Chereads / Romantic Scandal / Chapter 21 - Dua Puluh Satu-Rasa Terima Kasih

Chapter 21 - Dua Puluh Satu-Rasa Terima Kasih

Tet!!!

Rein memencet bel tak sabaran sambil kedua tangannya membawa kantong kresek berisi makanan cepat saji. Keringat sebiji jagung mulai keluar dari pelipis. Mendadak dia gelisah sendiri, padahal sebelumnya tidak seperti ini.

Tet!!

Kembali, Rein memencet pintu kali ini kedua kakinya bergerak gelisah. Sesekali dia menengok ke kanan dan ke kiri, takut ada yang melihatnya. Rein hendak memukul pintu seperti yang dia lakukan dulu. Tapi belum sempat itu terjadi, pintu sudah lebih dulu terbuka.

Lean menatap Rein berdiri di depannya. Senyumnya seketika mengembang, terlebih melihat wajah Rein yang terlihat segar itu. Meski mata gadis itu masih terlihat bengkak.

"Masuk, yuk!" ajak Lean lalu lebih dulu masuk.

Rein mengekor sambil mengamati Lean yang telah rapi dengan kaus biru dongker dan celana jeans itu. Dia lalu memilih duduk di sebelah Lean dan meletakkan makanan cepat saji di atas meja. "Mau kerja, Le?" tanyanya sambil mengamati penampilan Lean sekali lagi.

Saat menatap rambut Lean yang dibelah ke kiri, Rein menatapnya intens. Gadis itu tersenyum tipis, Lean terlihat lebih muda dengan gaya model seperti itu.

"Iya. Lo bawain gue makanan, ya?" Lean menarik kantok kresek di atas meja itu.

"... ."

Merasa tidak ada tanggapan, Lean menoleh. Dia mendapati Rein tengah menatapnya intens. Jantung Lean berdetak lebih cepat. Kenapa ditatap Rein seperti itu membuatnya gugup? Ini masih pagi, Rein. jangan bikin gue gagal fokus!!

Tidak kuat ditatap seperti itu Lean menarik hidung Rein, membuat kesadaran gadis itu kembali. Buru-buru Rein menjauhkan tangan Lean dari hidung lalu melotot yang dibalas dengan kekehan kecil dari Lean.

"Apaan, sih, tarik-tarik hidung? Sakit tahu!"

"Biar mancung kayak hidung gue, Rein."

Perhatian Rein seketika tertuju ke hidung Lean yang memang mancung itu. Apalagi jika dilihat dari samping. Rasanya Rein gemas ingin menarik hidung itu. Hingga kedua tangannya terangkat dan merealisasikan keinginannya.

"Aw!!" Lean memekik kaget saat Rein menarik hidung mancungnya. Dia menoleh sambil mengusap hidungnya yang berdenyut. "Balas dendam, ceritanya?"

Rein menggeleng pelan. "Enggak kok. Hidung lo emang mancung banget, ya."

"Iri, ya? Gara-gara hidung lo nggak mancung?" goda Lean.

Godaan itu membuat Rein menyentuh hidungnya sendiri. Bisa dibilang hidungnya tidak terlalu mancung, tapi tidak terlalu pesek. "Sombong mentang-mentang hidungnya mancung. Tunggu aja nanti, keturunan lo pasti juga ada yang nggak mancung."

"Kalau itu terjadi berarti gue nikahnya sama lo, Rein," jawab Lean sambil mengedip genit. Tindakan itu membuat Rein langsung membuang muka.

Setelah tidak ada tanggapan, Lean mulai memakan makanan cepat saji pemberian Rein itu. Dia tidak memerdulikan efek dari ucapannya. Sedangkan Rein masih terdiam. Dia tahu Lean memang bercanda, tapi ada sesuatu yang aneh di hati Rein.

Duh orang lagi patah hati bawaannya baper terus, batin Rein.

Rein buru-buru menghilangkan perasaan yang sempat mengganggu pikirannya. Dia mengambil makanan cepat saji yang dia bawa dan membukanya. Rein lalu menoleh, dan mendapati Lean makan dengan lahap. "Laper apa doyan?"

Lean mengunyah potongan ayam krispi itu sebelum menjawab. "Laper, Rein. Dari semalem nggak sempet makan."

Mendengar jawaban itu, Rein terdiam. Dia ingat makan malamnya bersama Lean gagal karena aksi pertengkaran itu. Sekarang, Rein jadi merasa bersalah karena menyeret Lean dalam masalahnya. "Maaf ya, Le. Itu semua gara-gara gue."

Seketika gerakan makan Lean terhenti. Dia menoleh dan mendapati Rein tengah menunduk. Lean merasa salah bicara. Dia lalu mendekat dan mencium pipi Rein. "Nggak usah nyalahin diri sendiri. Sekarang makan. Kalau enggak gue habisin," ujarnya berharap Rein tidak menyalahkan diri lagi.

Candaan Lean ternyata membuahkan hasil. Rein tersenyum lalu mulai memakan, makanan di depannya. Sambil makan, Rein melirik Lean. Tanpa bisa dia cegak, bibirnya membentuk senyuman.

"Kenapa senyum gitu, sih? Kan, manis banget," ucap Lean saat melihat senyuman itu.

Rein dengan cepat mencubit lengan Lean. "Jangan godain gue!" Perhatiannya kemudian tertuju ke bagian rahang Lean yang masih membiru itu. Tangan Rein terangkat, menyentuh rahang itu dan mengusapnya pelan. "Gimana luka lo? Udah mendingan?"

Lean tersenyum mendengar pertanyaan itu. Satu tangannya menggenggam tangan Rein yang berada di rahang lalu mengusap punggung tangan itu dengan lembut. "Udah mendingan, Sayang. Lo sendiri gimana? Semalem nggak nangis lagi, kan?"

Rein menggeleng pelan. "Enggak kok. Gue semalem tidur nyenyak."

"Gue seneng dengernya."

Entah siapa yang memulai kedua tangan mereka sekarang saling menggenggam erat. Mereka lalu saling bertatapan. "Sebagai rasa terima kasih karena lo selalu ada di sisih gue. Gimana kalau nanti kita nonton?" tawar Rein.

"Huh...." Lean menghela napas. Sebenarnya ini kesempatan emas tapi dia ingat dengan jadwal manggungnya. "Sebenernya gue mau banget. Tapi gue harus berangkat ke Bali. Gimana dong?"

Rein tersenyum maklum, meski hatinya kecewa. Dia lalu meremas tangan Lean pelan. "Nggak apa-apa kok. Lo hati-hati, ya, kerjanya."

Lean mengangguk lalu mencium kening Rein lembut. "Lo juga hati-hati, ya. Jangan sedih lagi. Kalau ada apa-apa kabarin gue."

Rein mengangguk. Tanpa mereka sadari mereka seperti dua manusia yang memliki hubungan lebih.

***

Setelah dari apartemen Lean, Rein memutuskan untuk kembali bekerja. Dia sadar, dia harus profesional apapun keadaannya. Saat di perjalanan, Rein sempat ketakutan sendiri, jika bertemu dengan Miko. Namun, dia tidak bisa menghindar terlalu lama.

Rein sempat membayangkan bagaimana rekasi Miko. Akankah Miko kembali emosi atau tidak. Tapi dia berharap Miko tidak berbuat macam-macam. Bisa-bisa mengganggu proses syuting.

"Rein."

Rein yang baru masuk ke lokasi syuting seketika menoleh. Dia melihat Oliv yang juga baru sampai itu. "Lo baru sampai?" Rein tersenyum ke sahabatnya itu.

"Iya. Rein... ."

Mereka berjalan masuk beriringan. Sesekali mereka tersenyum ke beberapa kru yang menyapa. Saat sampai di ruangan yang sering mereka jadikan tempat berkumpul, Rein segera mendekati sofa dan menghempaskan diri di sana. Sedangkan Oliv, hanya berdiri di depan pintu.

"Rein. Gue tahu masalah lo sama Miko."

Rein tersenyum tipis, tidak kaget mendengar kalimat itu. Cepat atau lambat rekan kerjanya akan tahu. Rein lalu menatap Oliv. "Nggak usah nggak enak gitu, Liv. Gue udah baik-baik aja kok."

Oliv tersenyum tipis, meski sebenarnya dia belum sepenuhnya lega. Perlahan Oliv mendekat dan duduk di sebelah Rein. "Gue nggak nyangka Miko bisa ngamuk kayak gitu. Apalagi di tempat umum."

Seketika Rein menoleh. Sekarang dia kaget dengan ucapan Oliv. Entah kenapa dia takut, pertengkaran semalam telah tersebar di media. "Jangan bilang kalau tempat umum yang lo maksud itu restoran."

"Tapi kenyataannya gitu, Rein."

Rein menutup wajah. Sudah pasti kemarin ada yang merekam dan menyebar videonya. Sekarang dia harus mempersiapkan diri mendapat amukan mamanya dan beberapa reporter yang jelas ingin mencari tahu kebenaran berita itu.

"Rein. Lo nggak apa-apa, kan?" tanya Oliv sambil menyentuh punggung Rein.

"Gue harus nyiapin diri buat semuanya, Liv."

Tring....

Setelah mengucapkan itu, Rein mendengar ponselnya berbunyi. Dia berharap bukan mamanya yang menelepon. Dia mengambil benda itu di tas lalu melihat siapa yang menelepon. Lean.

Tanpa Rein sadari, dia bernapas lega. Oliv yang melihat Rein mengangkat panggilan memilih pergi untuk memberikan privasi.

"Halo, Le," sapa Rein.

"Rein. Jangan nonton tv jangan buka internet, ya."

Rein tersenyum tipis. "Gue udah tahu gosipnya."

"Oh, Sayang. Jangan dimasukin hati, ya. Maaf, gue nggak bisa nemenin lo."

Kalimat Lean membuat Rein sedikit lega. Setidaknya ada seseorang yang akan setia di sisinya, nanti. "Nggak apa-apa, Le. Gue harus bisa ngatasi ini semua sendiri. Udah, lo jangan banyak mikirin gue. Lo udah berangkat?"

"Ini gue lagi di bandara. Bentar lagi berangkat. Ingat ya Rein. Jangan dimasukin ke hati. Jangan bertindak gegabah."

"Iya-iya. Lo tenang aja," jawab Rein dengan tersenyum geli. Menurutnya Lean terlalu berlebihan. Dalam hati Rein menyadari, Lean seperti itu karena lelaki itu peduli dengannya.

"Setelah kerjaan gue kelar. Gue bakal nemuin lo. Gue bakal sering hubungin lo."

"Iya, Le. Iya."

"Ya sudah. Gue berangkat dulu. I'll miss you."

Rein terdiam tidak tahu harus menjawab apa. Sekarang perasaannya tidak menentu. Dia takut kena marah mamanya, tapi di sisi lain dia sedih karena tidak ada Lean di sampingnya. Rein mendesah. Sekarang dia sadar. Lean sangat berarti dalam hidupnya.