Hari mendekati siang. Kicau burung menambah ramainya padepokan Randu agung.
Disebuah balai bambu rumah joglo yang asri, yang menjadi bangunan paling besar dan paling sakral di padepokan itu karena tempat istirahat para maha guru dan sesepuh padepokan.
Bangunan tersebut terletak ditengah pusat padepokan dengan halaman yang luas di kelilingi 4 rumah kanuragan yaitu omah pedang, omah paser (red: panah), omah tombak, dan omah belati, yang terletak pas disetiap penjuru dan sekatnya ditutupi oleh tembok kayu gelondongan yang tingginya 8 meter ditata rapi dan rapat.
Entah bagaimana cara nenancapkan dan menata begitu banyak kayu glondongan yg tingginya 8 meter dan menutup seluruh akses rumah joglo. Rumah joglo ini pun tidak mempunyai gerbang masuk, pintu masuk mereka hanya ada lewat 4 omah kanuragan.
Dibalai tersebut terdapat tiga orang yang sedang berbincang serius tentang hal yang akan datang.
"Kakang Wiwitan, tahun depan Persembahan Agung diadakan. Menurutmu, siapa yang paling tepat yang akan kita bawa untuk mewakili padepokan kita?" Tanya orang berkumis dan berkepala plontos.
"Kurasa tidak ada kandidat lain kecuali Mahesa, ah... sayang sekali anak itu, sebenarnya mempunyai kemampuan tapi tidak punya keberuntungan yang cukup" jawab Wiwitan sambil menghela nafas panjang.
"Mau bagaimana lagi, Persembahan Agung hanya diadakan 5 tahun sekali untuk menghormati kecerdasan Sang Pendiri yang berhasil menipu Armada Cina untuk menghancurkan musuh tanpa nenumpahkan darah setetespun.
Juga menghancurkan Armada Cina saat mereka lengah agar tidak menjadi duri dikemudian hari.
Tanpa kecerdikan Sang Pendiri, Majapahit tidak akan pernah ada dan Jawa Dwipa tidak akan pernah semakmur ini.
Haduh, bocah-bocah, kalau saja umurmu masih 12 tahun, kamu masih bisa ikut Persembahan Agung 5 tahun lagi." guman Si botak yang bernama Angkasa itu.
"Memang Mahesa umur berapa?"
"Kemarin aku periksa, dari struktur tulang dan denyut nadinya kurang lebih dia 13 tahun 5 bulan"
Keduanya pun akhirnya merenung sejenak kemudian menoleh ke pak tua yg sedari tadi menutup mata memainkan janggutnya sambil manggut-manggut mendengar kicau burung liar.
Orang tua dengan baju serba putih juga janggut dan rambut yang sudah memutih sepertinya itu sepertinya terlelap dalam dunianya sendiri menikmati nyanyian alam surgawi.
"Bagaimana menurut Mahaguru?" tanya Angkasa dengan hati-hati
"Besok pagi, panggil anaknya menghadapku, akan kupertemukan dia dengan Ki Sona" Jawab sang Mahaguru masih dengan memejamkan mata.
"Apakah tidak terlalu cepat Mahaguru?" sahut Wiwitan dengan sedikit cemas.
"Dia bahkan belum masuk kelas Senior dan masuk salah satu omah kanuragan" lanjutnya.
"Tidak apa-apa.
Semua serahkan pada takdir.
Sang Hyang Widi sudah mengatur jalannya muridku.
Dan juga aku percaya pada kemampuannya. Dari sorot matanya aku melihat bahwa dia mempunyai takdir besar.
Sekarang bergantung pada dia bagaimana nanti menghadapi Ki Sona." Sambil membuka matanya dan menerawang jauh.
Kedua orang tersebut saling berpandangan sebentar, entah apa yg mereka pikirkan.
Kemudian kembali menatap Sang Mahaguru dan menganggukan kepala mereka.
"Baik Mahaguru"
"Siap Mahaguru"
Ucap mereka berdua hampir bersamaan.
Setelah kedua muridnya pergi, tiba-tiba ada suara misterius yang berbisik ditelinga sang Mahaguru.
"Ini pasti akan menarik Kebo Giras. Tak sabar aku untuk melihatnya. ha... ha.. ha... "
Suara misterius tersebut seperti menggema di suluruh ruangan tapi, hanya Sang Mahaguru yang bisa mendengarnya.
Tanpa menjawab perkataan suara misterius tersebut, sang Mahaguru kembali menutup mata dan menikmati kicau burung liar.
Dia seolah tak mendengar perkataan apapun.
Namun jika dilihat dengan seksama, mulut Mahaguru seperti tersungging senyuman.
*****
end of charpter 2.