Matahari pagi sudah dengan gagah memancarkan sinarnya, Risa siap untuk menghadapi hari ini. Dengan menggunakan kemeja biru tua, celana bahan hitam dan blazer yang senada dengan celananya, Risa tampak rapi. Risa memang gadis yang cantik, kulit putih, hidung mancung, mata yang coklat dan tajam, tubuh yang langsing namun berisi sesuai porsi, dengan tinggi 170 cm, sangat sempurna. Tapi Risa selalu menutupinya dengan tidak bermake up, rambut dikuncir satu dan menggunakan kaca mata anti radiasi jika di kantor. Sebenarnya banyak pria yang mengagumi kecantikannya, tapi sikap dia yang tidak bersahabat membuat para pria tidak berani mendekatinya.
Rania turun dari tangga menuju ruang tamu, dimana Risa sudah menunggu. Berbeda dengan Risa, Rania tampil lebih feminim. Rania menggunakan dress Maroon polos dibawah lutut dengan blazer hitam diluarnya. Sama-sama cantik seperti Risa, hanya saja Rania lebih pendek karena hanya memiliki tinggi 160 cm. Rania gadis dengan kulit kuning langsat, mata hitam pekat, hidung mancung dan tubuh kurus. Rania lebih suka menyanggul asal rambut lurusnya atau di gerai.
Hanya sepuluh menit mereka sampai di kantor. Mereka langsung menuju kantor mereka, dan duduk di kubikel mereka masing-masing.
Terdengar pembicaraan beberapa wanita, yang sedang berkerumun dibelakang mereka.
"Kalian lihat kan tadi, betapa tampannya Pa Radit?." Ucap salah satu karyawan wanita.
"Sangat sempurna, wajah tampannya seperti ukiran maha karya. Hidung mancung, mata tajam, alisnya penuh, ya walaupun tampak dingin wajahnya tapi tetap sempurna." Timpal wanita yang lainnya.
"Di tambah tubuh dan tingginya sangat proposional, harusnya Pa Radit lebih cocok jadi model atau artis." Mereka terus mengungkapkan kekagumannya.
"Lebih bagus lagi, Pa Radit masih single. Jadi, masih banyak kesempatan. Tapi, aku bingung kenapa Pa Radit masih betah melajang?. Padahal banyak wanita yang menginginkannya, sampai model cantik seperti Karina masih saja ditolak." Sepertinya mereka masih belum ingin berhenti mengorek tentang bosnya.
"Ada dua kemungkinan, pertama Pa Radit masih mencari yang cocok. Kedua Pa Radit gay," timpal yang lainnya.
"Hush, jangan sembarangan. Aku dengar Pa Radit masih belum bisa move on, dari kekasihnya yang dulu." Obrolan mereka bertambah seru dan wajah mereka bertambah gembira.
"Wah,, berarti Pa Radit tipe pria yang setia. Kira-kira siapa yang bakal bisa meluluhkan hatinya?," mata mereka terlihat berharap.
"Yang pasti bukan kalian, bukannya siap-siap kerja malah pada ngegosip disini." Ucap seorang karyawan pria, berusaha membubarkan mereka dan disoraki para wanita itu yang terpaksa bubar kembali ke tempat masing-masing.
"Ran, Ris kalian ga ikut jadi pengagum si bos?." Tanya seorang karyawan bernama Dika, yang melihat Risa dan Rania tidak tergoda dengan pembicaraan para wanita tadi.
Rania hanya mengangkat pundaknya malas menjawab pertanyaan itu, sedangkan Risa hanya tersenyum malas.
"Kenapa?, emang kalian ga suka sama Pa Radit?." Tanya Dika aneh, karena hampir semua karyawan wanita tergila-gila dengan Pa Radit.
"Suka sih, aku ga munafik karena sepertinya Pa Radit itu pekerja keras dan bertanggung jawab. Tapi, aku ga suka kalau jadi pusat perhatian. Terus juga terlalu tinggi mimpi dapetin pa Radit, nanti jatohnya terlalu sakit. Tambah lagi pa Radit terlalu dingin, serem deketnya juga." Jelas Rania panjang dengan suara sedikit berbisik, karena takut terdengar yang lainnya.
"Kalau kamu Ris?," tanya Dika menatap Risa.
"Biasa aja," jawab Risa males.
"Kalau tipe pria yang kamu suka seperti apa?," Dika bertanya dengan wajah penuh harap. Dika memang tertarik akan Risa, walaupun Risa terlihat acuh akan segala hal kecuali Rania dan pekerjaan.
"Ih, udah sana deh mas jangan ganggu. Udah mau jam kerja nih," ucap Rania sambil mengibaskan tangannya agar Dika pergi. Rania sadar jika Risa tidak nyaman akan keberadaan Dika, ditambah pertanyaan Dika yang membuat Risa semakin tidak nyaman. Risa tersenyum pada Rania, karena dia tahu Rania berusaha mengeluarkannya dari keadaan yang aneh.
Terdengar suara telepon di line Risa berdering.
"Hallo," Risa cepat-cepat menjawabnya.
'Risa, kamu ke ruangan saya sekarang ya!.' Perintah dari balik telepon yang diketahui adalah Pa Tama.
"Baik, pa." Ucap Risa dengan cepat menutup telepon dan langsung berjalan menuju ruangan Pa Tama.
Risa mengetuk pintu dengan lembut dan langsung dipersilahkan masuk oleh mpunya ruangan.
"Duduklah!," Risa dipersilahkan duduk oleh Pa Tama dengan ramah. Risa mengangguk dan langsung mendudukkan dirinya dikursi yang berada di hadapan Pa Tama.
"Risa, mulai sekarang kamu yang akan mengantar laporan yang kamu buat ke Pa Radit. Tidak perlu malalui saya, tapi kamu harus tetap memperlihatkannya dulu sama saya. Terus kamu juga yang akan menemani saya jika ada meeting dengan petinggi, sepertinya Pa Radit menyukai pekerjaan kamu." Jelas Pa Tama langsung tanpa basa basi.
"Saya pa?," Risa terbelalak kaget sambil menunjuk dirinya sendiri.
Setelah mendengar perintah itu, Risa langsung ijin keluar untuk kembali ke tempatnya. Sambil berjalan, Risa terus memikirkan perintah itu. 'Ini sih bukan karena Pa Radit suka kerjaan aku, ini pasti cara dia buat balas dendam sama aku.' Batin Risa yakin akan kejanggalan perintah ini, tapi bagaimana pun harus dia ikuti karena ini perintah dari atasan langsung.
"Kenapa?," Rania menyadari ada yang tidak beres dengan Risa disampingnya. Risa lalu menceritakan pembicaraannya dengan Pa Tama.
"Gimana ya Ran?, Sepertinya Pa Radit menggunakan pekerjaan buat bikin aku susah." Tanya Risa bingung.
"Aku yakin, kalau masalah pekerjaan kamu pasti bisa mengatasinya. Ini juga bagus buat karir dan pembelajaran kamu kan. Lagian Pa Radit akan marah kalau pekerjaan kamu salah atau kamu lalai dan itu wajar, dia cukup profesional kok. Jadi kamu tenang aja, tapi kalau memang dia nyusahin kamu dengan tugas diluar kerjaan dan di jam kerja kamu bisa tolak dengan tegas." Rania coba menyemangati Risa. Risa mengangguk mengerti, benar juga yang dikatakan Rania dan mampu membuat Risa lega dan bertekad untuk melawannya.