda... dan dia dari tadi disebut-sebut sebagai dosen sadis? Kok bisa?

Tadi sikapnya sangat ramah. Duuh... mungkin tadi pagi Vega memang sedang berkhayal... Untuk sesaat gadis itu meragukan kewarasannya akibat demam berdarah yang dialaminya.

Astaga...

Apa yang ia dengar tentang Rune sebagai dosen sadis kini menjadi kenyataan. Rune mengajar dengan sangat keren, tapi ia galak sekali kepada mahasiswa yang seenaknya. Ia akan menyuruh keluar kelas bagi yang kelihatan tidak serius mengikuti perkuliahan.

Kuliah hari itu mereka bergantian mendengarkan narasi dalam bahasa inggris lalu menceritakannya kembali. Vega kebetulan memiliki daya ingat yang cukup tinggi sehingga ia berhasil dengan baik mengingat hampir setiap detil cerita. Saat ia menyelesaikan story telling-nya Rune Wijaya menatapnya sedikit heran.

"You did a great job."

"Terima-kasih, Run... eh Pak.."

Vega tahu teman-temannya melihat kejanggalan sikapnya karena itu ia berusaha berbuat seolah tidak ada apa-apa.

"Kamu tadi pagi benar-benar bertemu Pak Rune di kantin? Dan sikapnya ke kamu ramah? Masa sih?" teman-temannya tak percaya saat makan siang Vega menceritakan hal itu.

"Aku saja yang mengalaminya sendiri masih tidak percaya.." kata Vega sewot, "Malah sekarang aku pikir jangan-jangan itu memang cuma khayalan..."

"Jangan-jangan kamu ketiduran dan bermimpi," kata Sandy. "Aku pernah baca, ada lho kasus begitu..."

Vega hanya mengangkat bahu.

Rio tiba-tiba menyikut Sandy, dagunya secara samar diarahkan ke pintu kantin. Sandy mengangguk. Vega heran apa yang membuat mereka berdua jadi aneh, ikut melayangkan pandangannya ke pintu.

Ia melihat seorang gadis jangkung dan luar biasa cantik masuk melalui pintu kantin dengan langkah anggun bak supermodel. Entah kenapa, rasanya ia pernah melihat gadis itu entah di mana.

"Jadi kalian semua naksir Felicity?" cibir Rara dengan wajah dibuat berpura-pura muak, "Dasar pria! Mainannya fisik melulu..."

"Nggak cuma fisik dia, Ra... Aku juga naksir ketajiran dan kebekenannya," bisik Sandy sambil nyengir lebar.

Barulah Vega ingat di mana pernah melihat gadis itu sebelumnya. Astaga, Felicity Whitmore si model yang sedang naik daun itu ternyata sekampus dengan mereka...

"Kok dia kuliah di sini, sih?" tanya Vega heran. "Orang seperti dia kan seharusnya kuliah di Prancis atau Amerika.."

"Ternyata dia pecinta pendidikan lokal." Rio tersenyum lebar. "Pecinta produk dalam negeri."

"Dia di jurusan apa?" Tanya Vega lagi.

"Sastra Prancis. Mungkin untuk memuluskan jalannya melenggang di catwalk Paris... Siapa tahu?"

Penjelasan itu tetap saja dirasa tidak masuk akal bagi Vega. Ia memperhatikan diam-diam Felicity yang sedang sibuk dengan ponselnya. Gadis itu duduk sendirian di mejanya dan tampak begitu percaya diri. Orang-orang di sekitarnya mengamati gadis itu dengan kekaguman yang sulit disembunyikan, dan Felicity tahu itu.

Nobody's perfect, Vega tahu itu, tapi ia benar-benar tak bisa melihat kekurangan pada diri Felicity.

Gadis blasteran Amerika itu memiliki wajah cantik khas indo dan tubuh indah yang diidamkan semua wanita. Kariernya di catwalk dan sebagai bintang iklan juga sangat menjanjikan. Vega tidak pernah menduga akan bertemu gadis semacam Felicity di kampus universitas negeri seperti di sini.

***