Keesokan harinya, seperti biasa Nabila diantar oleh Leo menuju kampus. "Semangat Nabila." Gadis itu tersenyum kemudian mengangguk tegas. Dia pun keluar dan langsung menuju ruangan MAPALA di mana Marco bersama beberapa temannya yang lain tengah berkumpul.
Kedatangan Nabila menjadi pusat perhatian mereka tak terkecuali Marco. "Hai Marco, aku ingin memberikan fomulir pendaftaran ini aku--"
"Berapa kali aku mengatakannya Nabila! Aku tak mau kau ikut kegiatan. Ingatlah kondisimu!" Nabila terdiam. Sorot matanya menunjukkan kesedihan.
"Jadi kamu tak mau aku menyusahkanmu?"
"Bukan Nabila, aku hanya ingin kau memperhatikan keadaanmu. Aku sungguh tak bermaksud untuk melarangmu dengan keras untuk mengikuti kegiatan alam kami." Beberapa saat hening. Tidak ada suara sampai Nabila bersungut-sungut.
"Nabila apa kau menangis?" Buru-buru Nabila menggeleng.
"Tidak, maaf telah mengganggu waktunya." Dia pun pergi meninggalkan mereka. Marco lalu memandang tajam ke segala arah. "Jawab yang jujur siapa yang memberikan Nabila fomulir persetujuan?!" Suara Marco yang nyaring menggema di seluruh ruangan sehingga tak ada satu pun yang membuka suara.
"Aku." ucap Andre sambil mendekati Marco. Beda dengan Marco yang garang, Andre terlihat sangat tenang. Andre lalu dibawa oleh Marco ke tempat yang aman untuk berbicara. "Kenapa kau memberikan fomulir itu padanya?! Lihat kondisinya aku tak ingin terjadi apa-apa pada dia!"
"Ya, aku tahu semua itu tapi aku lebih kasihan lagi kalau dia selalu seperti itu. Semenjak dia masuk ke kampus, Nabila selalu datang meminta izin untuk ikut kegiatan atau masuk ekstrakulikuler tapi selalu ditolak entah itu orang tuanya atau kau. Bisakah kau mengizinkannya sekali ini saja?"
"Tapi Andre---"
"Aku juga melakukan ini untukmu, supaya kau bisa punya waktu berduaan dan akhirnya bisa dekat dengan Nabila. Apa kau tak mau kalau Nabila terus dekat denganmu?"
"Tidak, aku ingin sekali menghabiskan waktu bersama Nabila."
"Lalu kenapa kau menolaknya? Sekarang orang tua Nabila mengizinkan Nabila untuk ikut kegiatan masa kamu tak suka?"
"Karena rasa sayangku padanya besar dan aku tak mau terjadi apa-apa pada Nabila." Andre membuang napas kasar lalu menepuk pundak Marco.
"Pikirkanlah baik-baik sekali lagi dan aku harap kau mendapat jawaban yang benar." Marco yang frustasi ditinggalkan oleh Andre agar dia berpikir baik-baik tentang keputusan yang dia ambil namun sampai sepulang kampus otak Marco seakan buntut dan tak bisa mendapat jalan keluar, alhasil dia menghampiri teman-temannya sekali lagi agar membahasa kegiatan mereka yang akan dilaksanakan minggu depan.
Wajah muram terus ditampakkan oleh Nabila sampai jam selesai. Dia lalu keluar dari gerbang kampus dengan langkah yang pelan. "Nabila," Suara Leo membuat gadis itu mendongak menatap pada suami yang keluar dari mobil.
Dengan topeng yang selalu dia pakai, Leo menghampiri Nabila. "Kenapa lemas begitu? Apa ada masalah?" Tak mau kalau Leo khawatir, Nabila menggeleng dan memberikan senyuman paksa.
"Aku tak apa-apa kok. Kamu kenapa ada di sini? Bukannya sedang sibuk kerja?"
"Pekerjaanku sudah selesai dan punya waktu untuk menjemputmu. Bagaimana dengan kegiatannya? Apa kau sudah memberikan fomulir pada temanmu ... siapa namanya ah Marco."
"Tidak ... jangankan menerima melihatnya pun dia tak melakukannya."
"Apa maksudmu? Kau tak diizinkan." Nabila mengangguk. Senyumannya pun menjadi hambar.
"Bukankah kau bilang dia temanmu? Tapi kenapa dia menolak? Aku sudah memberikanmu izin."
"Cacatku ... dia tak ingin terjadi sesuatu padaku." Leo mendengus.
"Ini tak adil. Kau harus mendapat apa yang kau inginkan." Leo lalu mengambil tangan Nabila dan menariknya untuk masuk lagi ke kampus.
"Le-Leo kau mau membawaku ke mana?"
"Ke MAPALA." jawab Leo singkat.
"Untuk apa?"
"Membuat temanmu itu memberikan izin."
"Tidak usah Leo, aku tak apa-apa. Aku juga seharusnya tak memaksa dia untuk masuk ke kegiatan alam." Leo tak berbicara. Entah karena itu tak mendengar atau pura-pura tak dengar.
Langkah Leo yang lebar sempat tak bisa diimbangi tapi karena Nabila mengatakan hal tersebut akhirnya Leo memelankan gerakan kakinya. Para mahasiswa tampak kaget melihat Nabila digandeng oleh seorang pria misterius memakai topeng.
Tentu saja Nabila langsung menjadi gunjingan orang. "Siapa sih pria itu? Kok dia tarik tangan Nabila, bikin iri saja!"
"Iya, aku heran kenapa ya pria yang tampan macam dia suka sama Nabila yang jelek?"
"Aku suka sama cowok itu, dia tampan tapi misterius karena pakai topeng!" Baik Leo dan Nabila tak memusingkan omongan dari mereka. Leo lebih terpusat pada ruangan MAPALA.
Tiba di sana, mereka menemukan Marco sedang berbicara pada semua anggota MAPALA. "Permisi," perkataan Leo sukses menyita perhatian orang-orang. Sama seperti mahasiswa lain, semuanya termasuk Marco dan Andre heran dengan kedatangan Leo yang menurut mereka pria asing.
"Apa kau Marco?"
"Iya saya sendiri. Ada apa?"
"Kenapa kau tak mengizinkan istriku untuk mengikuti kegiatan kalian?"
"Istri? Siapa nama istri anda?" Leo lantas menarik tangan Nabila untuk mendekat dan membuatnya tertarik ke samping. Nabila memberikan senyuman sungkan pada semua orang yang terkejut.
"Nabila kau ...."
"Ya, dia istriku dan aku suaminya, Leo DeMonte." Makin kagetlah semua orang mendengar identitas Leo.
"Le-Leo DeMonte?! Bukankah itu nama CEO DeMonte Coporation?"
"Jadi selama ini Nabila itu istri seorang CEO?! Hebat sekali!" Bukan hanya orang-orang Marco juga terperangah mendengar kabar tersebut.
"Kau sudah menikah?" Nabila dengan menunduk.
"Kapan? Kenapa kau tak mengatakannya?" Ada nada marah dari suara Marco.