Entah waktu berlalu begitu cepat atau apa, sekarang aku telah duduk di kelas 12. Berarti, sudah hampir setahun aku tinggal bersama Ayah Bundaku yang baru. Mereka tetap bersikap baik padaku. Semakin baik malah. Dan, aku sudah tidak sungkan lagi pada mereka. Mereka keluargaku sekarang.
Selama itu pula, dia tak pernah menampakkan sosok-nya. Menelpon pun tidak. Aku tidak tahu sama sekali bagai-mana kabarnya.
Bukannya aku mengharapkan panggilan, atau bertemu dengannya, hanya saja statusku ini sedikit mengganggu. Aku tidak bisa lagi bebas bergaul, tapi aku juga tidak men-dapat kejelasan status selain dari buku nikah.
Sekitar enam bulan lalu, Bunda memberiku sebuah buku tabungan. Bunda bilang itu hadiah dari Elang. Uang untuk jajanku dan kebutuhanku sehar-hari. Hanya itu. Tak ada hal lain lagi menyangkut dirinya. Yang aku tahu, setiap bulan tabunganku itu memang bertambah dengan jumlah yang cukup besar.
Benar kata Luna, Sandi memang menyukaiku. Be-be-rapa bulan lalu, ia menyatakan perasaannya padaku. Aku dilema. Ya, aku juga menyukainya, aku merasa nyaman berada di dekatnya. Tak ada alasan kuat untuk tidak menyu-kai Sandi. Pemuda itu begitu sempurna. Jangan tanyakan lagi fisiknya, jelas aku memberinya nilai 92 dari skala 100.
Dia sangat baik, bukan hanya kepadaku, tapi juga pada teman lainnya. Ramah, sopan, dan lembut. Jangan juga meragukan ketuhanannya. Setahuku, sholatnya tak pernah bolong. Rajin berjamaah juga. Yang jelas, dia adalah lelaki yang mendekati sempurna. Dan lelaki itu memilihku untuk memiliki hatinya.
Ini benar-benar cobaan. Aku tidak mungkin meneri-manya karena aku yang sudah bersuami. Tapi aku juga sulit untuk menolaknya mengingat betapa baik dan sempurna-nya dia. Hatiku juga terkadang bergetar akibat ulahnya.
Aku tahu ini salah. Memiliki perasaan kepada lelaki lain sedang aku telah bersuami. Tapi coba pikirkan lagi, dia hanya mengucap akad nikah di depanku, dan dua kali bertemu. Cukup. Itu saja. Tidak pernah ada kabar darinya, tidak tahu apakah dia menganggapku istri atau tidak. Dia juga tidak pernah membuat aku untuk memupuk perasaan padanya. Aku bingung. Apa semua ini salahku?
"Jadi kamu belum menjawabnya? Sampai sekarang?" Luna menatapku serius. Ada nada sedikit mengejek dari suaranya.
Aku menggeleng pasrah.
"Kenapa? Jangan gantungin dia Han, kasihan. Kasih dia kejelasan."
Aku semakin pusing. Tidak ada yang tahu aku sudah menikah selain keluarga Elang. Tak satu pun temanku tahu. Terkadang aku bingung sendiri jika terjadi masalah seperti ini. Harus kepada siapa aku bercerita?
"Sudah 3 bulan lho."
Aku terlalu sayang untuk membiarkan Sandi pergi begitu saja. Apa aku terdengar egois?
"Aku bingung Lun."
"Bingung apa lagi? Kamu suka dia?"
Aku mengangguk pelan.
"Ya udah terima aja!"
"Tapi aku tidak bisa Lun, tidak semudah itu."
"Kenapa lagi??" Luna menggeram tak sabar dengan jawabanku. Aku hanya menggeleng pasrah, aku tidak mungkin menceritakannya pada Luna.
"Jangan buat dirimu jahat dengan menggan-tungnya, Han."
"Iya, aku tahu. Aku tidak akan menerimanya." kataku akhirnya.
Luna menghembuskan nafas berat. "Kenapa Hannah? Kamu menyukainya, kenapa ditolak?"
"Karena aku tidak bisa menerimanya."
"Iya, tapi karena apa??"
"Maaf, aku tidak bisa menjelaskannya."
Baiklah, aku putuskan untuk menolak Sandi yang sempurna itu. Bagaimanapun, aku harus menghormati pernikahanku sendiri. Bukan demi dirinya, tapi demi Papa, Ayah, dan Bunda. Mereka terlalu berharga untuk aku khianati.
"Hai Han!"
Orang yang sedang kami bicarakan datang, dengan senyumnya yang mengembang. Mumbuat suasana suram menjadi cerah seketika. "Hai Luna!" disapanya juga luna.
Sandi mendudukkan dirinya di sebelahku. "Pulang bareng?" tawarnya seperti biasa. Sekarang, hampir setiap hari aku pulang bersamanya. Jika berangkat aku dengan Ayah, maka kalau pulang aku dengan Sandi. Kecuali jika Ayah secara khusus ingin menjemputku.
"Why not?"
"Baiklah ladies, nikmati makan siang kalian. Aku balik kelas dulu." pamitnya tak ketinggalan dengan mengacak poni pendekku.
"Why not? Katanya mau nolak, kenapa kamu kasih dia harapan?" Luna mulai protesnya saat punggung Sandi sudah tak terlihat.
"Apa salahnya seorang teman mengantar temannya yang lain? Lagi pula, bagaimana aku bisa menolaknya jika tidak bicara berdua dengannya?"
.....
"Jadi, bagaimana? Apa aku masih harus menunggu lagi?"
Tepat satu bulan lalu, lelaki di depanku ini menanyakan hal yang sama. Di tempat yang sama pulan. "San..."
"Baiklah-baiklah, aku akan setia menunggumu. Kamu tidak perlu terburu-buru. Ambil waktu sebanyak yang kamu mau." Sandi tersenyum, berbalik dan menuju motornya yang terparkir lebih jauh.
"San," kutahan lengannya sebelum Sandi pergi. Membuatnya berbalik dan kembali menatapku. "Maaf."
"Kenapa Han?"
"Maaf. Maafkan aku. Aku tidak bisa. Kita berteman saja ya?" Aku menunduk, tak berani dan tak tega melihat wajah sedihnya. Aku bisa luluh lagi jika melihatnya.
Diangkatnya daguku, mendongak menatapnya. "Apa aku kurang baik? Aku pikir, kamu juga suka padaku Han."
"Ma-maaf." Mataku sudah memanas, bahkan bibirku bergetar mengucap maaf untuknya.
Ditariknya tubuhku ke dalam dekapannya, "Sstt… its oke, aku akan menunggumu."
"Jangan menungguku, San. Aku tidak bisa, maaf."
"Kenapa?"
"Jangan tanya kenapa, karena aku juga tidak bisa menjelaskannya."
"Tapi..."
"Kumohon Sandi, maaf."
"Tapi kita bisa tetap seperti ini kan?"
Dalam dekapannya, aku mengangguk. Aku merasa bersalah. Pada Sandi, juga pada diriku sendiri. Dilema.
"Ya, kita berteman." Tidak lebih. Lenjutku dalam hati.
"Aku masuk dulu. Bye Sandi." Kulepas pelukan hangat Sandi, meninggalkannya sendirian di depan rumah kakak iparku.
Maafkan aku San, kurasa ini yang terbaik untuk kita. Aku terlarang untukmu. Aku telah terikat. Oleh ikatan yang tidak bisa aku permainkan. Meskipun aku sendiri tidak tahu bagaimana kelanjutan kisah hidupku nanti. Dengan suami yang tidak aku kenal, dengan suami yang meninggalkanku, dengan suami kejam yang terlihat membenciku. Aku tidak tahu.
Aku hanya berharap, semoga kesungguhanku ini membuahkan setitik kebahagiaan untukku. Semoga niat baikku menghormati pernikahan ini berbuah manis yang dapat aku petik.
Tolong aku Tuhan, tolonglah hambamu yang lemah ini.
.....