"Ehm!!"
Dehaman itu membuat Rein dan Lean menoleh ke sumber suara. Mereka melihat Miko berdiri di sebelah meja mereka dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Seketika Rein bangkit dan menatap Miko dari balik kaca matanya. "Mik," panggilnya dengan suara serak.
Miko menatap Rein yang berdiri itu. Dia tidak tahu bagaimana cara Rein menatapnya, tapi terlihat jika gadis itu kaget dengan bibir yang beberapa kali digigit. Tatapan Miko lalu tertuju ke Lean yang masih duduk di posisinya itu. "Kalian keliatan bahagia."
Rein menggeleng tegas menjawab kalimat itu. "Apa yang terlihat belum tentu apa yang terjadi sebenarnya."
Lean melihat tangan Miko terkepal. Seketika Lean berdiri, membimbing Miko agar duduk di tempatnya tadi. Tapi yang Lean dapat adalah sentakan dari Miko.
"Nggak usah sok baik," ucap Miko sambil menatap Lean sengit.
Rein menatap dua lelaki dengan ekspresi yang berbeda itu. Miko tampak emosi sedangkan Lean tampak tenang. Perlahan Rein mendekat ke Miko, menarik tangan lelaki itu dan mengusapnya pelan. "Mik, bisa jangan pakai emosi?"
Miko menatap Rein dengan senyum tipis. Dia mengalihkan pandang sejenak untuk mengambil napas dalam. Setelah itu Miko kembali menatap Rein. "Rein. Dari semalem aku mikir hubungan kita. Aku pikir kita bisa saling memperbaiki. Tapi yang aku lihat barusan, ternyata kamu sudah lebih bahagia bersama Lean."
Tes.
Air mata Rein jatuh membasahi pipi. Dia tidak menyangka Miko bisa berpikir sependek itu. Padahal dia tadi sudah menjelaskan, apa yang dilihat belum tentu benar. "Mik. Kalau kamu cuma mau nambah masalah mending kamu pergi," jawabnya dengan suara serak.
"Jadi kedetanganku cuma nambahin masalah buat kalian?"
"Nggak kayak gitu, Mik!!" Lean membuka suara.
Lean menatap Miko sengit. Dia tidak suka dengan cara Miko yang mudah termakan emosi seperti ini. "Lo bisa dewasa dikit? Biar Rein jelasin semuanya, tapi lo potong kalimatnya dan nuduh yang enggak-enggak."
Miko menghela napas panjang. Perlahan dia memilih duduk di sebelah Rein tapi tatapannya tertuju ke arah lain.
Lean tersenyum saat Rein menoleh ke arahnya. Mereka pun lantas kembali duduk dan menatap lelaki yang tengah diliputi emosi itu.
"Mik. Aku sama Lean cuma makan malam. Nggak lebih. Nggak ada hubungan spesial." Rein menatap Miko dengan mata berkaca-kaca.
Mendengar kalimat itu, Lean mengalihkan pandang. Hatinya sakit mendengar kalimat terakhir Rein. Dia lalu merogoh ponselnya dan pura-pura sibuk.
Sedangkan Miko masih bungkam. Semalam dia memikirkan hubungannya dengan Rein. Miko sadar, dia terlalu cepat mengambil tindakan. Dia terlalu cemburu hingga emosi itu menguasainya. Sebenarnya Miko sosok tempramental yang bersembunyi di balik sifat kalem.
Beberapa tahun lalu, Miko menjalani terapi karena tidak ingin emosinya meledak-ledak. Terapi itu membuahkan hasil dan dia bisa mengendalikan emosinya sendiri. Tapi saat berhadapan dengan Rein, rasa itu kembali muncul. Satu yang Miko sadari. Dia sangat tidak ingin kehilangan Rein.
"Mik. Kamu percaya ucapanku, kan?"
Sentuhan di lengannya membuat Miko menoleh. Dia menatap kaca mata gelap Rein. Perlahan tangan Miko terulur ke kaca mata itu dan melepasnya. Sekarang Miko bisa melihat jelas mata Rein yang bengkak dan memerah itu. "Rein. Aku salah. Kamu mau maafin aku, kan?"
Pertanyaan Miko membuat Rein dan Lean tersentak. Rein menatap Miko dengan tersenyum sedangkan Lean menatap Miko tidak yakin.
"Ya. Aku maafin kamu," jawab Rein lembut. Baginya tidak perlu membesar-besarkan masalah, apalagi Miko sudah menyadari kesalahannya.
"Kamu mau balikan sama aku?"
Tubuh Rein menegang. Dia menatap Miko dengan tatapan yang sulit diartikan. Rein menunduk, tidak tahu harus menjawab apa. Di sisi lain masih ada cinta untuk Miko. Tapi di sisi lain, dia merasa tidak bahagia. Gue harus gimana?
Lean memejamkan mata sejenak. Menyiapkan diri mendengar jawaban Rein yang bisa jadi menyakitkan untuknya. Lean mengutuk dirinya sendiri. Kenapa dia malah bertahan di depan dua orang itu? Harusnya dari tadi dia pergi.
Rein terdiam, bimbang. Perlahan dia melirik ke Lean yang hanya menunduk itu. Setelah itu Rein menatap Miko yang menatapnya menunggu jawaban. Rein menghela napas panjang lalu menggeleng pelan.
"Maksudnya apa Rein?" Kedua tangan Miko menggenggam tangan Rein erat.
Air mata yang sempat Rein tahan turun membasahi pipi. Dia menunduk saat napasnya mulai tersendat. "Aku nggak bisa balikan sama kamu, Mik."
Seketika Miko melepas genggaman itu. Miko menatap Rein dengan perasaan marah, sedih, kecewa. Emosi Miko yang sempat dia tahan, tidak bisa lagi dia kendalikan. Dia berdiri dengan kedua tangannya terlipat di depan dada. "Kamu nolak aku karena jadian sama Lean, kan Bener, kan?"
Lean yang dari tadi diam seketika menatap Miko dengan tatapan tajam. "Mik! Nggak usah ngomong yang aneh-aneh!"
Miko tersenyum sinis. Dia menatap Rein yang menunduk menyembunyikan tangisan itu. Setelah itu dia menoleh ke Lean yang menatapnya tajam. "Lo berhasil dapetin dia."
Lean kehabisan kesabaran, dia berdiri dan mendekat ke Miko. Satu tangannya menarik kaus Miko dengan erat. "Lo bisa nggak nyalahin orang lain kalau lagi emosi?"
"Gue nggak nyalahin! Gue bicara apa adanya. Lo berhasil rebut Rein dari gue."
Rein melihat dua lelaki yang mulai emosi itu. Buru-buru dia berdiri dan menarik tangan Lean dari kaus Miko dan berdiri di antara dua lelaki itu. "Ini yang bikin gue nggak mau balikan sama lo, Mik. Lo gampang kepancing. Nggak menutup kemungkinan lo bakal ngelakuin kayak gini lagi."
Perlahan tangan Rein menarik kedua tangan Miko. Rein mengusap punggung tangan Miko berharap meredakan emosi lelaki itu. "Please, Mik. Hargai keputusan gue. Demi kebaikan kita."
"Kebaikan? Kebaikan lo, Rein! Bukan gue! Lo bisa jadian sama Lean!!" ucap Miko lepas kendali. "Udahlah, Rein. Mungkin kita salah mengartikan perasaan kita. Selamat berbahagia sama selingkuhan lo!!"
Bugh!
Lean tidak bisa menahan gejolak emosinya. Dia memukul rahang Miko dengan kencang. Selang beberapa detik Miko membalas pukulan Lean dengan membabi buta. Miko yang butuh pelampiasan emosi seketika melampiaskan hal itu ke Lean.
"Tolong!!!" teriak Rein.
Rein menoleh dan mendapati satpam restoran mendekat dan memisahkan Lean dan Miko.
"Sialan lo!!" Miko ditarik oleh satpam ke arah luar.
Sekarang menyisakan Lean yang masih berbaring di atas lantai. Buru-buru Rein mendekati Lean dan melihat wajah lelaki itu telah tebam.
***
"Hiks.. Hiks..."
"Tenang, Rein. Jangan nangis lagi."
Lean mendekap Rein erat. Sudah lebih dari sejam Rein menangis. Beberapa menit diam, tapi akhirnya kembali menangis. Jika sudah begitu Lean akan menenangkan Rein dengan membisikkan kata menenangkan.
"Udah, Sayang. Jangan nangis. Mata lo nanti sakit," bisik Lean yang tidak ada artinya bagi Rein.
Rein tetap menangis dalam pelukan Lean. Untuk sekarang, tidak ada yang bisa Rein lakukan selain menangis. Meski menangis tidak akan mengubah keadaan apapun. Hanya bisa melegakan sesaat.
Perlahan Rein menghapus air matanya dengan punggung tangan. Matanya terasa berat dan perih karena terlalu banyak menangis. "Huh..." Rein menghela napas panjang, mencoba melupakan semua kejadian sejam yang lalu.
Rein seketika mendongak, saat ingat kilasan kejadian itu. Dia melihat ada darah mengering di bawah hidung Lean. Sialan! Kenapa gue bisa lupain, Lean!
Sejak tadi Rein terlalu sibuk menangisi Miko hingga lupa dengan lelaki yang butuh pertolongan itu. Buru-buru dia melepas pelukan Lean dan berjalan ke dapur.
Lean kaget melihat Rein yang tiba-tiba pergi itu. "Rein."
"Tunggu situ, Le." Rein menyiapkan air hangat untuk membersihkan luka Lean. Beberapa menit kemudian, dia membawa baskom yang berisi air hangat yang telah dia tetesi dengan antiseptik. Rein lalu duduk di sebelah Lean dan menarik dagu yang mulai membiru itu. "Maaf ya. Gue terlalu sibuk nangis sampai lupa bersihin luka lo."
Hati Lean menghangat mendapat perlakuan itu. Dia memejamkan mata, saat Rein mulai menyentuh lukanya. Beberapa kali Lean meringis menahan perih. Harus diakui kalau pukulan Miko sangat brutal. "Aw, perih Rein."
Buru-buru Rein menjauhkan handuk dari luka Lean. Dia mendekat dan meniup luka itu. Rein tidak tahu tindakannya ini berpengaruh atau tidak. Tapi mamanya selalu melakukan hal itu saat dia sedang terluka. "Enakan?"
Lean membuka mata. Dia tersentak mendapati wajah Rein hanya beberapa centi di depannya. Sudut bibirnya tertarik, meski terasa perih. Tangan Lean terangkat menyentuh pipi Rein dengan lembut. "Jangan nangis lagi. Gue nggak suka liat lo sedih kayak gini."
Rein tertegun mendengar kalimat Lean yang terdengar lembut itu. Dia lalu menatap mata Lean yang meneduhkan. Dia seolah terhanyut oleh tatapan menenangkan itu.
"Janji nggak bakal nangis lagi kayak gini?" tanya Lean sambil mengusap bawah mata Rein yang memerah.
Tanpa diminta Rein mengangguk, membuatnya mendapat pelukan hangat dari seorang Lean. Rein membalas pelukan itu. Dia tidak tahu apa yang terjadi, kenapa bisa hatinya tenang saat berada dalam pelukan Lean seperti ini.
Sedangkan Lean memejamkan mata. Dadanya sesak oleh perasaannya sendiri. Gue bakal bahagiain lo, Rein.