Chereads / Aku dan Suamiku / Chapter 5 - Part 5 Dia Harusnya Melepasku

Chapter 5 - Part 5 Dia Harusnya Melepasku

"Sorry-sorry, sudah menunggu lama ya?"

 

"Hmm... Lihat nih, makanan kita sudah pada habis begini."

 

"Iya, maaf-maaf. Aku kira tidak akan lama tadi. Rinai mengajak membeli tas dulu. Aku tidak enak mau menolak."

 

"Ya sudah, pesan sana!"

 

"Emm... Sebentar deh. Masih ramai kasirnya."

 

Malam sabtu begini, hampir semua tempat makan pasti ramai. Apa lagi tempat yang sering didatangi anak muda. Cuma WcD sih, tapi ini salah satu tempat yang buka 24 jam dan bisa buat ngumpul kami lama.

 

Kulihat nampan-nampan itu sudah kosong, hanya tersisa bungkus kertas dan tulang-tulang sisa. Yah, memang aku yang terlambat satu jam lebih, dan pastinya mereka sudah kelaparan menungguku. Tapi tak apa, besok libur dan kami semua sedang free.

 

"Tumben Nay beli brownies, buat siapa?" tanyaku melihat sekotak brownies itu di depan Naya. Tumben-tumbenan dia membeli itu. Biasanya kami membeli jenis makanan itu jika ada event tertentu saja.

 

"Oh, ini?" tanya Naya mengangkat bungkusan brownies itu.

 

"Dia kan mau pulang besok. Buat oleh-oleh katanya." bukan Naya yang menjawab, tapi Luna. Cewek gembil yang duduk di sebelahnya.

 

"Oh iya, aku lupa. Besok kamu pulang ya." gumamku sendiri, mengingat kalau besok Naya akan pulang. Pulang kampung tepatnya. Setelah sekitar dua bulan dia tak mengunjungi keluarganya.

 

"Sha mana sih?" Luna dan gerutuannya, itu adalah paket. "Jangan-jangan nggak boleh lagi sama suaminya."

 

"Ya harap maklum. Dia kan udah taken. Nggak kayak kalian yang jomlo merana." balasku santai menanggapi Luna.

 

"Diih. Siapa yang ngomong? Nggak sadar diri dia. Mendingan mah kita, jomlo bahagia. Bebas ngecengin cowok mana aja. Nah situ?" Weits, Naya nggak terima rupanya.

 

"ISTRI YANG TAK PERNAH DIBELAI!"

 

"Sialan!"

 

"Hahahhaha."

 

Mereka malah ngakak dan bertos ria. Memang paling bisa kalau bahagia di atas penderitaan sahabatnya. Mereka, termasuk Sha sudah tahu kalau aku sudah menikah. Luna yang mengenalku sejak SMA, tak hentinya mendesakku pada saat itu. Lalu, sejak dua tahun yang lalu barulah dua temanku lainnya baru tahu.

 

Oh ya, sekarang aku sudah duduk di bangku perku-liahan. Mahasiswa akhir tingkat tiga, yang insyaallah tahun depan lulus!

 

Aamiin!

 

Hmm... Mari kita berhitung! Jadi sudah berapa tahun tuh? Lima tahun?

 

Yes, berarti sudah selama lima tahun itu pula aku menyandang status istri —tanpa belaian— yang aku sebenar-nya malas mengakui. Dan, selama itu pula tak sedetik pun aku melihat ujung kuku suamiku ter- emm... kejam? Galak? Tidak sopan? Entahlah.

 

Di saat Naya yang sudah tiga kali ganti pacar, atau Luna dengan deretan gebetannya, atau —ini yang paling bikin iri— Sha yang acap kali datang ke kampus dengan cupang yang beterbaran di lehernya. Dasar pasangan mesum!

 

Maka, di sinilah aku dengan status paling jelas yang tidak jelas. Istri tapi tak bersuami, atau istri yang ditinggal suami, atau istri yang tidak tahu suaminya? Ah, jangankan kalian, aku pun bingung mendefinisikannya.

 

Bukannya aku mengharapkan suamiku itu kembali, lalu tiba-tiba datang dan membelai ku. Iyyuh! Aku bergidik ngeri membayangkannya. Bukan begitu. Tapi coba deh bayangkan sendiri!

 

Oh, masa mudaku yang suram. Masa mudaku yang terbuang sia-sia, tanpa sentuhan drama cinta remaja yang alay. Tembak-tembakan, putus nyambung, labrak-labrakan, perselingkuhan, atau drama yang lebih parah lainnya. Ah, mungkin aku harus bersyukur untuk yang ini.

 

Paling tidak, biarkan aku merasakan debar-debar aneh itu. Debar-debar yang kata orang bisa membuat galau berkepanjangan, atau bisa menghilangkan nafsu makan. Nah, yang ini lumayan kan? Bisa jadi saranya penghancur lemak membandel di paha.

 

Tapi apa?

 

Ah sial! Gara-gara ikatan ini, entah kenapa otakku sudah mengirimkan sugesti pada hati dan jantungku bahwa aku sudah bersuami. Bahwa jantungku tak boleh berdetak sesuka hatinya untuk lelaki lain. Bahwa hatiku tak boleh meleleh sesukanya mendapat perlakuan manis lawan jenis. Selalu mengingatkanku bahwa ikatan ini bukan main-main. Ada nama Tuhan yang bersangkutan.

Parahnya lagi, nuraniku selalu berbicara dan menahanku. Seakan aku adalah perempuan tukang selingkuh jika berdekatan dengan manusia berkromosom XY itu.

 

Ya Tuhan!

 

Kapan dia kembali?

 

Bukan apa-apa aku mengharapkannya kembali. Aku hanya ingin meminta kejelasan hubungan ini. Aku tak butuh lagi uangnya. Rasanya rekeningku sudah penuh terisi uang melimpah darinya tiap bulan yang tak pernah aku pakai.

 

Aku hanya butuh kejelasannya. Lepaskan aku jika dia tak mau pernikahan ini. Tunjukkan batang hidungnya! Jangan seperti pengecut yang bersembunyi di ketiak entah siapa. Lepaskan aku, agar aku bisa terbebas dari perasaan bersalah ini.

 

Aku kesal sendiri jika diingatkan dengan suami yang tidak bertanggungjawab itu. Sekalian saja kalau pergi tidak usah meninggalkan jejak apapun! Uang maksudku. Kan kalau begini ikatan diantara kami tidak putus. Dia masih terhitung menafkahiku.

 

Lagi pula aku bisa kok hidup tanpa uangnya. Warisan Papa lebih dari cukup untuk menghidupiku sampai lulus kuliah. Atau paling tidak sampai aku mendapat suami baru.

Geez! Suami baru apanya! Sadar Hannah!

 

"Heh! Malah melamun. Kenapa? Kangen suami?" goda Naya menepuk pundakku keras.

 

"Sakit Nay!"

 

"Makanya jangan melamun! Sana pesan!"

 

"Tunggu Sha dulu deh."

 

"Ellah, nungguin itu anak nggak pasti kapan da-tang-nya. Palingan mereka lagi buat adik!"

 

"Luna! Mulutmu loh."

 

"Kenapa? Memang begitu kan?"

 

"Kalau mau kayak mereka, cowok itu buat dipacari, terus dinikahi. Jangan digebet terus! Kapan nikahnya?"

 

"Ya dari pada situ, dua bulan pacaran putus. Apaan!"

 

"Setidaknya sudah pernah ada status di antara kami. Dari pada kamu! Cowok milik bersama itu."

"Haduuh, kalian ini. Kapan sih akurnya."

 

Aku berdiri, lelah dengan perdebatan tak penting me-reka. Lama-lama perutku minta diisi juga. Antrean juga sudah mulai sepi. Jadi saatnya aku makan.

 

"Halo, Wa'alaikumsalam. Ya Bun? Kenapa?" Ponselku berdering di tengah obrolanku dengan kasir.

 

"..."

 

"Iya pulang. Jam 12 mungkin. Kenapa?"

 

"..."

 

"Ini lagi makan di Wc D dekat kampus."

 

"..."

 

"Harus sekarang banget bun?"

 

"..."

 

"Hmm... Wa'alaikumsalam."

 

Tidak biasanya Bunda menyuruhku pulang mendadak begini. Dengan statusku sebagai mahasiswa jurusan desain, sudah bukan hal asing lagi jika aku pulang kuliah tengah malam. Atau bahkan sampai pagi. Kadang aku juga tak pulang dan lebih memilih untuk menginap di kost Naya atau rumah Luna karena rumahku terbilang cukup jauh dari kampus. Daripada waktuku terbuang percuma di jalan kan?

 

Ah, aku jadi tidak tenang sendiri mendapat panggilan Bunda barusan.

 

Kulihat Sha sudah bergabung dengan Naya dan Luna di sana. Tak menunggu lama aku menghampiri mereka setelah pesananku siap di tangan.

 

"Hai hai. Akhirnya datang juga Nyonya Sativa. Sempat berapa ronde tadi?"

 

"Astaga Hannah!" teriak Sha yang hampir tersedak minum Naya.

 

"Mulutnya ya! Jangan nunjukin banget kalau situ jablay kenapa?"

 

"Jahat banget sih Lun."

 

"Ya tadi situ yang negor-negor, sekarang malah kela-kuan tambah parah."

 

"Iya. Maaf deh." Aku nyengir sambil menata maka-nanku di meja.

 

"Dingin banget ya Sha, sampai syalnya tebel gitu." Naya menaik turunkan alisnya sambil tangannya menarik-narik syal yang melingkar di leher Sha. Semua orang juga tahu bagaimana kelakuan suaminya itu. Mesum stadium akhir. Untunglah Bandung tak sepanas Jakarta. Jadi Sha tidak terlalu tersiksa dengan syal yang melingkar di lehernya hampir setiap hari.

 

"Nay, jangan pura-pura nggak tahu gitu deh."

 

"Aku kan memang masih polos, Lun. Nggak kayak mereka berdua yang udah dewasa."

 

"Polos gigimu!"

 

"Ya ampun, udah deh kalian berdua, aku nggak bisa lama nih. Langsung aja."

 

"Langsung apa Sha? Emang tadi kalian berdua belum kelar ya? Kok pengen cepet pulang."

 

"Nay, plis. Jangan bahas itu lagi. Aku malu tahu."

 

"Ih yang pipinya merah. Puas banget tadi kayaknya."

 

"Beneran aku pulang nih!"

 

"Eh, jangan dong. Masa baru datang mau pulang lagi."

 

"Makanya cepat!"

 

"Kalian ngomongin apa sih? Apanya yang cepat?" Aku mulai bingung dengan arah pembicaraan mereka. Apanya yang mau dimulai? Makannya? Apanya yang cepat? Makan-nya? Kenapa harus cepat-cepat?

 

"Hannah, jorok deh. Cuci tangan dulu sana!"

 

"Iya iya!" Aku menurut dengan perintah Naya. Memang aku belum cuci tangan, tapi sudah mencomot-comot ayam di piring.

 

Aku terkejut saat kembali ke tempat kami duduk. Di sana, sekotak brownies dengan dua lilin di atasnya menyala. Angka 21 menyala di atas brownies itu.

 

"Waah, ada yang ulang tahun yaa?" tanyaku sekembali dari cuci tangan.

 

"Pakai pura-pura nggak tahu lagi!" Luna menggerutu menatap tampangku yang menyebalkan.

 

"Hehe." Aku hanya nyengir menanggapinya.

 

"Udah, cepetan tiup lilinnya! Abis itu, make a wish! Minta sama Tuhan, biar suamimu cepet balik!" Memang Luna, mulutnya telah kehilangan filter. Suka bener kalo ngomong.

 

"Sialan! Ini udah lewat berapa bulan gaesss?! Ulang tahunku harusnya dua bulan yang lalu."

 

"Udah sih sama aja. Mending kita masih inget."

 

"Jahat ya kalian!"

 

"Udah cepetan! Kak Oriz udah mulai neror nih!"

 

"Huuu!" Aku, Luna dan Naya serempak melemparkan tatapan dan teriakan pada Sha. Dasar! Bikin iri saja!

 

"Udah buruan! Make a wish dulu!"

 

Aku menundukkan kepala, membuat beberapa permo-honan, sebelum meniup lilin yang mulai meleleh itu.

 

"Happy birth day, Hannah! Selalu bahagia yaa... Cepet pulang juga suaminya, aku udah penasaran banget gimana tampang suamimu." Ucapan pertama, datang dari Naya.

 

Lalu, dari Luna. "Happy birth day, Hannah Ayudya! Tambah cantik ya, biar suaminya nggak minggat-minggat. Biar suaminya cepet balik." Sangat Luna sekali.

 

Terakhir dari Shagufta. "Happy birthday, Hannah. Sumpah, ternyata nikah itu enak banget. Semoga suami kamu cepat kembali ya, biar kalau tidur ada yang meluk." Dasar nyonya satu ini!

Walaupun doa mereka agak aneh, tapi aku mang-amininya. Semoga...