'Tok..tok..tok..' suara pintu yang diketuk tidak membuat Risa bergeming.
"Risa sayang, ijinkan ibu masuk dan bicara padamu, nak!." Terdengar suara yang ia yakini adalah ibunya dengan lembut dan sedikit parau. Namun, Risa tetap diam tidak ingin menjawab atau membuka pintu.
Keadaan rumah begitu sepi sejak kejadian tadi pagi. Ternyata orang tua dan juga Maria, sedang berkemas untuk siap kembali ke Jakarta. Malam ini juga mereka pergi kembali ke Jakarta, karena kesibukan mereka yang harus mengurus perusahaan. Namun, alasan utama mereka kembali bukan itu. Mereka hanya takut jika tetap berada disana, Risa tidak mau keluar dari kamarnya dan itu membuat mereka khawatir. Setidaknya jika mereka pergi, Risa bisa bebas keluar dari kamarnya dan mau makan atau mengurus dirinya. Karena mereka tahu, sebenarnya Risa adalah anak yang kuat. Itu pikir mereka yang tidak mau membuat Risa bertambah menderita.
"Risa, kami kembali ke Jakarta ya sayang." Ucap ibunya lembut dari balik pintu.
"Rumah kami selalu terbuka lebar buatmu, jika ingin pulang." Ucap ibunya lagi walaupun tidak mendengar jawaban dari dalam.
Terdengar suara mobil yang menyala dan kemudian menjauh, menandakan mereka sudah meninggalkan Risa sendiri di rumah itu.
'Cih,, keluarga?. Bahkan mereka pergi disaat baru kemarin nenek meninggal dan kini meninggalkan aku sendiri' umpatnya dalam hati sambil tersenyum menyeringai.
Keeseokan harinya, Risa sudah bangun pagi-pagi dan menyiapkan sarapan untuk dirinya. Meja makan itu terasa sangat sepi sekarang. Teringat kenangan kembali bersama neneknya, yang selalu membuat suasana saat makan begitu hangat dan menyenangkan.
Pagi ini, matahari tidak terlalu berani menampakkan dirinya. Risa menuju pemakaman neneknya, karena dia sangat merindukannya. Suasana pemakaman amat sunyi dan damai. Namun tiba-tiba, matanya menajamkan irisnya agar mampu menangkap sosok pria yang sedang berjongkok di pinggir nisan neneknya.
"Ehem," Risa membuyarkan lamunan pria di hadapannya.
Pria itu langsung mendongak dan menatap wajah Risa. Mata Risa terbelalak melihat pria di hadapan yang tentunya dia kenal. "Kak Rio," ucapnya dengan nada kaget.
Pria tampan itu berdiri dan langsung di sambut pelukan oleh Risa. "Aku rindu dengan kakak," ucap Risa tak bisa menahan air matanya untuk tidak jatuh.
"Kakak juga rindu kamu, Ris." Ucap pria yang tak lain adalah kakak pertama Risa membalas dan mencium lembut pucuk kepala Risa.
Kini mereka sedang duduk di sebuah kursi panjang berwarna putih, yang ada di area pemakaman tersebut. Teringat oleh Risa saat terakhir kali bertemu dengan Mario, empat tahun lalu. Saat Mario meminta ijin untuk tidak bisa menjenguk Risa dalam waktu yang belum bisa ditentukan. Mario bercerita bahwa dia keluar dari rumah dan meninggalkan orang tuanya, karena dia merasa muak harus terus mengikuti keinginan mereka, terutama ayahnya. Bahkan, mereka mengatur untuk menjodohkannya kepada putri koleganya. Sontak saja saat itu Mario menolak dan memilih pergi dari rumahnya. Dia ingin menunjukkan bahwa dia mampu hidup dengan baik, walau tanpa campur tangan orang tuanya. Entah apa yang terjadi pada Mario saat ini, apa dia berhasil dan sukses. Itu yang dipikirkan Risa sambil terus menatap kakaknya yang tampak gagah, dengan setelan kemeja putih yang di balut jas hitam yang sangat cocok untuknya.
"Ris, sampai kapan kamu mau memandangi kakak seperti itu?," tanya Rio membuyarkan lamunannya.
"Kakak tahu, kakak memang tampan. Tapi, kau tidak menyukaiku seperti wanita yang menyukai prianya kan?." Ucap kakaknya dengan wajah menggoda. Memang kakaknya ini berperawakan tinggi, kekar, putih layaknya seorang model.
"Cih,, kakak masih saja narsis." Risa tersenyum geli sambil sedikit memukul lengan kakaknya.
"Bagaimana kabarmu?," tanya Rio dengan suara lembut.
"Entahlah," Risa sendiri tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang ini.
"Kakak sendiri, bagaimana?," tanya Risa balik dan dibalas hanya dengan senyuman oleh Rio.
"Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?," Rio malah menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Rio sangat tahu bahwa adiknya ini merasa bahwa hanya memiliki nenek.
"Aku bahkan tidak pernah memikirkan, hal ini akan terjadi padaku. Mungkin aku hanya akan mengikuti takdirku. Bukankan aku harus tetap hidup?," wajah Risa terlihat muram.
"Ikutlah dengan kakak, kembali ke Jakarta!." Pinta Rio berharap Risa mengabulkannya.
"Wow, apakah kakakku ini sudah sukses sekarang?," tatapa Risa terlihat meledek.
"Kau tidak lihat, sekeren apa aku sekarang?," ungkap Rio dengan sangat percaya diri, sambil menyentuh jas yang dia gunakan. Lalu mengeluarkan selembar kartu nama miliknya.
"Wah,, coba liat kakakku sekarang. Sudah bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Sekarang kakak adalah seorang CEO Jaya Group yang memiliki beberapa mall besar di beberapa kota?," kagum Risa sambil melihat dengan seksama kartu nama kakaknya.
"Akupun ingin berdiri dengan kakiku sendiri seperti kakak. Aku tidak mau bergantung pada siapapun lagi kali ini, sudah cukup sekarang aku merasakan kehilangan yang teramat dalam. Aku tidak mau lagi, meskipun itu kakak. Karena kita tidak pernah tahu, kapan seseorang bisa pergi meninggalkan kita." Ucap Risa sambil menghela napasnya panjang.
"Kau mendoakan kakakmu ini cepat meninggal?," ucap Rio bercanda hanya ingin mencairkan suasana. Sesungguhnya, dia bangga dengan adiknya yang terlihat lebih kuat sekarang.
"Kakak ini, memang pergi itu hanya meninggal saja. Kakak mungkin menikah atau pindah tempat itu juga kan pergi." Risa tertawa geli mendengar candaan kakaknya.
"Aku akan tetap disini ka, bagaimana pun aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku sekarang. Karena dari situ, aku bisa menghidupi diriku untuk saat ini." Risa menghela napasnya panjang sambil tersenyum pada kakaknya. Senyuman yang meyakinkan kakaknya, bahwa dia akan baik-baik saja.