Aku merasa tidurku nyenyak sekali. Aku merasakan kehangatan dan sebuah perlindungan. Lalu, tiba – tiba saja, sesuatu yang melindungiku itu hilang. Membuatku seketika didatangi oleh sebuah mimpi buruk. Mimpi yang membuatku berlari-larian tanpa arah. Membuat keringatku mengu-cur, dan akhirnya aku terbangun.
Nafasku tersengal-sengal saat aku bangun. Tulang-tulangku terasa rontok dan sedikit kram. Begitu aku sadar, aku langsung mengalihkan pandanganku ke sebelah. Dan benar saja, tidak ada siapa pun di kamar ini.
Lagi, aku terbangun sendirian. Aku kecewa dan sedikit marah. Dia meninggalkanku lagi? Kulirik jam kecil di atas nakas. Masih jam 5.46 pagi. Mungkinkah dia belum pergi? Mungkin dia masih di bawah kan? Atau Mungkin saja dia masih beramah tamah dengan kakaknya.
Mengetahui kemungkinan itu, aku segera bangun dan berlari ke bawah. Ah, harusnya semalam aku menyembunyikan kunci mobilnya. Atau mengempesi seluruh ban mobilnya sekalian.
Kulihat, Bunda dan Mbak Mirna sedang sibuk di dapur tanpa Ayah di sana. Mungkin beliau sedang berkebun atau sudah keluar untuk berolah raga pagi. Kebiasaannya selama ini.
"Bun-Bunda!" panggilku sedikit tersengal.
"Kamu kenapa, Sayang? Ada apa?" tanya Bunda kebi-ngungan melihat aksiku.
"Emm... Anu. Em... Mas Elang dimana? Sudah berang-kat? Mobilnya masih ada?" tanyaku serba salah dan mungkin terlihat tidak tenang. Membuat pertanyaanku menjadi random tidak jelas.
"Elang? Suamimu?" tanya Bunda. Aku mengangguk-angguk cepat.
"Bunda belum lihat tuh. Coba kamu cek mobilnya?" Ah, benar dugaanku. Semoga saja dia belum pergi.
"Hannah!"
Langkahku terhenti saat Bunda memanggilku. "Ya, Bun?"
"Kamu sudah cek di kamar kalian?"
Aku mengangguk.
"Handphone sama tas nya ada?"
Aku menggeleng. Pelan. Bukannya tidak ada, tapi aku tidak tahu.
"Kamu sudah cek kamar mandi?"
Lagi, aku menggelang.
"Jadi, kamu langsung panik dan berlari kesini?"
Kali ini aku mengangguk.
Bunda tersenyum dan menggelengakan kepalanya. "Ya sudah, sana! Cek dulu di kamar. Barangkali masih ada."
Aku mengangguk dan memutar tubuhku. Lalu, kembali berlari menaiki tangga menuju kamarku.
Kulihat keadaan kamar, tasnya masih ada. Tapi, ponselnya tidak terlihat dalam jangkauanku. Hal itu membuatku semakin panik. Harusnya tadi aku mengabaikan saran Bunda, dan segera memeriksa mobilnya. Mungkin saat itu, mobilnya masih di halaman, atau baru keluar dari gerbang.
Dengan panik, aku segera membuka pintu kamar mandi yang terlihat senyap. Pintu ini harapan terakhirku, meski aku sudah pesimis menemukannya di sana.
Saat kuputar kenopnya, ternyata tidak terkunci. Bahuku semakin meluruh. Dia pasti tidak ada di sana. Pelan, kudorong pintu itu. Dan apa yang ada di dalamnya, mem-buat otakku mati seketika.
Dua detik aku terdiam. Napasku terhenti, dan pupil mataku membesar setelahnya. "Aaaaaaaakkk!"
Detik berikutnya aku segera membalikkan tubuhku dan berlari meninggalkan kamar.
----------
-tbc