Sarapan kali ini menjadi sarapan yang mendebarkan bagi seorang Rein. Sejak dia duduk di kursi yang berseberangan dengan mamanya, dia tidak fokus dengan makanan yang ada di piringnya.
"Huh..."
Rein menghela napas, membuat Sarah mengangkat wajah. Sarah sadar ada yang berbeda dengan anaknya itu. Tapi dia memilih diam agar Rein lebih dulu berbicara.
"Ma... Mama kapan liburan lagi?"
Kenapa malah pertanyaan itu!! dalam hati Rein memaki. Dia menatap mamanya yang tengah mengernyit itu, beberapa saat kemudian kembali melanjutkan makan.
"Kenapa? Kamu mau ikut?"
Rein menggeleng tegas. "Enggak kok. Kalau mama liburan, mama hati-hati, ya. Jaga diri."
Seketika Sarah meletakkan sendok dan garpu di atas pirin dan menatap Rein saksama. "Mama selalu jaga diri. Kalau ada Atika itu baru mama celaka."
Mendengar jawaban mamanya seketika Rein menunduk. Rasa bersalah itu masih ada di hatinya. Kalau saja dia segera mendekati mamanya saat mulai terjadi pertengkaran mungkin mamanya tidak akan jatuh.
Rein ingat malam itu, saat mamanya terduduk di lantai. Buru-buru dia membawa ke rumah sakit terdekat. Beruntung mamanya tidak kenapa-kenapa, hanya benturan pada paha yang terlihat membiru.
Sejak saat itu Rein menjauh dari Lean. Sebenarnya Rein tidak sepenuhnya menyalahkan Lean karena dia juga setuju. Tapi entahlah, saat melihat Lean, Rein ingat dengan mamanya yang terjatuh. "Maafin, Rein, Ma," ucapnya dengan suara serak menahan tangis.
Sarah menatap anaknya yang mulai berkaca-kaca itu. Jika ingat pertengkaran di alun-alun Batu, membuat Sarah ingat dengan kelakuan Rein dan Lean. Entah maksud dua orang itu untuk pergi bersama dan meninggalkan mama mereka.
"Kamu suka sama, Lean?"
Mata Rein terbelalak lalu dengan cepat dia menggeleng tegas. "Enggak, Ma. Rein sukanya sama Miko. Bukan Lean."
"Syukurlah kalau begitu," jawab Sarah lalu melanjutkan sarapan.
Rein diam tak bergerak, hanya menatap mamanya dengan pikiran ke mana-mana. Apalagi dengan pertanyaan yang dilontarkan mamanya barusan.
"Ada yang ingin kamu bicarakan sama mama? Bicara aja. Jangan melantur kayak tadi."
Kedua tangan Rein mencengkeram sisi rok selututnya. Dia lalu menatap mamanya takut-takut. "Ma, Rein ditawarin jadi model video clip."
Sarah mengangguk, terlihat tidak kaget dengan ucapan anaknya. "Terus?"
Rein mengalihkan pandang. Dia sedang menyiapkan mental untuk menjawab ucapan mamanya. Rasanya seperti sedang mengaku dosa, padahal tidak sama sekali. "Tapi penyanyinya Lean, Ma," jawabnya cepat.
Prang!
Seketika Sarah menjatuhkan sendok dan garpu dari genggaman. Dia menatap Rein tak suka. Drama apa lagi yang diperankan anaknya dengan Lean itu? "Kenapa harus, Lean?"
Mendapat tatapan tajam dengan nada dingin dari mamanya, Rein seketika menunduk. Dia mengigit bibirnya gelisah. "Nggak tahu, Ma. Tapi karakter Rein cocok jadi model video clip, Lean."
Rein sendiri tidak tahu apa alasan pihak Lean memilih dirinya menjadi model. Saat dia bertanya hanya dijawab karena cocok dengan tema dan lagu. Kalau Rein tidak salah dengar, dia nantinya akan berakting antagonis. "Rein tolak aja, ya, Ma."
Sarah terdiam, memikirkan jalan terbaik. Jalan yang tentu membuat Rein beruntung, dan tidak mendapat tatapan menyindir dari Lean. Sarah menatap Rein yang melanjutkan sarapan sambil sesekali mencuri pandang itu. "Ya sudah boleh," putusnya meski berat.
"Uhuk!!" Rein tersedak nasi yang hampir dia telan. Buru-buru dia mengambil air putih dan menegaknya hingga setengah. Dia lalu menatap mamanya sambil satu tangan mengusap dada. Apa gue nggak salah denger?
"Beneran mama ngizinin? Ini Lean lho, Ma. Anak musuh Mama," ucap Rein setelah beberapa detik hanya diam.
Rein melihat alis mamanya hampir bersatu. Sebenarnya dia yakin mamanya tidak setuju. Tapi kenapa yang keluar malah kalimat setuju?
"Kamu tahu Lean dan keluarganya itu nggak bisa ditebak. Bisa jadi mereka minta kamu jadi model buat ngetes kamu. Apa kamu profesional atau enggak. Kalau kamu nolak, tunggu aja berita menjatuhkan dari mereka."
Mendengar jawaban mamanya Rein tidak tahu harus merespons bagaimana. Jujur dia tidak banyak mengenal keluarga Lean. Dia juga baru-baru ini dekat dengan Lean. Apa mereka sejahat itu? pikirnya.
"Kamu terima aja. Waktu kamu syuting, mama akan temani kamu," ucap Sarah final.
Rein hanya mampu mengangguk, sungguh ini diluar prediksinya.
***
"Kata Ocit, Rein yang jadi model video clip?"
Lean tidak langsung menjawab pertanyaan maminya itu. Dia memilih menelan sepotong ikan salmon yang lebih menarik daripada menjawab pertanyaan maminya. Merasa tidak mendapat respons, Atika menjauhkan piring berisi ikan salmon dari jangkauan Lean.
"Mami udah tahu dari Ocit, kan? Jadi Lean nggak perlu jelasin lagi."
Lean berdiri, mengambil sepiring ikan salmon dan mendekatkan ke tubuh. Siang ini dia dan maminya makan bersama restoran sebelah studio musik. Lean sudah menebak saat maminya menghubungi dan mengajaknya makan siang, tentu akan membahas masalah Rein yang menjadi model video clipnya.
"Kamu tahu mami nggak setuju?"
"Lean sudah tebak." Tatapan Lean tertuju ke wajah tidak suka maminya itu. "Mi. Profesional, lah. Ini masalah kerjaan. Bukan dendam-dendaman mami itu."
Atika melotot mendengar jawaban anaknya. Mungkin bagi beberapa orang ini hanya masalah sepele. Tapi bagi Atika ini menyangkut harga diri. Apalagi harga dirinya pernah diinjak-injak oleh Sarah di depan awak media. "Kamu nggak tahu gimana rasanya dipermaluin sahabat sendiri, Le."
Gerakan makan Lean terhenti lalu menatap maminya bingung. "Maksud mami?"
"Sarah pernah menjelek-jelekkan mami di depan awak media. Karena dia nggak terima mami ambil job-nya."
Sekarang Lean tidak mood makan. Dia lebih memilih mendengarkan cerita maminya. Karena selama ini, maminya tidak mau bercerita spesifik tentang masalahnya dengan Sarah. "Emang mami ambil job-nya?"
Atika mengangkat bahu. "Nggak sepenuhnya. Mami ditawari kerjaan, ya, udah mami terima. Ternyata kerjaan itu sebelumnya ditawari ke Sarah."
"Kenapa mami nggak jelasin ke Tante Sarah?"
"Mami sudah dijelek-jelekkan lebih dulu, Lean! Mami nggak terima. Sekalian saja job lainnya juga mami ambil."
Lean menggeleng tidak percaya. Jadi ini duduk permasalahannya? Hanya karena job dan sakit hati? Padahal jika dibicarakan tentu tidak akan berimbas hingga dendam-dendaman yang bertahan bertahun-tahun. "Mi. Mami harus minta maaf ke Tante Sarah. Biar gimanapun mami juga salah."
Atika menatap Lean tak suka. "Kamu belain Sarah? Kamu sebenarnya anak siapa?"
Lean menggeleng tegas, tidak bermaksud membela Sarah. "Lean cuma mau mami berhenti musuhan, Mi. Lagian itu masalah saat mami masih remaja, kan? Masalah sepele."
"Ini bukan masalah sepele, Lean!! Ini menyangkut harga diri, nama baik di depan banyak orang."
"Tapi Tante Sarah sahabat mama sendiri lho."
"Nggak ada sahabat yang jelek-jelekan sahabatnya di depan media, Lean."
Bibir Lean terbuka hendak menyanggah ucapan maminya. Tapi dia tahu, jika ini terus dibahas tidak akan berhenti. Lean akhirnya memilih diam.
"Terserah kalau kamu mau jadiin Rein model video clip. Tapi mami tetep nggak setuju." Setelah mengucapkan itu Atika pergi meninggalkan Lean yang masih bungkam.
***
Esok hari setelah Rein menyetujui kontrak, dia diajak untuk rapat yang membahas proses syuting yang dilakukan seminggu lagi. Sekarang Rein dan manajernya duduk di ruang rapat di studio manajemen Lean. Dari tadi Rein sebisa mungkin tidak menatap Lean. Dia lebih banyak menunduk atau menatap ke arah lain.
Sedangkan Lean, tatapannya tidak sekalipun beranjak dari arah Rein. Sebenarnya dia ingin duduk di sebelah Rein. Tapi entah ini kerjaan siapa yang membuatnya duduk paling jauh dari Rein.
"Jadi gimana? Ada yang kurang sesuai dengan pihak Rein?"
Rein menoleh ke manajernya lalu mengangguk pelan. Selama penjelasan, dia mendengarkan dengan saksama dan menurutnya tidak ada yang merugikan sama sekali.
"Oke, deal." Lalu Rein pamit undur diri. Dia memang selalu begini, untuk urusan administrasi dan pembayaran kontrak selalu diurus pihak manajemen.
Melihat Rein yang keluar ruangan, Lean buru-buru bangkit berdiri. "Saya permisi dulu," pamitnya kepada beberapa orang yang ada di ruang rapat.
Lean berlari keluar lalu menoleh ke kanan dan mendapati Rein sedang berjalan dengan tas di tangan kiri. Dia berlari, lalu menarik tangan Rein hingga langkah gadis itu terhenti. "Rein, ada yang mau gue bicarain."
Rein menoleh dan menyentak lengan. Tapi tidak serta merta pegangan tangan Lean terlepas. Rein akhir memilih menunduk daripada menatap lawan bicaranya itu. "Ngomong apa? Bicarain aja sekarang."
Sebenarnya Lean tidak setuju mengobrol dengan posisi berdiri seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, daripada dia tidak bisa bicara sama sekali dengan Rein. "Gue minta maaf. Pertengkaran itu gara-gara strategi gue."
Tebakan Rein sepenuhnya benar. Sejak dalam perjalanan ke studio, dia sudah menebak kalau Lean akan meminta mengobrol. "Baguslah kalau lo sadar. Inget ya, Le. Gue nggak mau kejadian kayak gitu terulang."
Mendengar jawaban Rein, sudut bibir Lean terangkat. Dia merasa ada maksud tersirat yang diucapkan. "Jadi lo tetep mau jalanin misi kita?"
Satu alis Rein terangkat. Dia tidak tahu kenapa Lean bisa bertanya seperti itu. Padahal Rein merasa tidak ada kalimat persetujuan yang dia ucapkan. "Kenapa lo bicara kayak gitu?"
Lean tidak langsung menjawab pertanyaan Rein tapi memilih menoleh ke belakang. Tidak jauh dari tempatnya ada tempat duduk yang disediakan pihak studio. Lean seketika menarik tangan Rein, beruntung kali ini gadis itu menurut.
"Tadi lo bilang gue nggak mau kejadian kayak gitu terulang. Kalau gue ngartiin lo masih mau jalanin misi kita."
"Huh..." Rein menghela napas, menurutnya Lean terlalu berpikir panjang. "Maksud gue ngomong kayak gitu biar nggak keulang lagi. Tapi lo terlalu mikir jauh."
Lean manggut-manggut. Mungkin memang benar, dia terlalu berpikiran jauh. Tapi dia tetap berharap Rein masih mau menjalankan misi ini. Apalagi dengan fakta baru yang dia dapat dari maminya tadi.
"Nggak ada yang perlu lo bicarain lagi, kan? Gue balik," ucap Rein setelah beberapa detik hening.
Rein beranjak berdiri tapi tangannya ditahan Lean. Dia menunduk dan melihat senyum manis Lean. "Ngapain lo senyum-senyum?" tanyanya ketus.
"Lo mau maafin gue, kan?" Lean melihat Rein mengalihkan pandang ke arah lain. Meski begitu Rein mengangguk. Lean yang senang mendapat maaf dari Rein dengan cepat mengecup punggung tangan gadis itu. Membuat Rein menatap Lean tajam.
"Hehe. Gue sangking senengnya, sorry."
Rein tidak menjawab ucapan Lean. Dia menarik tangannya yang digenggam Lean dan buru-buru berbalik. Dalam langkahnya, dia beberapa kali menunduk. Melihat punggung tangannya yang tadi dikecup Lean. Rein tersenyum miring, lalu menggeleng mengenyahkan pikiran itu.
Selepas kepergian Rein, Lean tersenyum penuh arti. "Gue yakin kita bisa akrab lagi, Rein!"