Setelah mendapatkan pesan telepati dari ki Sona, Mahesa mulai mengerti dia sekarang berada dimana.
Pantas sekali dia seperti mengenal tempat ini, tempat dimana ingatan kecilnya berada.
Sawah yang digarap ayahnya dan gubuk kecil yang biasa mereka buat berteduh saat siang hari.
Bedanya disini sangat sunyi, tak ada suara burung atau keramaian tetangga yang sama-sama menggarap sawah bercengkerama menghabiskan waktu siang mereka untuk istirahat di gubugnya masing-masing.
Untuk menjalin keakraban, tak jarang saling tukar menukar makanan dan mengunjungi gubug tetangga.
Mereka bercengkerama membanggakan keagungan Surya Majapahit dan kedigdayaan sang Mahapatih Gajah Mada sehingga negeri mereka pantas disebut Negeri Gemah Ripah Loh Jinawi, makmur agawe santoso.
****
Dia rindu akan keluarganya yang belum pernah dia temui selama 1 tahun lebih.
'Duh, bopo lan biyung, semoga kalian semua sehat. Dan Juga adikku Lastri dan Jani, sudah seberapa besar kalian sekarang' Gumannya dalam hati.
Tiba-tiba ada dua orang yang menepuk pundaknya kiri dan kanan secara bersamaan.
PLAKK!!
Mahesa kembali tersadar dari lamunannya.
Sebelum sempat menengok kebelakang, kedua orang tersebut sudah ada didepannya.
'Inikah kembaran gaibku?' pikir Mahesa dalam hati
"Ya, kami adalah kembaran gaibmu" ucap salah satu dari mereka.
"Heii.. tak usah bingung, kami ini kembaranmu. Tanpa kamu berucap pun kami sudah tau apa yang kamu pikirkan. Pikiran kita tersambung menjadi satu" timpal orang satunya.
Mahesa masih mengamati kedua orang itu, satunya sama persis dengan dia. bedanya hanya seperti lebih tua dan tinggi, dan aura orang tersebut tampak seperti binatang buas yang baru lepas dari kandang. Kelaparan dan ingin menyergap mangsanya.
Satunya lagi tidak sama persis, hanya mirip dengannya. Perbedaan mencolok antara dia dan orang satunya adalah matanya lebih sendu, seperti awan dimusim hujan. Sangat sejuk dan menaungi hati. Dan juga, ada tanda lahir berbentuk bulatan hitam dibawah hidung sebelah kiri.
'Kembar tapi beda, bisa dikatakan sangat kontras sekali.' Pikir Mahesa sambil terus mengamati mereka berdua.
"Aku menyebut diriku Gagah dan Sebelahku namanya Gigih" Ucap lelaki beraura binatang buas mengenalkan diri.
"Sejak kamu lahir sampai menginjakkan usia ke 12 tahun, kami selalu bersamamu. Kami selalu menjadi bayanganmu dan mengikutimu dimanapun kamu berada. Bahkan saat kamu tidur."
"Tapi, setelah kamu menginjak usia 12 tahun, kami seperti ditarik oleh kekuatan gaib yang sangat kuat dan terpisah denganmu. Saat tersadar kami sudah tergeletak disebuah candi yang Maha besar. Di dunia Siluman."
****
Kilas balik Gagah dan Gigih 4,5 Tahun yang lalu.
Setelah Gagah dan gigih ditarik masuk ke Dunia Siluman, mereka kemudian tergeletak di sebuah Candi yang berada tepat di tengah Kota. Jangan samakan kota siluman dengan kota manusia. Kota ini sangat luas dengan penghuni yang mencapai lebih dari 2 juta penduduk. Kotapun dikelilingi oleh tembok yang tingginya kurang lebih mencapai 20 tinggi orang dewasa (red: 1 tinggi orang dewasa 165cm).
'Dimanakah aku sekarang?'
Pikir Gagah masih begitu bingung.
Tanpa sadar dia mengangkat tangan kanan sambil duduk.
'oh, aku bisa mengerakkan tangan dan kakiku'. pikir Gagah begitu terkejut.
"hahaha.. hahaha.. Aku bebas!" Teriak gagah begitu lantang.
'Akhirnya aku bisa berjalan dan bicara mengikuti kemauanku sendiri' gumannya sangat senang sekali, siksaan selama dua belas tahun akhirnya telah usai.
Bisa dibayangkan betapa senangnya seseorang akhirnya bisa jalan setelah 12 tahun lumpuh.
Kemudian Gagah melihat sekitar. Melihat tembok setinggi dada dengan banyak lumut hijau tanpa atap. dengan batu yang terukir halus menggambarkan sebuah cerita. Entah apa yang diceritakan ditembok itu, Gagah tak begitu perduli.
Kemudian dia menatap langit dan terlihat jelas matahari merah darah sedang menyala di ujung barat. Tidak secerah matahari biasanya, tapi cukup terang seperti redupnya sore hari menjelang petang.
PLAKK!!
"Aw.. Sakit" sambil mengelus pipinya yang dia tampar sendiri.
Setelah meyakinkan diri bahwa ini bukan ilusi, Gagah mulai menghampiri saudaranya yang duduk bersandar, termenung dibawah arca berbentuk dewi. Atau mungkin arca seorang penari karena kedua tangannya memegang selendang? entahlah, tak begitu penting juga buat dirinya.
"Adikku, apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Gagah begitu penasaran.
Kemudian Giguh pun menoleh ke kakaknya dengan raut wajah sedikit sedih.
"Kakang, bagaimana Nasib Mahesa kalau dia kita tinggalkan sendirian?"
"Benar juga, dia itu orangnya gampang iba dan gampang dimanfaatkan" Jawabnya manggut-manggut.
"Eh.. tunggu dulu, walau kita bersamanya tetap saja kita tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi sedihmu buat apa?" tanya Gagah
"Sekarang kita lebih enak, bisa bergerak bebas, bisa berjalan dengan kedua kaki kita, bisa melihat apa yang ingin kita lihat, dan bisa berucap sesuai kehendak mulut kita" lanjutnya dengan semangat.
"Tapi kang"
"Tak usah tapi, mulai sekarang aku akan memberi nama diriku sendiri sebagai Gagah, yang artinya aku tidak akan jadi bocah cengeng, karena kita kembar, kamu ku namakan Gigih, yang artinya tidak menyerah" Ucap Gagah begitu yakin.
"Terima kasih kakang"
Gigih mulai terlihat senang karena sekarang dia mempunyai nama panggilan. Dan namanya bagus sekali menurutnya.
"Tidak usah berterima kasih, kita sebagai saudara harus saling menjaga dan membantu" balasnya dengan penuh keyakinan.
"Terus bagaimana dengan Mahesa. Diakan berarti saudara kita juga?" tanya gigih sedikit cemas.
"Sudahlah, diakan bersama bapak lan biyung[1], tunggu sampai kita dewasa, kita akan mencari dia. Dan akan ku hajar semua orang yang berani menyakitinya. Itulah arti dari nama Gagah" ucapnya begitu membanggakan diri.
Setelah mendengar ucapan Gagah yang meyakinkan, akhirnya gigih berhenti cemas
Tak berselang lama, muncul sesosok makhluk tinggi besar dengan gigi taring yang tajam membawa [2]gada yang di sandarkan dipundaknya.
Makhluk itu tinggi sekali, kurang lebih 2 kali tinggi orang dewasa.
wajah Gagah yang awalnya penuh percaya diri kemudian langsung berubah menjadi pucat. Namun, dia tetap berdiri melindungi Gigih yang ada dibelakanganya dengan badan yang gemetar.
"Siapa kau? mau apa kesini?"
Ucapnya dengan nada lantang walau sedikit bergetar.
"Hahaha.. Jangan takut bocah, aku [3]Dwarapala. Buto penjaga Candi yang ditugaskan untuk membimbing kamu"
"Buat apa kamu membimbing kami? sudahlah tak usah berbohong. kamu datang untuk memakan kami kan? seperti halnya cerita timus mas?"
"Tak usah kau sebut nama penghianat itu, jika bukan karena dia. Nasib suku kami tidak akan seperti ini"
Tidak tau kenapa, sang raksasa begitu marah ketika mendengar cerita timun mas.
"Hei, dua bocah dengarkan. Kalian akan berada disini selama 3 tahun kedepan. Dan kalian dilarang meninggalkan area candi sampai kurun waktu tiga tahun itu berakhir"
Karena penasaran, Gigih pun memberanikan diri bertanya.
"Kenapa harus begitu?"
"Kenapa kita tidak boleh meninggalkan candi?" ucapnya sambil sembunyi dibelakang Gagah tanpa berani menatap mata sang Buto.
"Sudah, tak usah banyak tanya. cukup jalani saja. Nanti pelan-pelan akan ku jelaskan semua. Tentang siapa kalian, tentang dunia ini dan bagaimana nasib saudara kalian diseberang sana"
Mendengar ucapan Sang Buto, wajah gigih langsung berubah ceria. Hal berbeda terlihat di raut wajah Gagah, jidatnya dikerutkan masih belum bisa percaya apa yang di ucapkan oleh Sang Buto.
"Mengajari kalian segala hal agar bisa bertahan hidup didunia ini juga tugasku selama 3 tahun kedepan"
Sambil melihat kedua bocah yang masih sedikit ketakutan, sang Buto kembali berucap.
"Dunia ini dinamakan dunia siluman, dan Kalian tidak perlu makan ataupun minum untuk bertahan hidup seperti didunia manusia"
"Oh iya, 3 tahun waktu disini setara dengan 1 tahun didunia waktu didunia manusia."
Sontak, perkataan demi perkataan buto ini bikin sikembar terheran-heran.
"Baik, cukup segini dulu pelajaran kita hari ini. Besok akan ku kunjungi lagi kalian dengan pelajaran yang baru. Ingat jangan keluar dari area Candi. Ha ha ha" Ucap buto sambil berlalu.
Kedua bocahpun hanya terbengong, mencoba mencerna perkataan yg diucapkan sang Buto.
****End Of Charpter 6****
1. Biyung : Ibu
2. Gada : Tongkat memukul dengan bagian ujungnya yang membesar.
3. Dwarapala : Patung penjaga gerbang atau pintu dalam ajaran siwa dan budha. Biasanya diletakan di luar candi, kuil, atau bangunan lain untuk melindungi tempat suci atau tempat keramat di dalamnya.