"Vega...! Heii... Vega!!" Rara beberapa kali melambaikan tangan ke arah Vega yang melamun memandang ke arah jendela. "Kamu mikirin apa sih?"
Vega seketika tergugah. Seharian ini kepalanya dibuat pusing oleh jumlah uang di rekeningnya yang menipis, tetapi semua kekuatirannya tentang makan apa besok dan bagaimana ia bisa membayar ini itu seketika sirna ketika ia tadi ia berpapasan dengan Altair di pintu kantin. Pikirannya seakan ikut melayang dibawa pemuda itu bersamanya, masuk ke mobilnya bersama Felicity.
Ahh.. kenapa aku berpikir macam-macam begini? pikirnya sebal. Ia sama sekali tidak mengenal Altair. Kalaupun memang itu Altair yang sama, belum tentu juga pemuda itu akan peduli pada perjanjian konyol yang dibuat kedua orang tua mereka, kan?
"Kamu belum mengucapkan selamat ulang tahun untuk Rio," kecam Sandy. "Makannya aja doyan, tapi kagak mau kasi selamat. Teman macam apa kamu ini?"
Yang lain tertawa-tawa menggoda Vega yang tampak kaget dan malu-malu karena dipergoki melamun.
"Selamat ulang tahun, Rio. Panjang umur dan selalu sukses ya! Semoga semua nilai ujian kamu semester ini dapat A," kata Vega buru-buru.
Teman-temannya bertepuk tangan mengaminkan.
Mereka berbincang-bincang sebentar di kantin sebelum kemudian Rune lewat dan dengan judes memberi tanda mengusir mereka semua untuk masuk ke kelas. Dosen muda yang tampan itu hampir tidak pernah tersenyum tetapi kali ini tampangnya lebih masam dari biasa.
"Pak Anwar sakit dan tidak bisa mengajar. Saya mewakili beliau untuk memberi kalian kuiz. Cepat masuk kelas!" katanya kepada para mahasiswa Sastra Inggris yang sedang gembira merayakan ulang tahun Rio di kantin.
Dengan terpaksa para mahasiswa itu menyudahi kegembiraan mereka dan buru-buru masuk kelas, dengan Rune menyusul di belakang mereka. Begitu ia masuk, pintu kelas langsung ditutup di belakangnya dan ia segera menulis tiga buah pertanyaan essay di papan tulis lalu duduk di kursi dosen.
Ia tampak puas melihat wajah-wajah siswanya menjadi pucat dan terdengar keluhan tertahan di sana-sini. Tiga pertanyaan essay yang ditulisnya berisi pembahasan novel yang sedang dibahas bulan itu oleh Pak Anwar dan tidak seorang pun menduga akan mendapat kuiz seperti ini secara tiba-tiba.
Vega yang tadi berjalan lambat dan alhasil terpaksa harus duduk di bangku paling depan, sangat dekat dengan Rune, sama sekali tidak terintimidasi oleh kegalakan dosen muda itu. Bagi Vega yang banyak menghabiskan waktunya dengan membaca sambil menunggui toko, tiga pertanyaan essay itu sangat mudah dikerjakan.
Tetapi yang paling membuatnya tidak takut kepada Rune adalah kenyataan bahwa sebenarnya di balik kegalakannya Rune adalah laki-laki yang baik. Menurutnya Rune hanya tidak suka basa-basi. Buktinya, waktu dulu Vega kesulitan di hari pertama kuliah, Pak dosen muda ini menolongnya tanpa canggung.
Dan tadi juga, melihat Rune ternyata sama-sama suka mencuri tidur di perpustakaan seperti dirinya, Vega sadar bahwa bagaimanapun juga dosen satu ini hanya seorang manusia biasa. Bisa mengantuk dan kelelahan dan bisa sebal juga.
"Sudah selesai, Pak." Vega mengangkat tangannya setengah jam kemudian. Masih ada waktu 60 menit lagi sebelum mata kuliah ini berakhir, tetapi tadi Rune sama sekali tidak mengatakan bahwa ia akan mengajar atau memberikan materi selain kuiz berisi tiga pertanyaan itu, yang berarti waktu yang diberikan untuk mengerjakan ketiga soal essay itu sebenarnya adalah 100 menit.
"Selesai?" Rune yang sedang asyik mencoret-coret sesuatu di notesnya mengangkat sebelah alisnya keheranan. "Kamu pede banget dengan jawaban kamu. Nggak mau diperiksa lagi?"
"Sudah saya periksa, Pak. Kebetulan saya baru selesai membaca novelnya. Semua pertanyaannya sudah saya jawab dalam tiga essay," jawab Vega dengan penuh hormat.
"Coba bawa sini jawaban kamu," Rune melambaikan tangannya dengan tidak sabar. "Kalau jawaban kamu ada yang salah, kamu kira-kira bakal malu nggak nih?"
Vega berusaha kerasa menahan diri agar tidak memutar matanya. Rune ini sering sekali bersikap meremehkan seperti ini, pikirnya. "Uhmm... semoga nggak salah, Pak..."
Ah... ya, mungkin kalau bisa dibilang perbandingan dari ketampanan wajah Rune sama besarnya dengan kegalakan dan kejudesannya. Dosen satu ini terkenal sangat jarang memuji dan sering menyerang argumen mahasiswanya hingga mereka menjadi tidak percaya diri, walaupun mungkin jawaban mereka memang benar.
Begitu Vega menyerahkan kertas folio dua lembar yang penuh berisi essay tulisan tangannya, wajah Rune tampak berubah. Untuk sesaat ia terlihat terkesima dan bahkan memandangi tulisan Vega yang demikian rapi dengan tatapan kagum dan membentangkan lebar kedua lembar kertas itu seolah melihat sebuah lukisan.
Memang Vega sangat berbakat menulis. Sedari SD ia telah memiliki tulisan tangan yang sangat cantik dan konsisten, begitu indah dipandang seperti kaligrafi. Melihat tulisan tangan Vega memberikan efek damai dan dapat menghilangkan stress, kata banyak orang.
"Tulisan kamu bagus banget," tanpa sadar Rune memuji sambil membolak-balik lembaran kertas folio itu. Ia kemudian membaca paragraf pertama dan keningnya berkerut. Bibirnya kemudian berdecak sambil ia melanjutkan baca hingga ke bagian paling bawah halaman, lalu membalik kertasnya dan membaca essay Vega sampai habis.
Vega hanya berdiri menunggui sampai Rune selesai membaca hasil kuiz-nya. Sepuluh menit kemudian akhirnya Rune mengangkat wajahnya dan melambai.
"Jawaban kamu bagus, kamu boleh pulang duluan." Lambaian tangannya lebih terlihat seperti usiran.
Teman-teman sekelas Vega saling bertukar pandang dan entah kenapa secara konsensus memiliki pikiran yang sama.
Rune sudah beberapa kali memuji Vega. Dua kali di Kelas SPOKEN yang diasuhnya, dan hari ini dua kali di Kelas PROSE. Ia memuji tulisan tangan Vega dan jawaban essaynya.
Setahu mereka rekor Rune pernah mengeluarkan pujian kepada seorang siswa adalah dua kali saja. Tetapi ini sudah empat kali. Dalam kurun waktu hanya dua minggu.
Diam-diam mereka menatap Rune dan Vega bergantian.
Apakah Rune menaruh hati pada gadis teman sekelas mereka yang pintar ini? Bisa jadi. Jika demikian, dia bukan satu-satunya, pikir mereka.
Vega memang cantik sekali. Tubuhnya langsing dan proporsional dengan rambut hitam tebal yang selalu terlihat seperti rambut gadis iklan shampoo. Penampilannya ayu dan feminin namun sangat sederhana, apalagi ia tidak pernah mengenakan riasan. Walaupun demikian, dengan penampilan demikian apa adanya saja ia sudah terlihat cantik alami.
Vega juga sepertinya tidak pernah menyadari bahwa dirinya banyak ditaksir para mahasiswa di Fakultas Sastra sehingga sikapnya selalu santai dan tidak dibuat-buat.
Sebenarnya teman-teman Vega tahu gadis itu bisa menjadi populer di kampus kalau ia mau. Sayangnya ia tidak pernah bersosialisasi kecuali dengan teman-teman sekelasnya, bahkan ikut klub saja tidak pernah. Katanya ia sibuk.
Vega hanya datang dan pergi untuk kuliah, lain dari itu, tidak ada yang tahu apa saja yang ia lakukan sehingga menjadi demikian sibuk.
"Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya pulang dulu... " Vega mengangguk hormat lalu membereskan tasnya dan melambai pada teman-temannya. Ia akan langsung pulang ke Bandung beristirahat ekstra satu jam sebelum mulai bekerja di toko.