"Kamu jemput Elang ya Sayang."
"Siapa Bun?" tanyaku memastikan. Elang. Rasanya aneh menyebut namanya. Nama pria yang lima tahun lalu menikahiku. Nama pria yang lima tahun lalu meninggalkanku tanpa kejelasan. Nama pria yang semakin asing di telingaku.
"Elang Sayang, suamimu?"
Su-a-mi? Entahlah, suami macam apa dia. Bahkan aku tak mengingat wajahnya. Sudah berubah atau masih sama setelah lima tahun, aku tak akan mengetahuinya.
"Sekarang?"
"Iya."
Tuhan, saat ini aku berdiri di depan pintu utama rumah Ayah dan Bunda. Bahkan aku belum sempat masuk atau mendaratkan pantatku ke sofa. Tapi, Bunda langsung men-cegatku dan memberi perintahnya.
"Sekarang?" tanyaku lagi. Kulihat jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 00.23 WIB. Tengah malam dan aku harus menjemputnya? Apa dia tidak bisa pulang sendiri? Apa dia lupa rumahnya? Hell, dia kan lelaki.
"Iya Hannah, kamu jemput suamimu sekarang di bandara. Biar diantarkan Pak Sholikin."
"Tapi Bun,"
"Sudah cepat sana! Takutnya Elang menunggu. Bisa marah dia nanti." Memang dasarnya dia pemarah. Tidak sopan. Kejam. Kasar!
"Sudah sana! Tidak usah ganti baju. Langsung saja, Pak Shol sudah menunggu di mobil."
Pukul 01.24 aku dan Pak Shol sampai di bandar udara. Jalanan telah lengang memasuki dini hari seperti ini, menghindarkan kami dari kemacetan. Aku segera menuju tempat yang telah diinstruksikan oleh Bunda. Menunggu Elang, suamiku yang menghilang lima tahun lalu.
Berdiri sendirian, aku sedikit bingung. Aku tak lagi mengingat rupa wajahnya. Apa lagi, lima tahun telah berla-lu. Sangat memungkinkan jika wajahnya mengalami perubahan.
Alhasil, seperti orang bodoh, aku menulis namanya besar-besar di selembar kertas sketchbook yang selalu tersimpan di tasku. Mau meminta fotonya dari Bunda, aku sungkan. Apa kata orang kalau aku lupa dengan wajah suamiku sendiri? Entah ditertawakan atau malah dapat kultum nantinya.
Ya sudahlah, aku pasrah saja. Seharusnya, dua menit lagi pesawatnya sudah landing. Tapi mungkin 15 menit lagi baru bisa keluar bandara. Scurity check, baggage claim, dan bla bla bla.
Dini hari, di bandara, dan menunggu sendirian tentu saja membuat kantukku cepat datang. Bahkan, orang-orang di sekitarku sudah merebahkan diri mereka di kursi tunggu. Menjarah tiga atau empat kursi untuk diri mereka sendiri. Mengabaikan orang lain yang tak kebagian tempat duduk. Benar-benar egois.
Akhirnya kantuk mengusai diriku, aku melupakan kalau seharusnya aku berdiri di depan pintu kedatangan dan mengangkat kertas yang bertuliskan namanya tinggi-tinggi. Tidak seharusnya aku memejamkan mata dan masuk ke alam mimpi. Sampai aku merasakan sebuah tendangan di tulang keringku, dan membuyarkan semua mimpi absurd-ku.
Aku mendongak, sesosok tinggi, besar berdiri di depanku. "Ya?" tanyaku kesal. Tidak punya etika orang ini. Untung cakep. Kalau tidak, sudah aku tendang balik.
"Ayo!"
"Kemana?"
"Pulanglah!"
"Maaf?"
"Ck! Ayo pulang!"
"Siapa ya?" Ah, akhirnya keluar juga pertanyaan ini. Harusnya aku menanyakan ini sejak tadi. Akibat bangun tidur, kecerdasanku menurun sepuluh persen.
"Kau tidak mengenaliku?"
"Jangan bilang kalau..."
"Iya! Ayo cepat. Bawakan kopernya!"
Lalu, orang itu berjalan meninggalkanku. Meninggal-kan juga kopernya yang sangat besar. Lagi, meninggalkan-ku dalam kebingungan dan keterkejutan.
Sambil menyeret kopernya yang lumayan berat juga ternyata. Ah, dimana manner laki-laki ini. Masa perempuan disuruh bawa yang berat-berat, istrinya pula. Aku mengamatinya dari belakang. Tubuhnya tinggi, lebih dari 180 cm sepertinya. Memakai kemeja putih yang sudah tampak lusuh. Well, aku tidak heran mengingat dari mana kedatangannya.
Dia memiliki rambut hitam yang pendek, dan lurus menantang dunia. Harus kuakui indah sekali rambut miliknya itu. Terlihat lembut dan kuat. Aku jadi sedikit minder dengan rambutku sendiri. Sedikit kusam dan keriting. Aku ingat, dua hari yang lalu terakhir aku mengeramasi rambutku. Biarlah, asal tidak ada kutu dan ketombe, semuanya akan baik-baik saja. Kuambil ujung rambutku dan membauinya. Untunglah, masih wangi. Aku percaya dengan produk shampoo yang kupakai. Tak mengecewakan. Sudah diputuskan, besok aku harus hair spa ke salon.
"Cepat jalannya."
Terlalu fokus mengamatinya, membuat jalanku melambat dan berjarak dengannya. Oh, pertemuan macam apa ini. Apa memang seharusnya seperti ini pertemuan sepasang suami istri yang lima tahun tak pernah bertemu? Jangan berharap adanya pelukan. Tak ada sambutan, tak ada sapaan, tak ada ramah tamah. Ah, bahkan seingatku aku belum pernah berkenalan dengannya.
"Berat." Entah kenapa, suaraku berubah manja seperti ini. Padahal aku tak mengenalnya, tak pernah bicara de-ngannya. Dan, aku tak pernah bermanja ria selain kepada Papaku.
Dia memandangku sebentar, lalu mendekat padaku. Ditariknya koper di tangan kananku diikuti tangan kirinya yang menarik tangan kananku. "Ayo."
----------
-tbc