Chereads / Kutitipkan Dia Yang Berharga Padamu / Chapter 22 - Part 22-Malam yang Sempurna

Chapter 22 - Part 22-Malam yang Sempurna

Afnan dan Nazifa tiba di rumah pukul 10 malam. Keadaan rumah sudah terlihat sepi, namun semua lampu masih dalam keadaan hidup. Afnan terus menggenggam tangannya sejak turun dari mobil.

"Mas, aku mau ke dapur dulu," ucap Nazifa yang membuat Afnan menghentikan langkahnya.

"Mau ngapain?" tanya Afnan penasaran.

"Ehm ... Aku ... Aku lapar, Mas," ucap Nazifa malu-malu.

Afnan terkekeh mendengar perkataan Nazifa.

"Bukannya kita ini habis makan malam di luar?"

"Kan tadi nggak ada nasinya, Mas. Mana bisa disebut makan," jawab Nazifa pelan sambil menunduk.

Afnan tertawa keras mendengar ucapannya. Nazifa mengerucutkan bibir melihat Afnan menertawakannya.

"Ya sudah, Mas tunggu di kamar, ya," ucap Afnan dengan senyum menggoda.

"Ish ... Mas Afnan genit," ucap Nazifa dengan wajah memerah kemudian berlalu meninggalkannya.

"Zee," panggil Afnan setengah berteriak.

Nazifa menoleh ke arahnya.

"Jangan lama-lama," ucap Afnan seraya mengedipkan sebelah mata lalu berlalu pergi ke kamar.

Ya ampun! Apa maksudnya coba? Bikin deg-degan aja, batin Nazifa.

Nazifa berjalan ke dapur dengan hati-hati. Matanya melihat ke sekeliling. Takut ada Andre yang tiba-tiba muncul. Saat ia memasuki dapur, Nazifa mendapati Bara tengah mencoba membuat mie instant dengan tangan kirinya. Ia terlihat kesulitan. Nazifa tak tega kemudian bergegas menghampirinya.

"Bara," panggilnya.

Bara menoleh. Nazifa mengambil alih panci yang ada di tangannya.

"Sini aku bantuin," ucap Nazifa.

"Makasih, ya," ucap Bara seraya tersenyum.

"Kok nggak minta bantuan sama Mbok Tini aja, Bar?"

"Mbok Tini udah tidur. Nggak tega banguninnya."

Nazifa tersenyum sekilas. "Kamu duduk aja. Biar aku yang bikinin. Sekalian aku juga laper."

"Bukannya kamu habis makan malam di luar, ya?" tanya Bara heran.

"Iya. Tapi makanannya nggak bikin kenyang. Masa nggak ada nasinya. Dagingnya kecil lagi," gerutu Nazifa.

Bara tertawa mendengar ceritanya.

"Kamu juga. Kenapa atuh bikin mie? Emang tadi kamu nggak makan?"

"Masakan Mbok Tini nggak enak. Maunya masakan kamu," ucap Bara penuh arti.

"Modus," ledek Nazifa. "Kamu mau ditambahin cabe sama sayuran nggak?"

"Boleh. Tapi cabenya 2 aja. Jangan banyak-banyak," jawab Bara.

Nazifa hanya mengangguk dan lanjut mengiris sayuran. Ia menyadari kalau Bara saat ini tengah menatapnya.

"Jangan liatin begitu. Nanti naksir," celetuk Nazifa.

"Udah dari dulu," gumam Bara pelan.

"Hhmm?"

"Ah ... ng-nggak apa-apa," jawab Bara gelagapan.

Beberapa menit kemudian mie telah matang dan siap di santap.

"Nih." Nazifa meletakkan mangkuk mie di depan Bara kemudian mengambilkannya segelas air putih.

"Makasih, Nazi," ucap Bara tersenyum.

"Sama-sama," jawab Nazifa dan mulai duduk untuk makan.

Nazifa melihat Bara sedikit kesulitan saat makan dengan tangan kirinya. Hatinya tak tega melihat itu. Tapi mau bagaimana? Nazifa sudah berjanji pada Afnan untuk tak menyuapi siapapun selain dia.

Bara tertegun saat melihat Nazifa menambahkan nasi ke dalam mangkuk mie.

"Kamu nggak salah, Mie ditambahin nasi lagi?" tanya Bara heran.

"Kalau belum makan nasi, belum bisa disebut makan," jawab Nazifa cuek.

Bara terbahak mendengarnya. Sedangkan Nazifa mendelikkan mata saat Bara menertawakannya.

"Terus aja ketawain. Kamu sama Mas Afnan sama aja," kesal Nazifa.

"Iya, iya. Maaf." Bara menghentikan tawanya.

"Bara, temenmu ke mana? Kok nggak keliatan?" tanya Nazifa penasaran.

"Udah balik tadi. Pas kalian lagi pergi."

"Seriusan?" tanya Nazifa dengan riang.

"Iya."

"Alhamdulillah," gumam Nazifa pelan.

"Kenapa?" tanya Bara curiga.

"Ng-nggak. Nggak apa-apa."

"Nyobain mie kamu." Bara tiba-tiba mengambil mie di mangkok Nazifa dengan garpunya.

"Ih, kamu mah! Udah punya sendiri juga masih minta aja." Nazifa cemberut.

Bara langsung terbatuk-batuk karena pedas. Sekarang gantian Nazifa yang menertawakannya.

"Puas ya, ngetawain," ucap Bara.

Nazifa memasang mimik meledek pada Bara. "Makanya jangan celamitan."

Bara tak sengaja menyenggol garpunya hingga terjatuh ke lantai.

Kening mereka beradu cukup keras saat sama-sama merunduk untuk mengambil garpu itu.

"Aduh!" ucap mereka bersamaan.

Mereka berdua menertawakan hal itu sembari mengusap kening masing-masing.

Bara dan Nazifa sesekali bercanda dan tertawa bersama saat mereka sedang makan. Afnan yang merasa Nazifa tak kunjung datang ke kamar, berinisiatif menyusulnya ke dapur. Ia pun melihat Nazifa yang tengah tertawa gembira di sela makannya. Ada yang terasa sakit di hatinya.

Kenapa saat bersama Bara kamu bisa tertawa lepas sepert itu, tapi tidak saat bersamaku? batin Afnan

๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ

Afnan berjalan menghampiri mereka yang tengah asik makan. Ia yang muncul dari arah belakang Nazifa langsung mendaratkan ciuman di pipi istrinya.

"Mas?" Nazifa terkejut dengan kemunculannya.

Bara melirik sekilas kemudian bergegas pergi dari dapur.

"Bara, kok makannya nggak diabisin?" tanya Nazifa saat melihatnya pergi.

"Udah kenyang, Nazi," ucapnya tanpa menoleh.

Nazifa melanjutkan kembali makannya.

"Pantesan ditungguin di kamar nggak dateng-dateng. Lagi asyik-asyikan sama Adik ipar ternyata." Afnan mencubit gemas pipi Nazifa.

"Zee cuma bantuin bikin mie, Mas. Kasian Bara. Ini bentar lagi juga habis."

Nazifa hendak mencuci piringnya langsung tapi Afnan mencegahnya.

"Tar aja besok sama si Mbok," ucapnya seraya menuntun Nazifa kembali ke kamar.

Nazifa mengikuti langkah lebar Afnan dengan sedikit berlari kecil.

"Mas, kok buru-buru banget, sih?" tanya Nazifa bingung.

Namun Afnan tak menjawab pertanyaannya. Sampai di depan pintu kamar, Afnan tak langsung membuka pintunya.

"Buka," perintah Afnan dengan wajah serius.

Raut muka Afnan yang berubah serius membuat dirinya takut.

"M-Mas kenapa?" tanya Nazifa takut.

"Buka!" perintahnya lagi.

Dengan ragu Nazifa membuka pintu kamar.

Gelap!

Ruangan kamar Afnan terlihat gelap tanpa pencahayaan. Nazifa pun mencium wangi yang tak asing baginya. Harumnya begitu meyeruak di seluruh ruangan. Nazifa meraba saklar lampu untuk menyalakannya, tapi tak berhasil. Lampunya tetap tak menyala. Nazifa hendak kembali ke luar kamar. Tapi ia menubruk tubuh Afnan yang sudah berdiri setelah menutup pintu.

"M-Mas. Lampunya rusak, nggak bisa di nyalain. Aku takut gelap. Aku keluar dulu, ya." Nazifa mencoba menggapai handle pintu tapi Afnan menghalanginya.

Afnan menarik tubuh Nazifa ke dalam dekapannya.

"Ssst ... Tenanglah, Zee. Ada aku di sini."

Bisa Nazifa rasakan jantung Afnan yang berdebar-debar saat kepalanya bersandar di dada. Afnan melepaskan pelukannya, memutar balik tubuh Nazifa membelakanginya. Tangannya memegang kedua bahu Nazifa. Tiba-tiba Afnan menutup kedua mata Nazifa dengan kain penutup.

"M-Mas? Ini kenapa mataku di tutup?" tanya Nazifa ketakutan.

"Tunggulah sebentar. Jangan buka kain penutupnya, ya." ucap Afnan lalu meninggalkan Nazifa berdiri sendiri.

"Ta-tapi Mas. Zee takut. Mas?" rengeknya dengan kedua tangan meraba-raba udara berharap ada pegangan.

Afnan terlihat sibuk menyalakan lilin-lilin yang ada di kamarnya. Namun dengan cepat ia kembali mendekati Nazifa saat semua lilin telah menyala. Ia menggapai kedua tangan Nazifa yang meraba-raba di udara.

"Tenanglah, aku di sini," ucap Afnan lembut.

Afnan kembali berdiri di belakang Nazifa dan membuka perlahan kain penutup mata.

"Bukalah matamu, Zee," bisiknya di telinga Nazifa dengan sedikit membungkukan badannya.

Nazifa membuka matanya perlahan. Matanya membelalak tak percaya melihat ruangan kamar yang telah di hias sedemikian rupa. Cahaya lilin dan taburan bunga mawar yang membentuk hati mampu memberikan nuansa romantis pada ruangan ini. Bucket bunga mawar merah pun berjejer rapi di ranjang. Nazifa menoleh ke belakang, menatap Afnan. Afnan hanya tersenyum.

"Ini semua Mas Afnan yang nyiapin?" tanya Nazifa dengan hati berbunga-bunga.

"Aku minta tolong Pak Fikri buat nyiapin ini semua, pas kita makan di luar."

Nazifa tersenyum simpul mendengar jawabannya.

Jadi inikah sebabnya Mas Afnan menghindariku tadi saat menerima telfon?

Afnan melingkarkan kedua tangannya di pinggang Nazifa.

"Kamu suka?" tanyanya lembut.

"Suka," jawab Nazifa malu-malu.

Afnan semakin mengeratkan pelukannya. Dagunya bertumpu di atas kepala Nazifa. Mata Nazifa tertuju menatap pada bucket mawar merah. Ada yang tak asing dengan bunga-bunga itu.

"Mas." Nazifa melepaskan tangan Afnan yang masih melingkar di pinggangnya.

Nazifa berjalan perlahan ke arah tempat tidur. Afnan mengikuti langkahnya di belakang. Tangan Nazifa meraih satu bucket bunga itu. Mengamatinya lalu mencium wanginya.

Benar!

Aku kenal dengan wangi dari bunga ini. Ini sama persis dengan bucket bunga yang sering aku terima dulu.

Benarkah orang itu Mas Afnan? Orang yang selama ini selalu mengirimiku bucket ini ternyata Mas Afnan? batin Nazifa.

Nazifa menoleh ke belakang lalu mendongakkan wajah menatap Afnan. Mencoba mencari jawaban lewat matanya. Afnan seolah mengerti pertanyaan dalam benak Nazifa. Ia mendekatkan dirinya, memegang kedua pipi Nazifa dengan lembut.

"Iya, Zee. Akulah orangnya. Aku yang selama ini selalu mengirimmu bunga-bunga ini," ucap Afnan seraya menatap Nazifa dalam-dalam.

Jantung Nazifa berdegup kencang mendengar pengakuannya. Ada perasaan bahagia yang muncul saat mengetahui kenyataan itu.

"Akulah yang selama ini mengagumi dan mencintaimu diam-diam," ucap Afnan lembut.

"Aku benar-benar bahagia karena telah memilikimu, Zee. Tapi aku juga berharap, kamu bisa mencintaiku seperti aku mencintaimu," ucap Afnan dengan sungguh-sungguh.

Ada rasa haru yang menyeruak di hati Nazifa saat mendengar semua kata-katanya. Tak terasa bulir bening pun mulai menetes di sudut mata Nazifa.

"Ssst ... Jangan nangis." Afnan menyeka air mata Nazifa dengan lembut.

"Aku nggak mau bikin kamu nangis. Aku hanya ingin kamu tau, kalau aku tak pernah main-main dengan perasaanku. Aku benar-benar mencintaimu dengan segenap hatiku. Andai aku harus menukarnya dengan nyawa sekalipun, aku bersedia melakukannya."

Nazifa terkejut mendengarnya.

"Mas." Nazifa meletakkan jari telunjukku di bibir Afnan. "Jangan ngomong begitu. Zee nggak suka."

Afnan mengambil jari Nazifa lalu menciumnya lembut. Sedetik kemudian, tangan kirinya menarik tubuh itu ke dalam pelukan sedangkan tangan kanannya mengangkat dagu Nazifa perlahan.

Afnan mulai mendekatkan wajahnya hingga jaraknya hanya tinggal beberapa centi. Nazifa memejamkan matanya. Afnan berhenti sesaat dan tersenyum saat melihat Nazifa menutup mata.

Hingga akhirnya, Nazifa merasakan sentuhan lembut bibir merah alami Afnan mulai menari-nari di bibirnya. Bahkan tangan kirinya semakin erat menarik Nazifa ke dalam pelukan.

"Mas." kata Nazifa dengan nafas tersengal saat berhasil mendorong tubuh Afnan. "Aku nggak bisa nafas," ucapnya lagi.

Afnan tersipu malu mendengar ucapan Nazifa. Ia mendekap Nazifa untuk menyembunyikan semburat merah merona di wajahnya.

"Apa kamu mencintaiku, Zee?" tanyanya pelan.

Nazifa menganggukan kepala pelan.

Aku mulai mencintaimu, Mas. Jantungku tak pernah berhenti berdebar-debar saat bersamamu. Senyum di bibirku tak bisa kusembunyikan saat kamu menggodaku. Hatiku bahagia setiap melihatmu tersenyum manis padaku. Aku pun tak suka jika kamu memberikan senyummu itu pada wanita lain. Apalagi namanya kalau ini bukan cinta?

Afnan kembali mencium Nazifa lembut lalu membopongnya ke ranjang. Ia membuka kerudung Nazifa perlahan, mengurai lembut rambutnya yang tergerai panjang. Perlakuan dan sentuhan Afnan begitu lembut, namun tetap tak menghilangkan rasa takut yang masih ada pada dirinya. Afnan menggenggam tangan Nazifa yang gemetar.

"Apa kamu takut?" tanya Afnan lembut.

Nazifa mengangguk dengan air mata yang mulai menetes.

Afnan menghapus jejak air mata di pipi Nazifa dengan lembut, lalu mencium kening, kedua mata, hidung dan terakhir bibir. Mata mereka saling berpandangan. Terlihat Afnan tersenyum lebar dengan mata yang berbinar-binar menatap Nazifa.

"Aku janji. Aku akan membuatnya senyaman mungkin. Kamu percaya kan, sama aku?" tanya Afnan lembut.

Nazifa kembali mengangguk.

Rasanya seperti terkena aliran listrik tegangan tinggi setiap kali menerima sentuhannya. Deru nafas Afnan yang menyapu telinga, sentuhan lembut tangannya di kedua pipi,ย lalu mulai menari-nari di raganya.

Malam ini merupakan malam yang sempurna bagi Nazifa sebagai seorang istri. Malam di mana ia menyerahkan seluruh raganya untuk Afnan, suaminya. Meski isak tangis Nazifa tak luput mewarnai aktivitas mereka dalam memadukan cinta.

๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ

Sementara itu di kamar lain, Bara tengah memandang langit-langit kamar dengan bayangan Nazifa yang terus hadir menari-nari di pikirannya. Ia mencoba untuk memejamkan matanya tapi tak berhasil. Gelisah mendera hatinya. Ia meraih ponselnya di nakas. Menatap layar ponselnya sambil sesekali mengusap lembut foto yang terpampang di wallpaper ponselnya.

Sanggupkah aku melupakanmu, Nazi?

โ˜…โ˜…โ˜