"Hari ini kita makan di sini ya," Nabila mengangguk. Setelah menyelesaikan makan malam yang enak, mereka kembali ke hotel untuk beristirahat.
"Nabila, apa kau mau mandi duluan atau aku?"
"Kau saja duluan." Leo lantas mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi sedang Nabila menunggu seraya mengambil handuk yang dia bawa.
Tiba-tiba saja gerakan Nabila terhenti saat melihat sebuah lingrie yang diberikan oleh Silvia, Ibu Mertuanya. Dia teringat akan perkataan Silvia. Selain mengatakan dia ingin kedua anaknya menikmati bulan madu mereka, Silvia memberikan signal agar mereka memberikan cucu secepatnya.
Itu berarti mereka harus melakukan malam pertama. Semburat merah mendadak muncul dari kedua pipi Nabila. Ini akan memalukan sekali ketika Nabila memakai pakaian tersebut tapi ini permintaan dari Ibunya.
Suara pintu terbuka mengejutkan Nabila yang segera menyembunyikan lingrie tersebut di balik handuk. Dia lalu mengambil celana dalam kemudian berdiri tersenyum pada Leo yang memandangnya heran.
"Kenapa kau menatapku seperti itu?" Nabila menggeleng.
"Aku masuk dulu ke kamar mandi." Leo tak bertanya lebih banyak. Dia lalu melihat pada tv dan menyalakannya seraya mengganti baju.
Setengah jam berlalu, tapi tak ada tanda-tanda jika Nabila keluar dari kamar mandi. Hal ini membuat Leo merasa khawatir dan mengetuk pintu. "Nabila, apa kau baik-baik saja?"
"Y-ya!"
"Lalu kenapa kau mengurung diri, ayo keluarlah." Perlahan tapi pasti pintu kamar mandi terbuka menampakkan Nabila yang memakai lingrie. Tampak tubuh Nabila yang agak berisi pas dengan lingrie tersebut dan membuat Leo membulatkan matanya.
Baru kali ini dia melihat Nabila dalam penampilan yang berbeda. "Kenapa kau menatapku seperti itu? Apa ada masalah dengan penampilanku?"
Leo menggeleng. "Kau cantik sekali!" Nabila tersenyum kemudian menunduk melihat jari-jarinya bermain sebab gugup menguasainya.
"Leo, lingrie ini aku dapatkan dari Ibu. Dia memberikan ini untuk kita melakukan ... kau tahu apa maksudku bukan?" Sekarang bukan hanya Nabila yang gugup, Leo juga tertular.
"Jadi,"
"Apa kita akan melakukannya?" tanya Nabila. Otak Leo tak bisa berpikir dan dirinya salah tingkah di depan sang istri. Dia pun menenangkan diri dengan duduk di tepi ranjang.
Nabila pun duduk di samping Leo yang sekarang meremas kepalanya frustasi. "Jadi bagaimana?"
"Ah, bagaimana denganmu? Aku sih terserah kau saja,"
"Loh aku pun terserah kamu." Keduanya terdiam cukup lama saling menatap satu sama lain. Leo mengedarkan pandangan melihat dari ujung rambut hingga ujung kaki penampilan Nabila dan sekarang dia bergejolak dengan sangat hebat.
"Baiklah tak ada pilihan lain." Jantung mereka sama-sama berdebar dengan kencang kala Leo menarik tubuh Nabila mendekat kemudian memberikan kecupan singkat.
"Aku janji akan berhati-hati. Kau cukup percaya padaku saja." Nabila yang menunduk mengangguk kecil. Jemari Leo membuat wajah Nabila mendongak agar mata mereka bertemu. Setelahnya, ciuman mendarat di dahi, pipi dan berakhir pada bibir Nabila.
Ciuman itu berlangsung sementara. Keduanya menatap intens pada jarak yang dekat dan Leo mencium bibir Nabila sekali lagi lalu melepaskannya secara ringkas, kemudian mencium dan melepaskannya sekali lagi.
Dia melakukannya beberapa kali seraya membaringkan tubuh Nabila ke ranjang. Leo menampakkan senyuman pada Nabila yang lantas tersipu malu. Tangan Leo meraih tali lingrie di kedua bahu Nabila lalu menurunkannya hingga ke dada.
Leo lalu memosisikan dirinya di atas Nabila. Lingrie yang dikenakan Nabila kembali diturunkan oleh Leo sekaligus memberikan ciuman liar pada bibir istrinya.
Ciuman lalu turun merambat ke jenjang leher lalu ke dada. Tak ada satu pun yang luput dari perhatian Leo dan ya, Nabila terlena akan foreplay yang diterima.
Meski Nabila menggigit bibirnya agar tak mendesah tapi sering kali gagal dan berujung dengan suara Nabila yang melenguh. Leo menaikkan tubuhnya untuk menatap wajah Nabila.
Ketika mereka kembali berciuman, Nabila merasakan kesakitan. "Leo ...."
"Tenang sayang relaks saja jangan tegang."
"Ahh!" Nabila mencengkeram kuat lengan Leo, air mata merembes keluar saat kesuciannya direnggut oleh Leo, suaminya sendiri. Dalam kesakitan yang dirasakan, Nabila terkejut begitu mendapat kecupan pipi dari Leo.
"Kalau kau mau berhenti katakan saja aku tak akan memaksa." Nabila menggeleng seraya mengalungkan kedua lengannya di leher sang suami.
"Aku sudah siap."
"Benar nih tak apa-apa?"
"Iya."
"Katakan saja kalau kau merasa kesakitan aku akan melakukannya secara perlahan sampai kau terbiasa dengan rasa sakitnya." Leo berusaha bergerak secara perlahan tak ingin melihat Nabila kesakitan.
Dia bisa melihat ekspresi tak nyaman dari Nabila. "Tak apa-apa Leo, bergeraklah."
"Ok aku akan setuju tapi setelah ini kau tak akan bisa memintaku berhenti."
"Iya, tak apa-apa." Rasa sakit kembali dirasakan ketika Leo menggerakkan tubuhnya. Perlahan tapi pasti Nabila sudah mulai terbiasa dengan gerakan Leo. Rasa sakit pun sudah hilang berganti menjadi kenikmatan yang belum pernah dia rasakan.
"Leo ...." Tanpa menghentikan gerakan pinggul Leo tersenyum pada Nabila. Kedua tangan Nabila yang senantiasa mengalung di leher menekan kepala Leo dan pria itu langsung mengerti.
Keduanya berciuman intens dan lama. Baik Leo mau pun Nabila, mereka berlomba-lomba untuk menjadi dominan. Napas makin tersengal-sengal, gerakan Leo menjadi tak terkendali. Ranjang pun ikut menimbulkan suara akibat percintaan panas mereka dan keduanya klimaks bersamaan.
Nabila dan Leo memang keletihan tetapi mereka masih bisa melemparkan senyuman dan memangut bibir satu sama lain. "Terima kasih Nabila, kau sudah menjaga mahkotamu untukku."
"Sama-sama." balas Nabila. Leo melepaskan diri dan berbaring di samping Nabila yang kini sudah terdengar dengkuran halus pertanda bahwa dia sudah tidur.
"Aku mencintaimu Nabila."