"Masih butuh bantuan, Paman?" Aku ingat suara itu, pasti suara Nigel.
"Sayang, masih butuh penjelasan tambahan?" tanyanya. Mereka berdua menatapku, ditambah dengan Salsa di gendongan Mamanya. Sekilas, kulihat seulas senyum di bibir Nigel. Aku langsung mendudukkan tubuhku saat itu juga.
"Sepertinya kalian sudah tidak memerlukanku." Nigel menatap kami berdua bergantian. "Lanjutkan saja apa yang sedang kalian lakukan tadi. Akan lebih baik jika Salsa punya sepupu baru."
Wajahku memerah seketika. Mengingat diamana dan bagaimana posisiku sebelumnya.
"Kalau begitu, aku langsung saja." pamitnya pada kami berdua. "Perlakukan istrimu dengan baik, Lang! Jangan kaku!" lanjutnya memberi wejangan pada Elang.
"Kalau lemas mana bisa masuk?!"
"Elang! Parah kamu!" tangan Nigel memukul lengan Elang gemas. "Sudahlah, aku pergi. Hannah, jaga diri baik-baik. Hati hati sama Elang." katanya lagi.
Tanpa masuk kamar, dia langsung pergi meninggalkan Elang, sepupunya. Mau tidak mau, sekarang aku percaya kalau Nigella itu, sepupu Elang. Juga melihat bagaimana barusan ia bereaksi padaku dan Elang. Tidak mungkin juga sih, selingkuhan bertindak semanis itu.
Ah sudahlah aku jadi sedikit malu. Mengingat kelakuan liarku tadi. Harusnya aku bisa menjaga emosi. Harusnya aku lebih berpikir pisitif. Tapi salahnya juga, tidak memberiku penjelasan sama sekali.
"Bisa kita mulai lagi?" tanyanya kemudian mendekati ranjang. Aku sedikit beringsut kebelakang. Aku takut. Dan aku tahu apa maksudnya.
"Hannah, bisa dimulai?" Haduh, kenapa dia tanya begi-tu sih?
"Sini!" ditepuknya ranjang tepat di sebelahnya, memin-taku untuk duduk di sana. Aku menggeleng.
"Baiklah, kalau kamu ingin aku yang ke sana."
Dia berdiri, lalu dengan perlahan melepas jaket yang digunakannya. Membuatku meneguk ludah sekali lagi. Bukan karena terpana, tapi karena aku takut. Apakah malam ini aku benar-benar menyerahkan diriku padanya? Suamiku? Bolehkah?
Setelah itu, dia melepaskan t-shirt hitamnya. Menyisa-kan celana jeans yang menggantung rendah di pinggulnya. Lagi, aku menelan ludah. Dada telanjangnya membuatku semakin yakin kalau aku tidak akan selamat malam ini.
"Suka?" tanyanya. Dan, aku langsung menggelengkan kepalaku dengan cepat.
"Benarkah? Aku kecewa. Padahal aku sudah rajin berolahraga agar kamu menyukainya." Tuhan! Anggap saja itu hanya rayuan kadalnya, Hannah! Otakku memperingat-kan. "Yah, meskipun tidak sampai ada six pack-nya sih. Setidaknya, perutku tidak buncit kan?"
Dan demi Tuhan, aku baru menyadari kalau kulit suamiku putih sekali. Kontras dengan warna kulitku yang kuning kecoklatan. Ah, aku jadi minder. "Mmau apa?" gugupku. Aku tahu apa yang akan dilakukannya, tapi tetap saja aku masih berusaha defensif pada diriku sendiri. Bagaimanapun juga, dia masih bisa dikatakan orang asing untukku.
"You know what I want to do, Darling!"
Dan tanpa aba-aba, dia menarik kakiku turun. Mendorongku hingga rebah di ranjang lalu menindihku begitu saja. "I want you!" bisiknya di telingaku.
"Sebentar. Sebentar!" tanganku menolak dadanya agar berjarak dengan dadaku.
"Apa lagi?"
"Tidakkan kita perlu melakukan sesuatu, sebelum melakukannya?" tanyaku ragu. Aku harus mengulur ini semua. Hatiku masih terasa mengganjal.
"Apa?"
"Emm... Pengenalan?"
"Kita bisa melakukan itu setelahnya."
Selanjutnya, tanganku yang tadinya berada di dadanya telah berpindah dalam genggamannya. Kedua tangannya mencengkaram erat jemariku, sehingga aku tak bisa menggerakkannya. kemudian, aku merasakan bibirnya mengulum bibirku. Mengambil bibir bawahku, lalu menariknya kuat. Membuatku hanya bisa melenguh protes.
"Mmmhh..." Aku benci mengatakan ini, tapi aku mendesah. Membuat dia melepaskan bibirku untuk sesaat. Sembari mengatur napas, aku kembali meronta. "Wait! Hhh... Sholat. Sholat, kita belum sholat kan?" Cerdas, Hannah! Dia tidak akan menolak untuk sholat kan?
Matanya lekat menatapku seakan bertanya kata apa yang baru saja ku keluarkan. "Kita belum sholat." ulangku. "dan, tidak boleh menundanya." Benarkan? Bagaimana kalau aku mati setelah diperawaninya? Memangnya dia mau menanggung dosaku? Eh, bukannya dosa istri ditanggung suami ya? Waah... Asik dong!
"Kita tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini kan? Kata Pak Ustadz, dilarang menunda sholat. Sho—"
Ceramahku berhenti ketika bibirnya kembali menyer-gap bibirku. Begitu lembut kali ini. Membuatku terlena, dan lupa apa yang baru saja aku katakan. Lidahnya, membelai lembut bibirku. Tangannya memegang kepalaku seakan mengarahkan fokusku hanya pada ciumannya.
"Ya. Kita sholat." katanya melepas bibirku. Ah, padahal aku merasa kehilangan bibirnya. Rasanya ciuman itu masih bisa lebih jauh. Masih bisa lebih dalam.
"Sholat, atau lanjut?" Dia bertanya, yang membuatku tersadar.
Apa baru saja aku menginginkannya?
"Sho-sholat."
Dia turun dari atas tubuhku, menarikku serta, hingga aku terbangun. Lalu tubuh besarnya membawaku ke atas pangkuannya dan memelukku erat. Hangat. Itu yang kurasakan.
"Kamu bawa mukena?" tanyanya diceruk leherku, masih memelukku dengan erat.
"Bawa." jawabku singkat. Entah kenapa, aku terhanyut dalam pelukannya kali ini. Kedua tanganku ikut merarangkul punggungnya. Membuat dada kami ikut menyatu dengan erat.
"Good girl! Kita sholat, sekalian sholat dua raka'at khusus pengantin. Itu kan yang kamu mau?"
Aku mengangguk. Ternyata dia juga tau tentang itu? Tapi, kenapa dari kapan itu dia terkesan terburu-buru untuk menyerangku? Mungkin kalau dari dulu dia berbuat seperti ini, aku kan jadi sedikit tenang. Mungkin pandanganku juga akan berubah padanya.
"Wudhu dulu sana!" pintanya, lalu menurunkanku dari pangkuannya. Aku menurutinya, dan segera beranjak menuju kamar mandi. Mengambil wudhu, untuk kemudian sholat berjamaah dengannya.
....
Kami telah selesai sholat isya'. Kemudian dilanjutkan dengan sholat dua raka'at. Aku tidak menyangka bacaan sholat suamiku itu cukup fasih. Aku rasa, dia cukup tahu tentang agama. Namun, perilakunya selama ini, tidak mencerminkan itu sama sekali. Membuatku lagi-lagi bing-ung dengan tingkahnya.
Setelah menyelesaikan do'anya, dia membalikkan badannya menghadapku. Mengulurkan tangannya yang kemudian aku sambut dan menciumnya. Lalu, tangannya meraih kepalaku, dan menciumnya. Turun menuju kening-ku, kedua pipiku ikutdan terakhir mengecup pelan bibirku.
"Sekarang, kamu benar-benar resmi menjadi istriku, Hannah. Dan aku suamimu!" katanya. Aku mengangguk pelan memberi respon.
"Kamu tanggung jawabku, dosa-dosamu aku juga yang ikut menanggungnya. Mulai sekarang kita harus bekerja sama untuk membangun rumah tangga kita. Kalau kamu ada masalah ceritakan padaku. Apapun itu, bicarakan denganku. Karena kamu tidak hidup sendiri lagi. Ada aku, suamimu. Mengerti?"
Aku mengangguk. Sebenarnya, telingaku agak geli mendengar nasihatnya itu. Ini pertama kalinya aku mende-ngar dia berbicara tentang status kami. Status pernikahan. Entahlah, aku memang sedikit susah untuk diajak berbicara serius. Apalagi dalam suasana yang sangat hening seperti ini.
"Ya sudalah, nasihatnya dilanjutkan kapan-kapan saja." Jangan-jangan dia tahu isi pikiranku, makanya menghen-tikan wejangannya itu?
"Ada hal lain yang lebih mendesak. Dan, harus segera kita lakukan. Aku sudah tidak tahan." katanya.
Setelahnya, dia menarikku mendekat. Melepas muke-naku dengan perlahan, lalu mencium bibirku dalam. Dengan lembut dia mengulum bibirku, bibir bawah bergantian dengan yang atas. Lidahnya berusaha membuka mulutku. Dan, akibat kelembutannya membuat bibirku dengan mudah terbuka menyambutnya.
Seketika lidahnya mengajakku untuk menari. Menarik, mendorong, dan seringkali membelitnya. Membuatku kesusahan untuk mengatur napas. Fokusku terbelah-belah. Antara bernapas, lidahnya, juga sentuhan tangannya yang mulai merayapi tubuhku.
Saat napasku benar-benar hampir habis, dia melepas-kannya. Perlahan, oksigen mulai kembali memasuki ke-rongkonganku. Dadaku naik turun mencoba menstabilkan napas. "Mhhahh... Hhh..."
"Tidak ada alasan lagi kali ini." katanya. Lalu, kurasakan tubuhku melayang kemudian menyentuh lembutnya ranjang.
Aku memejamkan mata saat mendengar dia mem-bi-sikkan sebuah doa di telingaku. Aku tahu doa apa itu, dan sekarang aku sudah cukup siap untuk melakukannya.
"Tenanglah, aku akan melakukannya dengan lembut." Aku mengangguk, memejamkan mata sementara suamiku itu mulai menjalankan aksinya.