"Jadi, Mas mau apa?"
"Hmm... Menginap di hotel malam ini denganku!"
Dan selanjutnya, aku hanya bisa meneguk ludahku sendiri. Menginap di hotel? Bersamanya? Otakku seketika memikirkan hal yang tidak-tidak.
"Menginap?" tanyaku memastikan.
"Ya."
"Tidak mau!" tolakku.
"Kalau begitu, ambil handukmu sendiri!" katanya tersenyum jahat. Membuatku ingin menaboknya saat ini juga. Tapi sayang, aku tak punya daya.
"Emm, bagaimana kalau makan malam saja. Di hotel." tawarku lagi.
"Untuk apa ke hotel kalau hanya sekedar makan malam?" tanyanya.
"Untuk apa ke hotel kalau kamar ini juga tak kalah dari kamar hotel?" balasku.
"Oh, jadi kau mau melakukannya di kamar ini? Baik! Aku tidak keberatan. Bukan masalah bagiku."
"Bukan itu maksudku!" Oh sial! Sepertinya aku mendapat lawan yang salah untuk berdebat. "Maksudku, tolong ambilkan handuk untukku." balasku akhirnya.
"Tidak bisa membalasku?" senyum mengejeknya itu, benar-benar membuatku ingin membekap wajahnya dengan bantal. "Sudah aku bilang, aku bukan orang yang murah hati."
"Please!"
"Menginap denganku malam ini, dan kau mendapatkan handukmu. Atau ambil sendiri handukmu."
"Baiklah." Aku menghela nafas. "Bisakah mas pergi sebentar dari kamar ini?" Kalau dia meninggalkan kamar ini, berarti aku bisa mengambil handukku kan?
"Kau mengusirku? Ini kamarku, kalau kau lupa."
"Hhhh... Baiklah, tapi aku mau semua penjelasanmu!"
"Behave, Honey! Kau tak punya pilihan."
Aku memejamkan mataku rapat-rapat. Menghela napas dalam, dan mengatur emosiku. "Baik Mas. Tolong ambilkan saya handuk. Dan, nanti malam kita akan menginap di hotel, tapi Mas harus menjelaskan semuanya kepada saya." kataku pelan dan sangat lembut.
"Good girl. Well, that's not a big deal." aku sedikit lega mendengar jawabannya. Walaupun cukup kesal juga melihat seringainya. "Kau mau apa, Honey? Handuk?"
Aku mengangguk malas.
"Baiklah," dia berjalan dari ranjang dan menghampiri lemari besar di samping kamar. "Ini handuk untuk-mu, Sweety." katanya dengan senyum yang sangat mena-wan. Tapi aku tahu, itu senyum kemenangannya.
Aku menggeram dan hampir berteriak saat membuka lebar handuk yang diberikannya. Bukannya memberikanku yang lebar dan panjang, dia malah memberiku handuk yang hanya mampu menutupi dada dan bokongku. Sangat pendek dan mini. Benar-benar orang itu! Menguji kesabaranku!
"Aaaaakkkh!"
"Hannah! Cepat keluar!" teriaknya. Sekarang aku mulai tahu sifatnya. Dia termasuk orang yang tidak sabaran. Juga, semaunya sendiri.
"Iyaaa!!" balasku berteriak. Kesabaranku sudah di ubun-ubun. Mau lepas rasanya.
Setelah memakai handukku dengan benar dan rapat, aku membalikkan badanku berniat segera mengambil baju ganti. Sampai pada mataku menangkap gaun tidurku yang tersampir di sebelah pintu kamar mandi. Hampir saja aku menjatuhkan tubuhku ke lantai saat aku menyadari betapa bodohnya diriku.
Aaakkkhh... Harusnya aku tadi memakai gaunku, dan berlari cepat keluar kamar mandi mengambil baju ganti. Harusnya aku tidak memerlukan handuk sialan ini! Dan aku tidak perlu berdebat dengannya!
Bodoh Hannah! Bodoh! Bodoh!
"Hannah!"
Akhirnya aku memakai kembali gaun tidurku, dan menyampirkan handuk menutupi bahu dan dadaku. Berlari menuju lemari, dan mengambil ganti yang aku butuhkan dengan cepat.
Ffiuh! Kenapa hidupku begitu rumit! Dan kenapa aku bodoh sekali?! Otakku seakan lumpuh dan tak mau diajak berpikir.
Saat aku membuka pintu, suamiku itu sudah berdiri di depan kamar mandi. Membuatku berjingkat dan hampir berteriak. "Mau apa?" tanyaku.
"Jangan mendekat. Saya mau sholat." kataku, sebelum dia semakin mendekat padaku.
"Sholat?" kedua alisnya bertaut dalam. Kenapa? Apa dia tidak pernah sholat? "Sholat apa hampir jam setengah tujuh begini?" tanyanya lagi.
"Shubuh!" jawabku singkat.
"Matahari sudah bersinar terang di ufuk timur sana, Honey!"
"Biar. Dari pada tidak sama sekali."
"Terserah. Lain kali, bangun lebih pagi. Dan sholat tepat waktu."
"Ya." Bahkan aku tidak yakin, dia menjalankan iba-dahnya atau tidak. Dan dia menasihatiku? Hah! Lucu sekali. Dasar tukang selingkuh!
"Apa kau mulai berani pada suamimu ini?"
"Tidak, tidak. Saya hanya ingin cepat sholat." elakku. "Oh iya, Bunda sudah menunggu di bawah untuk sarapan."
Setelah itu, kuabaikan dia dan aku melanjutkan urusanku dengan Tuhan. Sudahlah ketinggalan sholat, masih diajak berdebat lagi.
-----------
-tbc