Beberapa hari berlalu, Leo mengantar Nabila menuju tempat di mana dirinya akan melakukan kegiatan alam. Sesampainya di sana, Leo mengambil barang-barang milik Nabila untuk dibawa gadis itu. "Apa semuanya sudah siap? Kau tak ketinggalan apa pun?"
Nabila mengangguk seraya memakai tas. Dia lalu memeluk Leo yang juga membalas perlakuannya itu. "Aku akan merindukanmu."
"Aku juga." Suara speaker menggema menandakan bahwa mereka harus berpisah.
"Aku akan menjemputmu ketika kau pulang."
"Ya." sahut Nabila singkat. Gadis itu kemudian mendekat pada sekelompok orang yang berkumpul. Marco yang kini berbicara pada banyak orang mengatakan segala peraturan dan juga menyuruh mereka berdoa agar sampai di tempat camping dengan selamat.
Setelahnya mereka memulai perjalanan. Nabila yang kakinya bermasalah berjalan paling belakang beserta Marco. Teman dari Nabila itu merasa bertanggung jawab akan Nabila jadi Marco terus memantau Nabila.
Jika Nabila kesulitan maka Marco akan langsung membantunya, memberikan air minum kalau dia lelah atau apa pun itu sehingga banyak membuat anggota MAPALA wanita merasa iri. Wajar saja, kebanyakan para gadis menjadi anggota MAPALA karena Marco.
Mereka ingin dekat dengannya namun melihat Marco selalu peduli pada Nabila baik di kampus mau pun kegiatan ini mungkin saja Marco memiliki perasaan pada Nabila tapi mendengar berita kalau Nabila telah menikah semangat mereka kembali dan gencar mendekati ketua MAPALA tersebut.
"Kak Marco, apa Kakak Marco lelah? Ini minumannya?"
"Kak Marco, aku kesulitan nih dibantu yah," dan masih banyak lagi yang membuat Marco jengah sampai pria itu menghardik kesal.
"Berisik!" Semua anggota perempuan tampak mematung lalu tak bertanya lagi pada Marco.
"Jangan kasar dong sama perempuan!" tegur Nabila tak suka dengan hardikan Marco yang ditujukan untuk beberapa gadis.
"Biarkan saja mereka yang salah kok."
"Lain kali jangan begitu. Oh ya Marco, tempat kemahnya masih jauh?"
"Sebentar lagi sudah sampai apa kau lelah?" Nabila menggeleng. Benar apa yang dikatakan Marco, tak lama mereka sampai di tempat tujuan.
Mereka mulai mendirikan tenda dan lagi-lagi Nabila dibantu oleh Marco beserta Andre. "Aku rasa aku tahu kenapa mereka menatapku seperti itu karena aku membuat mereka iri. Aku selalu dibantu olehmu." ujar Nabila seraya melihat para gadis yang memandangnya tak suka.
"Sudah jangan pikirkan itu." kata Marco mendekatinya lalu memberikan sebotol air untuk diminum. Nabila menerimanya dengan senang hati kemudian meminumnya.
Nabila lalu mengecek layar ponsel dan melihat tak ada sinyal. Gadis itu merutuk kesal, padahal dia ingin menelepon Leo ingin mengabari kalau dia baik-baik saja.
"Kenapa?"
"Signal tak ada padahal aku ingin sekali menelepon suamiku."
"Oh itu sih gampang, ayo ikut aku. Aku tahu tempat di mana yang bagus." Keduanya pun berjalan meninggalkan perkemahan untuk menaiki bukit yang tak terlalu tinggi. Bukitnya pun tak jauh dari kemah tersebut.
Sampai di puncak, Nabila mendapatkan signal dan segera menelepon Leo ditemani Marco. Di sisi lain, Leo tak bisa berkonsentrasi karena hatinya gusar. Sudah jam satu siang, tapi Nabila tak kunjung juga menelepon dan membuatnya khawatir.
Ponsel Leo berbunyi. Buru-buru dia menjawab panggilan setelah melihat nama siapa yang tertera di nomor ponselnya. "Halo, Nabila."
"Halo, Leo. Maaf aku baru telepon kami baru saja sampai di tempat perkemahan."
"Baguslah. Aku sedikit khawatir dari tadi. Apa kau baik-baik saja? Kau tak kelelahan?"
"Ya, aku baik-baik saja. Memang lelah dari tadi, tapi itu tak berarti apa-apa karena aku sampai. Aku juga dibantu oleh Marco."
"Syukurlah. Jaga dirimu baik-baik, selalu pake selimut jika kau tidur dan perhatikan juga kaki buatanmu."
"Iya, aku mengerti." Marco yang hanya diam terus memperhatikan Nabila dengan senyum merekah terus menghubungi Leo.
Yang bisa dia lakukan hanya membuang napas atau melihat ke segala arah yang tak penting sampai Nabila menghampirinya lalu turun bersama-sama.
"Sekali lagi terima kasih ya Marco, berkat kau aku bisa menghubungi suamiku kau tahu dia sangat cemas."
"Kau sepertinya sangat bahagia dengan pernikahanmu," Nabila tersipu malu kemudian mengangguk pelan.
"Awalnya agak sedikit canggung karena malam pertamanya sedikit ricuh tapi sekarang sudah tak apa-apa,"
"Ricuh? Ricuh karena apa?" tanya Marco penasaran. Nabila tersenyum misterius, dia tak menjawab pertanyaan Marco dan lebih mempercepat langkah kakinya meninggalkan pemuda itu.
Dalam perjalanan dia mendengar banyak sekali orang yang menatap padanya. "Enak ya dia, jadi kesayangan ketua."
"Iya, memangnya dia tak malu apa selalu dibantu oleh Marco,"
"Stt ... jangan begitu nanti dia dengar loh,"
"Biarkan saja supaya dia tahu diri." Nabila yang mendengarnya merasa tak enak. Benar juga, selama perjalanan ke sini sampai sekarang dia selalu dibantu oleh Marco. Yah, sepertinya Nabila menjadi beban bagi ketua MAPALA.
"Eh kau dengar tidak, ada rumor yang mengatakan kalau Marco memperhatikannya karena suka sama Nabila,"
"Benarkah? Bukankah Nabila sudah menikah?"
"Iya, aku sudah lihat suaminya tampan sekali dia itu juga CEO loh."
"Tunggu, kan Nabila dengan Marco sudah sahabatan lama kenapa dia tak sadar kalau Marco suka sama dia?" Nabila mematung. Marco menyukainya? Sepertinya itu tak mungkin.
Marco dan dia hanya sebatas teman saja tak lebih. Tapi jika itu benar ... Ah, entah apa yang harus dia lakukan. Rasanya jadi sakit kepala kalau Nabila memikirkan masalah itu.