Radit masih menatap Risa dalam dan mampu membuat Risa semakin terpojok.
"Maaf, aku eh saya benar-benar minta maaf pa." Ucap Risa sambil menundukkan kepalanya dan menyesali dirinya kenapa tadi bilang aku kamu kepada bossnya ini.
"Saya belum tahu bisa memaafkan kamu atau tidak, karena kamu harus tahu bagaimana sakitnya kepala saya. Tubuh kamu kecil, tapi sepertinya tenaga kamu cukup besar." Radit memasang wajah pura-pura berpikir, untuk mengerjai gadis dihadapannya ini. Entah kenapa perasaannya senang melihat Risa ketakutan, gadis ini berbeda menurutnya.
"Maafkan saya pa, saya janji akan melakukan apapun yang bapa perintahkan. Asalkan bapa tidak pecat saya," kata-kata itu lulus dengan mulus dari bibir Risa. Dia tidak tahu harus membela diri seperti apalagi, dalam pikirannya dia hanya takut dipecat.
"Baiklah, akan saya pertimbangkan." Radit tersenyum licik. Sebenarnya Radit tak berniat memecatnya, apalagi pekerjaan gadis ini bagus menurutnya. Tapi lumayan ini akan dia gunakan sebaik mungkin, untuk mengerjai gadis ini.
Radit masih belum memikirkan hal apa untuk mengerjai Risa, jadi dia memerintahkan Risa keluar setelah dia mengecek pekerjaan Risa yang amat baik.
★★★★
Risa menghempaskan tubuhnya di sofa sesampainya dirumah setelah seharian lelah bekerja.
"Kamu kenapa sih, semenjak keluar dari ruangan pa Radit mukanya ditekuk terus. Mana diem terus juga, bikin aku bingung." Rania juga ikut mendudukkan dirinya disebelah Risa.
Risa menghempaskan napasnya berat, lalu mulai membuka mulutnya. Pertama-tama Risa menceritakan pertemuan memalukannya dengan Radit.
"Hahahaha, beneran kaya gitu." Rania tertawa terbahak-bahak, membuat Risa memutar bola matanya.
"Udah deh, aku udah cukup malu sama pa Radit. Kamu malah ketawa gitu," Risa mengerucutkan bibir tipisnya. Tanpa terasa dihadapan Rania, Risa sudah mulai bisa berekpresif.
"Oke, maaf. Terus gimana?," tanya Rania ingin tahu kelanjutannya.
"Tadi pas aku ke ruangan pa Radit, ternyata dia inget siap aku." Risa menceritakan hal yang terjadi kepadanya, hingga dia harus menunggu keputusan pa Radit agar dia memaafkannya.
"Habislah kamu, Ris. Pa Radit pasti akan membuat kamu susah," Rania bergidik sendiri.
"Jangan nakutin aku gitu dong," Risa bertambah ngeri.
"Bukannya gitu, tapi pa Radit itu emang dikenal menyeramkan, dingin dan yang lainnya. Dia ga pernah ramah, baik sama laki-laki atau perempuan. Walaupun banyak banget perempuan yang mengagumi ketampanannya, tapi dia biasa aja malah cuek. Aku berharap kamu ga terlalu dipersulit, apalagi sampai bikin kamu dipecat." Terang Rania sambil mengelus punggung Risa lembut.
"Semoga aja, tapi kalo karena ini aku sampe dipecat aku ga akan tinggal diam. Mana boleh dia mecat karyawan, karena kesalahan yang bukan berhubungan sama kerjaan." Ungkap Risa bersemangat.
"Nah, bener tuh. Tapi selama aku kerja sih, perusahaan tuh profesional dan loyal sama karyawannya. Kalo pa Radit ga profesional, kamu bilang aja ke CEO kita. Dia ayahnya pa Radit, orangnya baik banget dan ramah pula. Beda sama anaknya," Rania menerangkan dengan semangat yang tak kalah dari Risa.
"Semangat!!, aku pasti bisa melalui ini." Risa mengangkat tangan kanan yang mengepal ke udara.
"Aku akan ada dibelakangmu, tenang aja." Rania tersenyum dan melihat senang karena sahabatnya sudah jadi orang yang berbeda, tentunya jadi lebih baik.
★★★★
Di apartemen, Radit tidak mampu memejamkan matanya walaupun jam sudah menunjukkan pukul 01.30 malam. Diatas kasur king sizenya dia terbaring, wajahnya mengadah ke atas langit-langit kamar yang didominasi warna putih dan tangannya kanannya menjadi peyangga kepalanya diatas bantal.
"Kenapa aku terus memikirkan gadis itu?," tanyanya pada diri sendiri dan sudah pasti dia tak tahu jawabannya.
"Ada yang berbeda dengannya, tapi apa?. Perasaan ini kembali menghangat seperti dulu. Siapa dia sebenarnya, masa hanya karena dia orang satu-satunya yang berani melemparnya dengan sepatu itu menjadi penting?. Aku harus bisa memanfaatkannya dengan baik, agar tahu apa yang kurasakan sebenarnya." Dia terus bermonolog.
"Aarrggghh," tiba-tiba radit berteriak sambil menjambak rambutnya sendiri.