Alarm berbunyi tepat pukul 04.30, Risa bangun dari tidur lelapnya. Setelah Sholat Subuh, Risa menuruni tangga menuju dapur. Mengeluarkan isi kulkas dan bersiap membuat sarapan, untuknya dan sahabatnya. Sahabat?, kini dia ingin mengakuinya.
"Lagi ngapain, Ris?." Tanya Rania sambil menuruni tangga.
"Buat sarapan untuk kita," jawab Risa tanpa menoleh dan terus berkutat dengan kesibukannya.
"Kamu pasti masih cape sehabis pindah, mending beli aja nasi uduk didepan komplek. Rasanya juga enak loh," Rania kini ada dibelakang Risa.
"Ga usah, ini juga cuma bikin nasi goreng sosis sama telor aja. Kamu duduk aja disini," Risa membawa Rania agar duduk tenang di meja makan.
"Ya udah aku bikin jus aja deh, kamu mau jus apa?." Rania bangun dan kembali ke dapur.
"Apa aja, aku suka semua buah." Risa menoleh pada Rania yang sedang menyiapkan blender.
"Sama dong, apalagi buah tangan aku suka sekali." kékéh Rania dan disambut tawa oleh Risa. Pagi yang sagat hangat.
Setelah siap, mereka menyantap sarapan dan meminum jus Apel yang sudah tersedia diatas meja. Sambil berbincang ringan diantara keduanya sambil sesekali tertawa bersama, pemandangan yang sangat indah.
"Biar aku yang cuci piringnya, kamu siap-siap terlebih dahulu sana." Perintah Rania, sambil membereskan meja makan dari piring dan gelas.
"Oke, baiklah." Risa melangkah menuju kamarnya.
Setelah mereka siap dengan pakaian kantor yang rapih dan Risa telah berada dibelakang kemudi, mereka siap pergi kekantor. Risa lebih senang berkendara sendiri, sedangkan Rania lebih menikmati menjadi penumpang. Jalanan hari Senin ini sangat padat, untung Risa tidak sendiri jadi ada teman mengobrol atau menggerutu bersama.
"Syukurlah kita sampai tepat waktu," ucap Rania yang langsung duduk di kursinya. Ada beberapa karyawan yang memperhatikan kedekatan Risa dan Rania, karena mereka aneh kenapa Rania bisa dekat Risa yang ansos. Tapi baik Rania ataupun Risa, mereka lebih memilih cuek dan tak memperdulikannya.
"Risa, Pa Radit minta laporan keuangan cabang bulan ini sekarang. Berhubung kamu yang buat dan Pak Tama sedang cuti, kamu yang antar sendiri kesana. Biar gampang kalau dia ada pertanyaan," perintah salah satu staff pria senior pada Risa dan di balas anggukan.
"Kamu hati-hati ya, jangan sampe salah jawab ya." Petuah dari Rania setelah mendengar perintah staff senior tadi.
"Kamu ini, khawatir banget. Kaya aku mau ketemu penjahat aja," kékéh Risa melihat wajah khawatir Rania.
"Bukan penjahat tapi monster berdarah dingin dan kejam," Rania merasa merinding sendiri mendengar ucapannya. Tapi Risa malah tertawa geli melihat sahabatnya ini.
"Udah ah, aku mau ketemu monster dulu biar aku bisa jadi power ranger." canda Risa sambil pergi menuju ruangan Direktur utama tapi tak membuat Rania tertawa. Rania malah mengerucutkan bibirnya.
"Dasar anak itu, mudah-mudahan dia tidak membuat kesalahan." Rania berdoa untuk Risa, sambil menatap punggung Risa yang semakin jauh.
Lift lantai 15 terbuka, Risa langsung menemui sekretaris Dirut yang bernama Kania, untuk memberitahu maksud kedatangannya.
Pintu diketuk oleh Kania gadis cantik dan ramah. Risa mengekor masuk ke dalam ruangan.
"Maaf Pa Radit, staff bagian keuangan sudah datang untuk memberikan laporan yang bapa minta." Terang Kania setelah sedikit membungkukkan badannya pada Dirut yang terlihat sedang berbicara ditelepon sambil mengahdapkan tubuhnya ke jendela.
"Oke," ucap dingin sang Dirut tanpa menoleh sedikit pun.
Kania bersegera meninggalkan ruangan tersebut, setelah menyunggingkan senyumnya kearah Risa. Mendengar suara Dirut itu tiba-tiba Risa menjadi khawatir, karena jelas terdengar sangat dingin walaupun hanya satu kata yang keluar. Risa berdiri cukup lama, menunggu mpunya ruangan selesai berbicara di telepon.
"Mana laporannya?," ucap pria dingin itu setelah duduk dikursi kebesarannya.
Risa berhasil dibuat kaget dengan suara itu, padahal tidak ada bentakan sedikit pun. Risa mendekat sambil sedikit menunduk tapi masih terlihat sedikit wajah cantiknya.
"Angkat kepalamu," perintah Dirut yang entah mengapa membuat Risa merinding.
Risa mencoba memasang senyumnya, sambil mengangkat kepalanya untuk menatap sang Dirut.
"Kamu?," mata Dirut itu terbelalak melihat Risa.
Risa mengerutkan dahinya bingung, apa dia mengenalnya. Memang sih wajah tampannya seperti pernah Risa lihat, tapi dimana dan siapa Risa tidak ingat.
"Kamu cewek gila itu kan," Dirut itu kini mendekat pada Risa sambil menunjuk jarinya kearah Risa.
"Cewek gila," desis Risa. Dia coba mencerna perkataan bosnya, hingga ingatan pada malam yag memalukan muncul (part 4). Tak lama dia paham apa yang di maksud bosnya, Risa terperanga lalu menutup mulutnya. Kini mereka saling berhadapan dan Risa tertunduk tidak berani menatap Radit si bos yang kata orang itu kejam.
'Habislah aku,' batin Risa semakin takut akan nasibnya.
"Jadi benar kan, kau cewek gila yang melayangkan sepatunya sampai kena kepalaku." Radit menatap Risa lekat, dengan rahang yang mengeras.
"Ahirnya kita bertemu lagi," ucap Radit menyunggingkan senyumnya.
"Maaf, maafkan aku. Bukankah aku sudah minta maaf juga, bukankah itu hanya kesalahpahaman saja." Risa memberanikan diri menatap Radit tanpa bisa menyembunyikan raut khawatirnya.
'Cantik,' batin Radit. Radit menyadarkan dirinya agar tidak terpesona dengan gadis dihadapannya. Dia kembali menata wajahnya sedingin mungkin.