Genap dua bulan aku tinggal di rumah Kakak Iparku. Kakak Ipar yang terlalu tua untuk aku panggil Kakak. Baru aku tahu, Usianya sudah 36 tahun. Selisih usia yang cukup untuk menjadikannya seperti ibuku. Belum lagi usia suami-nya yang sudah mencapai kepala empat. 41 tahun. Rasanya sangat tidak mungkin aku memanggil mereka dengan sebu-tan Kakak.
Maka dari itu, mulai Minggu lalu aku memaksa untuk memanggil mereka dengan Om dan Tante. Tapi, mereka malah memintaku untuk memanggilnya Ayah dan Bunda.
Satu hal lagi, sampai saat ini, mereka belum dikaruniai seorang anak. Kak Arunda, maksudku Bunda terlihat sangat sedih saat menceritakannya. Aku juga turut sedih mende-ngarnya. Jadi, tanpa diminta dua kali aku menyutujuinya.
Sudah tiga Minggu pula aku sekolah di tempat yang baru. Mereka memintaku untuk pindah ke sini, karena lebih dekat. Di sekolahku yang lama terlalu jauh dari rumah Ayah dan Bunda. Kata mereka, aku tidak ada yang menjaga jika tetap sekolah di sana.
Sebenarnya aku malas jika berpindah sekolah. Aku harus menyesuaikan semuanya dari awal. Mulai dari lingku-ngan, pelajaran, teman dan guru-gurunya. Tapi aku juga sedang malas berpikir atau berdebat, jadi aku menurut saja apa kata mereka.
Mereka memperlakukanku sangat baik. Terutama Ayah, meskipun jarang di rumah tapi beliau sangat senang dengan kehadiranku. Kalau sedang di rumah, maka Ayah sendiri yang akan mengantarkanku sekolah.
Perlakuan mereka berdua sedikit demi sedikit membuatku lupa dengan duka yang sedang aku alami. Aku mulai menjalani hidupku dengan normal kembali. Makan teratur, tidur tepat waktu, belajar, sekolah, dan bersosialisasi. Meskipun teman baruku saat ini masih beberapa dan tidak terlalu dekat.
Selama aku tinggal di sini, tak pernah aku melihat wajahnya. Jangankan melihat, kabarnya saja aku tak pernah dengar. Terkadang aku lupa jika aku telah menikah. Status baruku ini sama sekali tak berasa, tak merubah hidupku sama sekali. Aku bersyukur akan hal ini.
Ayah maupun Bunda juga tak pernah menyebut namanya lagi. Aku tak tahu apakah dia masih hidup atau sudah tiada. Tapi syukurlah, setidaknya aku tak akan men-dengar paksaan atau bentakannya.
Beberapa kali Ayah dan Ibu mertuaku datang men-je-ngukku. Mereka juga seakan bungkam. Tak memberitahu-ku apapun. Awalnya aku sedikit bingung. Tapi lama-kelamaan aku tak perduli lagi.
Ya sudahlah, aku malah senang dia tidak kembali. Hidupku akan kembali tentram rasanya. Tak ada masalah jika dia pergi selamanya. Ingatan terakhirku tentangnya juga tidak bisa dibilang baik. Dia yang kasar, kejam, juga tidak sopan.
"Hei! Pagi-pagi jangan melamun! Kesambet tau rasa!"
Seorang gadis gembul menepuk bahuku dengan keras. Bukan hanya kaget yang aku dapatkan, tapi juga bonus rasa panas di bahuku. "Sakit tahu! Jangan lupakan kalau tangan-mu itu besar. Tulangku bisa saja rontok."
"Ck. Ngelamun apa sih pagi-pagi? Gak ada PR kan ya?"
"Kenapa kalau ada? Mau pinjam?"
"Iya dong! Sama siapa lagi aku pinjam kalau bukan sama kamu."
"Dasar!"
"Jadi, kenapa?"
Gadis gembul ini sekitar 16 tahun yang lalu diberi nama Luna oleh orang tuanya. Bukan Luna Maya, tapi Luna Ahmad. Bukan istrinya Ahmad Dhani, tapi anaknya Pak Ahmad. Entah Ahmad siapa bapaknya itu. Anaknya baik sekali, mudah bergaul tapi cerewetnya minta ampun. Dan dia lebih curious dari si monyet George sahabat pria bertopi kuning.
"Nggak Papa. Hanya menikmati angin."
"Nggak usah sok mellow deh!"
"Siapa yang mellow sih?"
"Ya kamu. Kenapa nggak sekalian aja bilang lagi menikmati gerimis."
"Ya emang lagi nggak ada gerimis Luna Mayaa."
"Makanya cerita dong."
"Cerita apa? Udah ah! Masuk yuk, bentar lagi bel nih."
Sebelum didesak semakin jauh, aku memutuskan untuk mengakhirinya. Meninggalkan Luna dan masuk ke kelas yang sudah mulai penuh. Jam istirahat hampir usai, dan anak-anak sudah banyak yang kembali ke alamnya masing-masing.
"Han! Kok aku ditinggal sih?!" Luna protes berteriak, tubuhnya yang besar sedikit kesusahan untuk berdiri. Karena memang tadi kami duduk di lantai.
Kuabaikan Luna dan masuk kelas. Semoga tidak ada jam kosong setelah ini. Jam-jam seperti ini sekarang sangat rawan bagiku. Rawan membuatku memikirkan apa yang terjadi di hidupku. Kalau dipikir lagi, lucu juga ya hidupku.
Hampir sebatang kara di usia 16, namun karena sesaat sebe-lumnya aku dinikahkan, tidak jadi deh. Kalau begitu, bahasanya adalah hidup dengan orang asing di usia itu. Mes-kipun Alhamdulillah, sekarang aku bisa menerima mereka semua. Mereka begitu hangat padaku. Yah, kecuali seorang yang satu itu.
Ah sudahlah, aku lelah mendramatisir. Biarkan saja me-ngalir apa adanya. Ikuti saja takdir yang telah digariskan. Aku percaya Tuhan punya rencana terbaik untukku.
"Tega kamu!"
"Kenapa sih Luna Sayaaang?"
"Ya masa aku ditinggal sendirian! Bantuin berdiri kek!"
"Ya Allah, kamu cuma di depan kelas Luna. Makanya, diet Lun. Olah raga! Hati-hati loh kena obesitas, terus stoker!"
"Ih jahat! Amit-amit! Teman sendiri didoain obesitas."
"Bukan ngedoain, cuma kasih saran aja! Orang gemuk itu rawan kena penyakit dalam."
"Ngeri ah! Lagian aku ini bukan gemuk, tapi berisi!"
"Oke, apa kata kamu aja deh." Iya-in aja deh, dari pada makin panjang urusannya. Biar cepet kelar.
"Sst... Sandi nyariin tuh! Kayaknya dia suka deh sama kamu."
"Jangan ngaco deh. Gak usah nyebar gosip."
Kulihat Sandi sudah berdiri di depan mejaku. Sandi ini anak kelas sebelah. Aku bertemu dengannya saat hari pertama aku masuk sekolah. Saat itu, kebetulan dia ada urusan di BP. Lalu berakhir dengan ia yang ditugaskan mengantarkanku keliling melihat isi SMA baruku.
"Han." sapanya, memberiku senyuman manis.
Sandi sangat baik padaku. Aku bersyukur. Hari pertama dan disambut dengan ramah olehnya. Perawakannya kurus tinggi, kulitnya putih, hidungnya sangat mancung. Hampir saja aku tak percaya melihat hidung mancungnya itu. Terkadang, di atasnya bertengger sebuah kaca mata. Hanya saat Sandi membaca atau berhadapan dengan komputer. Oh, jangan lupakan gigi berkawatnya, yang anehnya membuat senyumnya semakin menawan.
"Hai San, ada apa?" balasku tak kalah ramah. Masih duduk di tempat, sedang Sandi duduk di bangku kosong depanku dengan membalik badan.
"Ck. Cuma Hannah aja yang di sapa? Aku enggak?" Luna di sebelahku buka suara. Wajahnya sudah mencebik lucu.
"Eh, ada Luna. Kamu kurusan ya? Sampai aku gak lihat kamu di situ."
Luna menepis kasar tangan Sandi yang menoel pipi montoknya. "Ha ha ha ha. Lucu banget San."
"Yah, ngambek."
"Udah ah, aku pergi aja. Kalian pacaran aja terus!"
"Kenapa?" tanyaku lagi. Menghiraukan Luna yang benar-benar pergi.
"Oh iya. Nanti pulang bareng yuk. Sekalian kita belajar bareng buat UAS."
"Hmm... Boleh, tapi di rumahku saja ya?"
Aku tidak mau terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Aku sudah bersuami sekarang, mau tak mau aku harus berhati-hati dalam bergaul dengan makhluk berjenis kelamin laki-laki.
Yaah, meskipun aku tidak tahu siapa dan dimana suami itu. Tapi aku tahu, aku harus berusaha menjaga hatiku. Untuknya yang bahkan mungkin tak pernah memperdu-likanku.
"Oke, nanti aku tunggu di depan kelasmu. Aku balik dulu ya."
"Hmm... Hati-hati."
"Bye Hannah." bibirnya kembali mengukir senyum indah. Tak lupa tangannya mengelus kepalaku pelan.
Dadaku berdesir halus, bibirku tersenyum getir meng-antar kepergiannya.
.....