"Ran, ayo bangun." Risa mengguncang tubuh Rania.
Rania mulai membuka matanya, "hhmmm, jam berapa ini?."
"Jam setengah lima, ayo kita sholat subuh dulu." Ajak Risa yang sudah siap dengan mukenanya.
"Hah, sudah pagi." Rania terduduk dengan cepat. "Pa Radit, sudah pulang?."
"Kamu nih, ninggalin aku sama pa Radit dibawah berdua." Risa memanyunkan bibirnya. "Aku nunggu kamu turun sehabis telepon, taunya ga turun-turun. Malah tidur nyenyak lagi, sahabat macam apa ninggalin aku dengan pria dingin macem pa Radit." Mengingat hal itu, Risa merasa kesal.
"Maaf, aku tiba-tiba ngantuk. Setelah menerima telepon dari kak Aji aku tiduran, eh malah bablas." Ucap Rania menyesal. "Tapi kalian ga bertengkar kan," selidik Rania.
"Setelah aku tahu kamu tidur, aku bilang ke pa Radit. Langsung deh dia pamit pulang," jelas Risa masih sedikit kesal dengan sahabatnya ini.
"Hahaha,,,,beraninya kamu usir pa Radit." Tawa Rania pacah, "walaupun secara tidak langsung."
"Ya, daripada aku risih dia ada disini." Mulut Risa mengerucut, "ayo cepet sholat dulu."
Setelah melaksanakan sholat subuh, mereka mencoba sedikit berolahraga di halaman rumah. Karena ini hari libur, jadi mereka sedikit bersantai.
"Ran, setelah ke supermarket jadi ikut ke Bandung?." Tanya Risa sambil meneguk minumannya yang diambil dari kulkas, ketika mereka selesai olahraga.
"Astagfirullah, aku lupa kasih tahu. Maaf a okku ga bisa ikut kamu ke Bandung, padahal aku pengen banget ikut." Kini bibir Rania yang mengerucut. "Semalem ka Aji telepon, dia mau kenalin aku dengan calon istrinya secara langsung."
"Ka Aji tuh siapa kamu memang?," Risa bingung mengapa Rania nurut sekali sama yang namanya Aji.
"Aku memang belum cerita ya?," Rania coba mengingat-ingat dan Risa hanya menggeleng. "Ka Aji itu, kakak tiri aku. Anak Mama Eva, ibu tiri aku. Beberapa minggu lagi dia akan menikah, jadi dia pengen aku ketemu calon istrinya. Ya selama ini aku cuma tau dari photo aja, baru bisa hari ini ketemu langsung nanti sore. Sekalian mau liatin undangan pernikahan mereka sama aku. Walaupun ka Aji itu cuma kakak tiri aku, tapi dia selalu berusaha buat lindungin aku. Dia seorang dokter dan sengaja nyari kerja di rumah sakit Jakarta, biar bisa jagain aku. Karena ayah tinggal di Yogyakarta sama Mama Eva, jadi dia yang gantiin ayah. Aku janji, lain kali aku harus ikut ke Bandung." Cerita Rania panjang lebar.
"Ya udah ga apa-apa, tapi kita jadi ke supermarket kan?. Bahan makanan udah habis, sekalian kita sarapan diluar aja ya?." Ada rasa sedikit iri pada Rania karena Rania memiliki seseorang yang bisa dia andalkan, walaupun tidak ada hubungan darah dengannya. Namun dengan cepat dia tepis, karena dia juga punya kakak laki-laki yang bisa diandalkan yaitu Mario. Walaupun jarang bertemu, tapi Mario selalu ada saat Risa butuh.
Setelah sarapan nasi uduk didepan komplek, mereka melaju menuju supermarket. Mereka memasukkan semua keperluan untuk beberapa minggu kedepan, hingga membuat troli mereka penuh. Ada keceriaan terpancar dari wajah mereka, meski hanya melakukan hal kecil seperti berbelanja bersama. Tawa, canda selalu menghiasi kebersamaan mereka. Tanpa sadar, Risa kini menjadi sosok yang lebih ceria dan terbuka. Risa mampu mengekspresikan perasaannya, terutama di depan Rania. Akhirnya, mereka selesai berbelanja. Risa hendak mengambil mobil di parkiran menuju kepintu keluar supermarket, agar mudah memindahkan belanjaannya dari troli.
"Tolong, pencuri." Teriak seorang wanita paruh baya histeris.
"Ran, kamu tenangin ibu itu." Perintah Risa
"Hah, kamu mau ngapain?," tanpa menjawab pertanyaan Rania, Risa segera berlari kearah pencuri itu. Rania pun langsung melihat kearah sahabatnya, sambil menemani ibu yang sedang khawatir tadi.
Terjadilah perkelahian, antara Risa dan pencuri itu. Dari jauh terlihat, Risa dengan keahlian bela dirinya menghajar si pencuri. Tapi ketika Risa lengah, pencuri itu menghantam wajah Risa. Si pencuri berhasil membuat ujung bibir Risa mengeluarkan cairan berbau besi karat, Rania dan ibu tadi terlihat semakin khawatir. Rania pergi mencari bantuan, untunglah ada seorang satpam yang ternyata sedang melakukan inspeksi jadi tidak ada ditempatnya sejak tadi. Satpam itu dengan cepat membantu Risa dan akhirnya si pencuri berhasil dibekuk.
"Ris, bibir kamu berdarah." Rania cepat menghampiri Risa dengan khawatir. Risa menyentuh bibirnya yang terasa sakit dan berhasil membuatnya meringis.
"Ya ampun nak, terima kasih sudah menolong ibu. Tapi, kamu sampe berdarah seperti ini." Suara ibu korban pencurian itupun, tak kalah khawatirnya. "Ayo kita ke rumah sakit, buat obatin luka kamu."
"Iya, yu Sa. Aku juga khawatir sama kamu," Rania menyetujui ibu itu.
"Ga usah, ini cuma luka kecil. Di kasih es batu dan obat oles juga nanti sembuh," tolak Risa tidak ingin membuat ibu itu khawatir.
"Ayolah nak, ibu akan ngerasa bersalah banget kalau kamu seperti ini." Wajah ibu itu terlihat sangat bersalah.
"Beneran bu tidak apa-apa, saya sudah biasa dengan luka seperti ini. "Tolak Risa berusaha agar tidak membuat ibu itu, merasa bersalah.
"Aku tahu kamu itu jago bela diri, kamu selalu melawan kejahatan. Tapi, aku ga bisa liat kamu luka kaya gini." Rania bermuka sedih, berusaha membuat Risa mau pergi ke rumah sakit.
"Jangan lebay deh," ucap Risa terkékéh dengan sikap Rania. "Aku ga suka bau rumah sakit."
"Ya sudah kalo gitu, kita tidak akan kerumah sakit. Tapi, kamu mau ya ibu obati, kita ke café disana." Rayu ibu itu sambil menunjuk sebuah café, disamping supermarket. "Ibu tidak mau menerima penolakan," ucap sang ibu sebelum Risa menolak.
Mereka bertiga menuju café setelah Rania membereskan belanjaan mereka dan segera duduk dimeja yang kosong. Ibu itu langsung meminta pelayan membawakan es batu, untuk luka Risa. Dengan telaten ibu itu mengobati luka Risa, ada perasaan hangat di hati Risa. Apakah ini rasanya diobati oleh seorang ibu, ketika dia terluka. Tanpa sadar, Risa terus menatap ibu itu dengan mata sayunya. Ibu itu lalu mengoleskan salep luka yang dibeli oleh supirnya sebelumnya pada luka Risa, yang membuat Risa sedikit meringis sakit.
"Sakit ya nak?, tahan sedikit lagi ya!." Wajah ibu itu masih terlihat khawatir, membuat mata Risa panas ingin menahan air mati yang ingin keluar.
"Apa sangat sakit, nak?." Tanya si ibu ketika melihat Risa, sudah mengeluarkan air matanya. Risa hanya menggelengkan kepalanya, membuat si ibu bingung lalu memeluknya sambil mengelus punggungnya untuk menenangkannya.
Rania hanya bisa menatap sedih keduanya tanpa mau mengganggu mereka, dia yakin bahwa Risa merindukan neneknya yang dulu selalu ada buatnya.
"Sudah jangan menangis!," perintah wanita paruh baya itu sambil menghapus air mata dipipi Risa. Risa tersenyum, mendapat perlakuan itu. "Oya, ibu sampai lupa berkenalan. Nama ibu Sarah," Bu Sarah menjulurkan tangan kanannya pada Risa.
Risa mengambil dan mengecupnya, "saya Risa dan ini sahabat saya Rania." Risa menunjuk kearah Rania, disambut uluran tangannya. Rania melakukan hal yang sama mengecup tangan bu Sarah, sebagai tanda hormat terhadap yang lebih tua. Setelah selesai, Risa dan Rania pamit pada Bu Sarah.