Sepertinya aku sudah gila mengikuti ajakan Sha dan Luna. Aku malu sendiri, mereka mengajakku berbelanja pakaian dalam yang tidak pantas dan tak senonoh. Menyuruhku memakainya untuk pakaian tidur, atau saat berada di kamar dengan suamiku.
Gila!
Aku tidak mungkin memakaianya. Pasti aku terlihat seperti wanita murahan yang sedang menggoda pria dewasa. Yah, meskipun pria dewasa itu suamiku sendiri. Dia pasti akan menertawakanku. Aku tidak kuat mem-ba-yangkannya.
Sudah jam sebelas malam. Mataku sudah diambang batas, hari ini sungguh melelahkan. Kuliah full time, ditam-bah berbelanja tidak jelas. Jam sembilan malam aku baru sampai di rumah.
Aku berniat menunggunya pulang, dan mengajaknya berbicara. Tapi, sepertinya mataku tidak bisa diajak kom-promi. Kalaupun aku bisa menemui wajahnya malam ini, aku sangat tidak yakin bisa bicara dengannya. Yang aku butuhkan hanya ranjang dan guling untuk aku dekap erat menemani tidurku. Sekitar dua menit kemudian, kesadaran-ku menghilang. Berganti dengan tidur yang sangat nyenyak seperti malam-malamku sebelumnya. Akhir-akhir ini.
----------
Pukul 04.30 aku terbangun. Dan tidak ada siapa - siapa di kamar. Sama seperti bertahun-tahun aku tidur di tempat ini. Sangat besar, namun senyap.
Sebenarnya dia sudah berangkat atau tidak pulang? Kerja macam apa yang pagi buta begini sudah buka? Entahlah, tidakkah keterlaluan dia meninggalkanku lagi begitu saja?
Aku turun setelah mandi dan rapi. Hari sabtu, tidak ada kuliah pagi dan aku tidak punya agenda khusus hari ini. Mungkin waktunya bermalas-malasan. Oh wait, hari sabtu dan dia bekerja? Benar-benar keterlaluan.
"Sudah bangun, Sayang?"
"Sudah, Bun. Ayah mana?"
"Itu, di belakang. Membersihkan kebun katanya." Aku mengangguk, ber-oh ria mengiyakan jawaban Bunda. Aku ingin menanyakan dia, tapi malu. Bagaimana ya caranya?
"Emm... Bun?"
"Ya?"
"Tidak jadi deh."
"Apa Hannah? Kamu jangan membuat Bunda penasaran dong!"
"Hehe. Itu... Emm... Cuma kita bertiga yang sarapan Bun?"
"Oh, kamu cari Elang maksudnya?" Ah, sial! Ketahuan kan! "Iya, dia shubuh tadi sudah berangkat kata Mbak Mirna."
"Kemana Bun? Kerja? Sabtu begini?"
"Haduh, dia pasti tidak pamit kamu ya? Anak itu, kebiasaan!" Sambil menyibukkan diri, aku diam mendengarkan. Jawaban Bunda sama sekali tidak menjawab pertanyaanku. Apa aku harus menanyakannya lagi? "Ayo! Panggil Ayah di belakang." Aku hanya bisa menghela napas. Aku malu kalau harus bertanya lagi. Hubunganku dengan-nya belum sedekat itu.
Lima menit kemudian, semua sudah berkumpul di meja makan. Kami semua memang terbiasa sarapan pagi sekali. Karena Ayah harus berangkat kerja pukul tujuh pagi. Meskipun itu akhir pekan, kebiasaan ini terus berjalan.
"Bagaimana kuliahmu, Han?" tanya Ayah memecah keheningan di meja makan.
"Baik, Yah. Biasa kalau akhir semester begini tugas mulai banyak." jawabku santai, bulan - bulan Oktober sama dengan tugas yang mulai menggunung.
"Ya, kuliah yang rajin ya. Tahun depan, kamu wisuda kan?"
"Insyaallah, Yah."
"Mana Elang? Kalian tidak sedang bertengkar kan?" tanya Ayah lagi.
"Emm... Tidak." jawabku ragu. Dia marah dan menghindariku, apa itu bisa disebut bertengkar?
"Kemana dia?"
"Ada keperluan katanya." jawab Bunda mewakiliku. Aku juga tidak tahu kemana dia pergi.
"Keperluan apa pagi-pagi begini?"
"Sekretarisnya sakit Yah."
"Sakit? Memang tidak ada orang di rumahnya?" tanya Ayah yang sepertinya mulai curiga.
"Orang tuanya sedang ke luar kota. Kasihan, Yah. Dia kan single parent, kalau dia sakit anaknya tidak ada yang menjaga."
What?!
Apa tadi Bunda bilang?
Sekretarisnya sakit? Sekretarisnya single mother?
Jadi sekretarisnya janda? Dia meninggalkan istrinya, dan sekarang malah mengurus janda? Pagi buta begini?
"Mungkin Elang yang menemani anaknya, orang tuanya baru pulang siang ini. Ayah kan tahu, kalau dia tidak memakai jasa babysitter."
"Iya juga, kasihan anaknya kalau tidak ada yang jaga."
Kasihan? Ini di sini istrinya ditinggal bertahun-tahun. Pulang pergi sesukanya, tidak kasihan? Atas kewajiban apa dia mengurusi janda?
Anak? Cih! Dia meminta anak padaku, dan malah mengurusi anak janda itu? Benar-benar keterlaluan. Awas saja kau! Aku balas!
Aku akan menggodanya, lalu tidak akan kubiarkan dia menyentuhku!
Dasar buaya!
Dasar kadal!
Kenapa Ayah sama Bunda malah terkesan berempati padanya? Sedang aku? Istrinya sendiri, tak pernah ditemani. Hanya dinikahi, lalu ditinggal begitu saja?!
"Hannah? Hannah?"
"Heh? Ya, Bun?"
"Kamu tidak dengar kami bicara?"
"Hehehe." aku memberi senyum sebisaku. Gara-gara buaya itu, aku sampai mengabaikan Ayah Bunda.
"Ya sudah, tidak penting. Habiskan sarapanmu, setelah itu antar Bunda ke supermarket. Kamu tidak ada acarakan?"
"Tidak sih, cuma nanti sore mau main sama Sha. Ada urusan." Tiba - tiba saja aku teringat Sha. Walaupun lebih muda dariku, tapi kurasa Sha lebih berpengalaman. Aku harus menjalankan misiku. Akan kubalas semua perlakuan buaya itu.
----------
-tbc