Chereads / Waktu yang Tepat / Chapter 11 - Makan Bersama

Chapter 11 - Makan Bersama

Sore ini cuaca sedikit mendung, lalu lintas terlihat padat. Hal yang biasa terjadi di jam sibuk pulang kantor, begitu pun di Dream Corp banyak karyawan berhamburan keluar kantor. Ada yang terburu-buru ingin pulang untuk bertemu keluarga, ada yang takut turun hujan, ada yang pulang karena memiliki janji ataupun yang lainnya. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing, begitupun dengan Risa dan Rania.

"Naiklah!," perintah seorang pria dari balik kemudi mobil BMW i8 hitam. Terlihat wajah pria tampan dengan kaca mata hitam bertengger, dari kaca jendela yang terbuka.

Risa langsung menaiki mobil mewah tersebut, walaupun dengan sedikit malas. Setelah mendudukkan dirinya, Risa langsung mengibaskan tangannya memberi salam perpisahan pada Rania. Pria itu ikut melihat kearah Rania, menyadari itu Rania langsung membungkuk dan tersenyum sedikit sebagai tanda hormat. Mobil mewah itu langsung menembus angin, dengan diiringi tatapan khawatir Rania.

Suasana hening menyelimuti dua insan di dalam mobil mewah itu, bahkan suara mesinnya hampir tidak terdengar. Risa memilih mengalihkan retinanya ke sisi jalan, terus memikirkan kemana pria ini akan membawanya. Tiba disebuah café bernama 'Sun Café', dibilangan Sudirman. Mengingat pesan Rania, Risa memberi tahu dimana dia berada melalui chat.

"Jangan komentar, apapun yang aku lakukan dan aku bicarakan." Perintah Radit sebelum mereka memasuki pintu café.

"Tapi," Risa mencoba menginterupsi.

"Tenang saja, saya tidak akan berbuat macam-macam. Jika itu yang kamu takutkan," Radit menyela sebelum interupsi Risa selesai. "Kamu tidak menarik buat saya," Radit menatap dari ujung rambut sampai ujung kaki Risa untuk meyakinkan Risa. Tapi apa, kalimat itu sangat bertolak belakang dengan hatinya.

"Ya ya ya, syukurlah." Risa merasa lega. Apa ini, Radit menggenggam tangan Risa. Membawanya, lebih tepatnya menariknya ke arah sebuah meja dengan empat kursi dan ada seorang wanita yang duduk manis disana. Wanita cantik dan sexy dengan balutan dress warna merah menyalanya, dan bibir merah yang mampu membuat Risa minder. Sangat bertolak belakang dengan dirinya, Radit dengan tenang mendudukkan Risa dikursinya. Sedangkan, Radit langsung menyambar kursi disebelah Risa berhadapan dengan wanita itu. Wanita itu menjelajahi setiap inci bagian tubuh Risa, dengan tatapan tidak sukanya.

"Dia adalah kekasihku, jadi berhentilah mengganguku." Ucap Radit tanpa basa basi pada wanita itu. Sedang Risa masih mencerna perkataan Radit, apa yang dia maksud adalah dirinya.

"Benarkah, aku tidak percaya seleramu sungguh aneh." Wanita itu menatap Risa, yang masih belum mengerti dengan apa yang terjadi.

"Aku sangat mencintai wanita sederhana ini," Radit mencium punggung tangan Risa dengan lembut. Mata Risa berhasil dibuat terbelalak menatap Radit, ingin segera menarik tangannya tapi Radit malah semakin mengeratkannya.

"A..ak..aku..," ucap Risa terbata-bata. Bahkan hanya untuk menelan salivanya, terasa sulit.

"Aku tahu, kamu belum siap jika banyak yang mengetahui hubungan kita." Radit menatap Risa lembut, "tapi aku tidak bisa bila harus menahan ini. Aku sangat mencintaimu, aku hanya inginkan dirimu untuk sekarang, nanti bahkan selamanya." Radit mengusap tangan Risa hangat, yang mampu membuat wajah Risa merah seperti kepiting rebus.

'Haduh kenapa rasanya aku baper dengan perkataannya, Risa ingat sepertinya ini hanya pura-pura.' Risa mengutuk dirinya dan memilih menundukkan wajahnya.

"Jadi aku permisi, aku hanya ingin mengatakan ini. Jangan ganggu aku lagi Meta, karena hanya dia yang aku inginkan." Ucap Radit mantap pada wanita itu, yang ternyata bernama Meta. Radit segera keluar dengan terus menggenggam Risa, sedang Meta hanya menatap mereka penuh amarah.

"Oke, terima kasih kamu sudah mau menjadi kekasih pura-pura saya." Radit mengalihkan pandangannya pada Risa, didalam mobil yang masih terparkir didepan café.

"Bahkan tanpa persetujuan dari saya," Risa menatap balik Radit dengan tajam hingga pandangan mereka bertemu.

Hujan yang tiba-tiba turun, mampu mengalihkan pandangan mereka. Bukan petir yang kini terdengar tapi, suara lapar perut Risa yang mengalihkan pandangan Radit plus tawanya.

'Kenapa kalian malah konser didalam cacing," Risa menunduk malu.

"Maaf, saya lupa memesan makanan tadi untuk para cacing diperutmu." Radit masih tertawa geli. "Sebagai gantinya, kamu boleh memilih tempat makan yang kamu inginkan."

"Saya mau makan dirumah saja, Rania pasti sudah masak." Risa mengingat kembali perkataan sahabatnya. "Yang tadi sama saya saat bapak menyuruh saya masuk ke mobil bapa, kami tinggal bersama." Seakan Risa tau arti tatapan bingung Radit padanya.

"Baiklah, saya akan antar kamu." Radit melajukan mobilnya, setelah mendapat anggukan dan arahan dari Risa.

Hujan masih enggan berhenti, ketika mereka sudah sampai di depan rumah Rania. Dilihat dari halaman depan menuju pintu masuk, lumayan akan membuat mereka basah tanpa payung. Radit terlihat berpikir, lalu membuka jas yang dipakainya. Radit menyuruh Risa menunggu sebentar didalam mobil, kemudian dia turun dengan jas sebagai payungnya. Radit berlari kecil ke sisi bagian mobil, membukakan pintu untuk Risa.

"Cepatlah, sebelum air hujan ini meresap pada jas ini." Perintah Radit yang melihat Risa, masih belum bergeming dari duduknya.

"Oh, iya." Risa tersadar dari keterpukauannya terhadap perlakuan Radit.

Jarak mereka kini sangat dekat, Radit memegang jasnya dengan kedua tangannya. Hingga membuat satu tangannya seperti merangkul Risa, udara sangat dingin tapi tanpa disadari satu sama lain mereka merasa lebih hangat. Jantung keduanya kini nerdegup tidak beraturan, jika jantung itu dapat bersuara mungkin akan menghasilkan nada tak beraturan. Risa enggan menoleh pada Radit, karena dia tahu itu akan membuat jantungnya malah meloncat.

"Tok...tok...tok...Assalamu'alaikum." Dengan tubuh yang seeikit menggigil, Risa mengucapkan salam.

Pintu terbuka, "Wa'alaikumussalam, ahirnya kamu pu-." Rania tersenyum senang melihat Risa pulang, tapi hilang seketika saat matanya menemukan sang boss. "Pa Radit," kagetnya.

Radit hanya tersenyum kaku, atas sambutan Rania dari balik pintu. Risa yang menyadari sahabatnya terpaku, langsung berdehem dan berhasil membuat raga Rania kembali.

"Ah, silahkan masuk pa." Rania mencoba sesopan mungkin, tetapi tatapannya seolah bertanya para Risa 'kenapa dia ikut?'. Risa hanya menjawab 'hujan', tanpa mengeluarkan suaranya.

"Silahkan duduk, pa." Rania masih merasa sungkan pada Radit, bagaimanapun Radit itu boss dinginnya.

"Ris, kamu mandi dulu sana pake air hangat." Perintah Rania, melihat Risa sedikit menggigil. "Aku ga mau kamu sakit, kamu belum makan bukan?. Aku buat sup dan akan aku panaskan dulu," perintah Rania seakan dia melupakan Radit.

"Ehem," Radit berdehem menyadari dirinya tidak dianggap.

"Eh, maaf pa. Saya lupa kalau ada bapa, " Rania merasa tidak enak dan Risa hanya tersenyum melihat sahabatnya. "Kalau bapa mau mandi, bapa bisa pakai kamar mandi di kamar tamu itu." Ucap Rania, sambil menunjuk kamar tamu disebelah kanan Radit. "Tapi maaf, disini tidak ada baju untuk laki-laki."

"Terima kasih, saya akan gunakan kamarnya. Boleh saya pinjam payung, saya mau ambil pakaian ganti dulu di mobil." Radit sudah tak nyaman dan sangat kedinginan, dia hanya ingin cepat mengganti pakaiannya.

Rania buru-buru memberikan payung pada Radit, Raditpun segera berlari menuju mobilnya.

"Kamu cepet mandi sana, tubuhmu sudah sangat dingin." Perintah Rania, yang merasakan tubuh sahabatnya mendingin.

Setelah Risa pergi ke kamarnya, Rania mulai menghangatkan makanan yang dibuatnya dan menyiapkan diatas meja makan.

"Cepat makanlah, sahabatku ini sepertinya sangat lapar." Kékéh Rania yang melihat Risa, sudah menatap sup dan ayam rica-rica diatas meja makan.

"Iya aku sangat lapar, bahkan cacing diperutku sudah mulai konser sejak tadi." Risa mendudukkan pantatnya, di kursi makan.

Radit yang sudah selesai mandi dan berganti pakaian, segera menghampiri dua sahabat itu. Radit berpura-pura batuk, agar mereka menyadari keberadaannya.

"Mari pa, silahkan makan." Rania mempersilahkan Radit dengan sopan.

"Tidak perlu, saya akan makan dirumah." Radit yang merasa canggung, bagaimanapun dia tidak terbiasa sedekat ini dengan bawahannya. Namun perutnya berkata lain, suara gemuruh diperutnya menbuat Risa tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Rania berusaha menahan tawanya, karena rasa takutnya lebih besar.

"Tuh pa, cacing di perut bapa sedang konser sepertinya." Ucap Risa dengan berani sedang Rania hanya menatap Risa.

'Habislah, mengapa anak ini seberani itu pada pa Radit.' Batin Rania.

"Silahkan pa, tak perlu sungkan." Rania mengalihkan Radit, jangan sampai dia marah pada sahabatnya itu.

Radit kemudian mendudukkan pantatnya dihadapan Risa dan menatapnya tajam, sedang yang ditatap malah asik dengan makanannya.

"Maaf pa, saya tinggal. Saya harus mengangkat telepon ini," Rania pamit pada Radit karena suara handphonenya berbunyi.

"Kamu ga makan?," Risa bersuara sebelum Rania pergi ke kamarnya.

"Aku sudah makan tadi, aku angkat telepon ya." Rania tersenyum pada Risa, ada rasa syukur dihatinya karena telepon ini dia bisa meninggalkan Radit dan Risa berdua.

Hanya ada suara piring, sendok dan garpu yang sedang beradu kini. Keduanya enggan berbicara apapun, mereka lebih memilih menikmati makanan masing-masing.