"Emmh..." Kuat-kuat aku menahannnya. Aku tak bisa berbuat apa-apa ketika lidah dan giginya memainkan putingku. Giginya menggigit kecil, lidahnya menjilat kuat, sedang bibirnya menghisap dalam. Rasanya aku ingin menangis saat ini juga menahan rasa yang diberikannya. Aku masih dalam kebingungan, tapi dia tak henti memberikan rasa aneh pada tubuh dan perasaanku. "Hiks... hmmhp." Tanganku telah menutup bibirku sendiri, tapi rintihanku memaksa keluar. Bahkan, air mataku tak mau disimpan lagi.
"Hiks, Hen-hentikan, tolong berhenti." Di sela isakan-ku, aku memintanya untuk berhenti. Dia tak memperdu-likan aku. Bibir dan tangannya masih aktif bergerak di tubuhku. "Tolong berhenti."
Memberikan diri, tanganku menarik kepalanya agar menjauh dari dadaku yang terbuka. "Berhentilah, aku mohon." dengan bersimbah air mata, aku mengucapkannya. kulihat, ada sedikit keterkejutan di wajahnya saat melihatku. Aku terisak, dan dia lekat memandangku.
"Apa aku menyakitimu?" tanyanya beberapa detik kemudian. Aku tak dapat melihat ekspresi wajahnya, karena tanganku telah menutup seluruh wajahku yang berlumran air mata. Aku malu.
"Kau melecehkanku." jawabku di sela isakanku yang belum reda.
"Aku tidak melecehkanmu, Sayang."
"Apa? Jangan memanggilku Sayang. Kita tidak saling kenal!" Sekarang aku kesal. Bisa dikatakan kami baru bertemu, dan dia memanggilku Sayang? Oh, aku merasa menjadi wanita murahan seketika. Menjijikkan.
"Memang. Tapi kau istriku. Ingat? Lima tahun lalu aku menikahimu di depan Papamu."
"Ya. lalu kau meninggalkanku saat itu juga." Awalnya aku ingin bersikap sopan di depan suamiku. Berusaha menggunaka bahasa yang pantas untuknya. Tapi, perlakuannya terhadapku mengurungkan niat muliaku. Aku merasa terhina dengan sikapnya itu. Dengan mudahnya dia men-jamah tubuhku tanpa izin. Ya, walaupun aku tahu kalau dia adalah suamiku. Sah, dalam hukum dan agama. Tapi tetap saja, dia tidak sopan.
"Oh, ayolah Honey. Aku punya alasan melakukannya. Dan, sekarang aku telah kembali. Bukankah seharusnya kau menyambutku dengan baik?" Dia menarikku duduk di pangkuannya. bahkan aku lupa dengan bagaimana posisi kami tadi. Aku marah, namun masih rebah dalam pangkuan dan kungkungannya. Aku malu dua kali.
"Tapi tidak dengan cara seperti ini." Kini aku duduk menghadap wajahnya, dan masih berada di pangkuannya. Dia tak membiarkanku lepas dari tangannya.
"Oh, ayolah! Lalu cara seperti apa yang kau maksudkan itu?" Tangannya menarik punggunggku. Membuat dadaku yang terbuka, rapat dengan dadanya. "Kita bercanggung ria satu bulan, bulan berikutnya kita berkenalan, lalu enam bulan lagi kita pendekatan? Begitu?"
"Emmh... Hentikan!" Aku belum memberi jawaban, malah bibirnya menghisap leherku dengan kuat.
"Kau suka?"
"Tidak!"
"Benarkah? Kau mau aku bagaimana? Menunggumu lagi? Satu bulan, dua bulan, atau satu tahun lagi? Kau tahu berapa umurku?"
Aku menggeleng lemah, "Tapi tidak secepat ini." menunduk, dan masih berusaha menyanggahnya.
"Lalu kapan? Kau tahu, seharusnya kita sudah memiliki dua anak." Aku mendongak, memberanikan diri menatap matanya yang tajam.
Anak? Dia menginginkan anak dariku? Bukannya dia membenciku? Dia meninggalkanku begitu saja, tanpa kabar apapun.
"Kau sudah 21 tahun, aku yakin kau tahu bagaimana kebutuhanku."
"Ya, tapi aku butuh waktu."
"Lima tahun aku memberimu waktu."
"Tapi kau tidak memberitahu apapun."
"Aku punya alasan."
"Jelaskan kalau begitu."
"Nanti. Sekarang, aku ingin mencicipimu." Tiba-tiba saja, sesuatu yang kenyal dan basah mendarat sempurna di bibirku.
Benda basah itu bergerak, membuat nafasku tercekat. Membuat jantungku semakin menggila. Tanganku erat memegang pundaknya. Kurasakan lidahnya mengajak milikku untuk bergerak bersamanya. Rasa aneh yang membuat seluruh tubuhku berdesir dan bagian di bawah sana berdenyut aneh.
"Hmmhh... Hhhh..." Nafasku tersengal saat dia melepas tautan bibir kami. Aku sangat membutuhkan pasokan oksi-gen ke dalam rongga mulutku, jantungku, dan semua sel darahku.
"Ciuman pertamamu? Good girl! Kau suka?" katanya tersenyum tampan sekali. Sebelah tangannya mengusap belakang kepalaku dengan lembut. Aku terpana melihatnya sedekat ini. Aku tak bisa berkata lagi.
"Aku suka bibirmu. Manis dan kenyal." Lagi, jantung-ku berdetak semakin kencang mendengar setiap kata yang keluar dari bibirnya. Di mataku, bibir itu bergerak pelan dan sangat indah. Aku ingin menggigitnya.
"Kau mau lagi?"
Entah apa yang merasukiku, aku mengangguk. Mengalungkan tanganku erat di lehernya, dan menyambar bibirnya yang terlihat sangat menggoda. Merah dan basah. Hanya mengikuti insting, aku mengeksplorasi rasa bibirnya. Melumat, mengulum, dan menggigitnya sesukaku. Oh, aku juga suka bibirnya. Lebih tepatnya, aku suka berciuman dengannya. Suamiku.
----------
-tbc