"Aku ...." Nabila tak tahu harus menjelaskannya dari mana apalagi tatapan Marco yang sekarang tampak sangat marah. Leo sadar akan hal itu dan membuat Nabila bersembunyi di belakang.
"Jangan memarahi Nabila ... keluarga kami yang menginginkan agar pernikahan kami dipercepat dan hanya mengundang beberapa orang terdekat saja sebab itu aku meminta maaf karena tak mengundangmu di acara pernikahan kami." Hati Marco hancur berkeping-keping.
Tapi dia tak bisa terlihat lemah di depan orang banyak maka Marco tetap memasang muka datar. "Kau tahu dengan kondisi Nabila?"
"Ya, aku tahu."
"Lalu kenapa kau memaksaku untuk mengizinkan Nabila untuk ikut kegiatan. Apa kau tak merasa khawatir jika terjadi sesuatu menimpanya suatu saat?"
"Pastinya aku takut ... tapi dia adalah orang paling berani yang pernah aku kenal. Dia juga adalah orang yang paling bisa bersabar menghadapiku, karena itulah aku yakin dia bisa pergi bersama kalian." Nabila yang bersembunyi di balik punggung Leo tersenyum penuh arti beda halnya dengan Marco yang menyembunyikan rasa pahit dalam senyum memaksa.
"Baiklah jika itu maumu Tuan Leo DeMonte, tapi asal kau tahu saja aku tak akan menjaga Nabila atau pun memberikan perlakuan khusus hanya karena dia penyandang cacat. Apa kau mengerti?" Baik Leo dan Nabila, keduanya mengangguk secara serentak.
"Nabila berikan fomulir persetujuannya." Perintah Leo segera dituruti. Nabila memberikan fomulir lalu bergerak kembali pada Leo.
"Terima kasih. Kalau begitu aku dan Nabila pamit ingin pulang."
"Tunggu sebentar ... aku ingin bicara dengan Nabila itu pun jika kau mengizinkan." Nabila memandang pada Leo yang menganggukan kepalanya singkat.
"Aku akan menunggu di mobil." Leo pun pergi sedang Nabila terus menunggu sampai kegiatan MAPALA selesai. Marco datang menghampiri kemudian duduk di samping Nabila.
Cukup lama mereka berdua diam sampai Marco memulai pembicaraan. "Selamat ya atas pernikahannya."
"Terima kasih Marco. Aku minta maaf ya karena tak mengundangmu."
"Tidak apa-apa aku bisa mengerti jadi ... dia orangnya?" Nabila mengangguk malu-malu dan menciptakan rasa sakit teramat pedih dalam diri Marco. Namun Marco berusaha menutupinya dengan senyuman.
"Oh begitu ... baiklah, sesuai dengan janjiku sama suamimu, kau akan ikut juga dalam kegiatan kami. Jaga kesehatan baik-baik dan persiapkanlah semua peralatan kemping, aku akan menjemputmu."
"Eh tak usah nanti aku diantar sama Leo. Kau tinggal beritahu aku alamatnya." Marco mengembuskan napas kasar.
"Ok nanti aku beri lokasinya."
"Baiklah, aku harus pergi. Sampai jumpa," pamit Nabila.
"Ya, dah." Pria itu diam sampai Nabila tak terlihat lagi dipandangan mata. Andre datang dan menepuk bahu Marco.
"Tak apa-apa Marco, masih banyak gadis lain yang lebih baik dari Nabila." Marco membalas dengan anggukan lemah.
Sepanjang perjalanan, Nabila merasa selalu diperhatikan oleh orang banyak. Entah karena apa tapi Nabila tak ambil pusing. Setibanya di mobil Leo, Nabila langsung masuk.
"Apa yang kalian berdua bicarakan?" tanya Leo dengan nada tenang.
"Dia mengucapkan selamat dan memberitahu bahwa aku harus bersiap-siap."
"Oh begitu. Ayo kita pulang, jangan lupa kita beli alat untuk persiapan kegiatan." Perkataan Leo disambut dengan gumaman tak jelas oleh Nabila.
🌟🌟🌟🌟
Jam menunjukkan pukul 18.00 saat mobil Leo sampai. Menjinjing beberapa tas, keduanya berjalan masuk ke kediaman DeMonte. "Eh kalian sudah pulang, loh kok kalian belanja banyak sekali?" tanya Fredikson, Ayah Leo.
"Iya Ayah, soalnya Nabila akan ikuti kegiatan MAPALA jadi kami membeli beberapa alat." Fredikson menganggukan kepala pelan mengerti. Mendadak raut wajahnya tersenyum jahil.
"Wah artinya Leo akan kesepian dong. Istrinya akan pergi."
"Ayah?!" Nada protes dari Leo dibalas kekehan oleh Fredikson.
"Maaf, maaf hanya bercanda." Leo lalu memandang pada Nabila yang juga menatapnya. Jelas sekali dia terlihat khawatir dari sorot matanya.
"Jangan cemas aku akan baik-baik saja," kata Leo.
"Yakin?"
"Iya, hanya beberapa hari bukan kau akan pergi kita juga masih bisa saling berhubungan lewat telepon." Nabila menarik napas lalu mengembuskan secara perlahan. Tak lama dia menyunggingkan senyuman.
"Katakan saja kalau kau keberatan, aku tak akan pergi kok,"
"Tidak, aku tak keberatan. Anggap saja ini adalah hadiah karena kau sudah membantuku sebagai seorang istri." Kendati mengatakan demikian, dalam hati Leo merasa janggal.
Semenjak Nabila menjadi istrinya, Nabila selalu berusaha menyiapkan semua kebutuhan Leo. Terpikir jika Nabila tak ada di sisinya barang beberapa hari, Leo pasti akan merindukan Nabila.
Dalam kekalutannya, Leo terus memandang Nabila bahkan saat mereka tidur. Leo melihat punggung Nabila yang kini berada di hadapan matanya. Istrinya sudah tidur tapi Leo tidak dan karena hal itu dia mendekat lalu memeluk dari belakang.
Nabila yang tergganggu membuka matanya lebar. Wajahnya merona sempurna merasakan pelukan dari Leo. "Le-Leo ada apa? kenapa kau memelukku?"
"Tidak bisakah aku memeluk istri sendiri?" Nabila menggeleng namun tubuhnya kaku. Napasnya juga tertahan. "Bernapaslah, jangan tegang begitu." Akhirnya Nabila bernapas juga.
"Aku akan merindukanmu jika kau pergi,"
"Tapi, kan cuma beberapa hari,"
"Aku tahu itu ... hanya saja aku membutuhkanmu." Nabila lalu memutar tubuhnya, menatap intens pada Leo kemudian mengecup singkat pipi Leo.
"Apa kau pikir aku tak akan merindukanmu. Aku juga merindukanmu." Dia berusaha mengecup lagi pipi Leo tapi Leo menghentikannya dan mencium bibir Nabila dengan intens.
Tentu saja Nabila agak kaget namun kemudian dia membalas ciuman Leo. Akhirnya, keduanya tertidur pulas saling memeluk.