Chereads / Nightmare Cinderella / Chapter 36 - Musuh adalah teman yang baik.

Chapter 36 - Musuh adalah teman yang baik.

Part belum di revisi.

Typo bertebaran.

Happy Reading.

***

Siang ini,  Ellina tak kembali bekerja dan lebih memilih untuk pergi ke Hyronimous University. Langkahnya memasuki kawasan universitas dengan sangat ringan. Tatapan kagum pada kecantikannya tak membuat ekspresinya menghangat. Ia melangkah menuju jurusan IT, sebelum tangannya tertarik ke belakang. Tubuhnya berputar otomatis mengikuti langkah penarik tangannya.

"Ikut aku,"

Ellina tak bisa berpikir sesaat dan hanya menurut. Namun saat matanya melihat dengan jelas, tubuhnya tak bergerak dan dengan ringan ia menarik tangannya.

"Aku tak punya urusan denganmu," bantah Ellina jelas.

"Ell,"

Ellina mendongak sedikit. Menatap mata hitam kelam yang tampak berkabut dengan letusan emosi yang dalam. Garis halus bibirnya terlihat pucat dengan lengkungan tajam. Dua mata yang tajam terlihat bersinar dalam.

"Aku mau kau mengikutiku. Sekarang!"

Ellina menolak saat pria itu menarik tangannya. Namun langkah kakinya tak cukup bertahan karena perbedaan kekuatan. Ia hanya bisa mengikuti dengan paksa langkah pria di depannya.

"Lepaskan. Aaric, Aaric, lepaskan."

"Hanya lima menit, tidak. Hanya tiga menit," langkah Aaric menuju taman belakang universitas dengan cepat. "Jadi kau bisa diam karena aku tak akan menyakitimu," tolehnya ke belakang menatap mata Ellina sesaat.

Ellina menurut setelah Aaric menekan kata 'tak akan menyakiti'. Ia menurut saat akhirnya mereka duduk di sebuah bangku taman yang sepi.

"Jauhi Ernest!"

Ellina menoleh, menatap kilatan kabut emosi di mata Aaric. Tanpa sadar ia berkata, "Kenapa?"

"Karena dia tak seperti yang terlihat,"

Hening beberapa saat.

"Aku tak bisa," jawab Ellina pada akhirnya. "Aku tak bisa jika--"

"Awalnya aku tak mengerti," potong Aaric pelan. Ia menatap gadis di depannya dalam. "Ell, dia bukan semudah yang terlihat. Kau tak bisa memiliki urusan dengan orang-orang gila yang tak--"

"Aku bisa," sela Ellina kuat. Matanya menatap nyalang dengan aura dingin penuh penekanan. "Aku tak memiliki urusan apapun denganmu. Aku akan pergi,"

Aaric menahan tangan Ellina hingga Ellina hanya bisa diam membeku. "Aku tak tahu apa yang berubah darimu. Hubungan kita awalnya baik-baik saja, lalu pada suatu waktu kau berubah. Kau berubah pada arah yang tak bisa kumengerti. Ada apa? Katakan padaku. Aku akan membantumu,"

Ellina tertawa lirih pada ucapan Aaric. Ia tak bisa tak tertawa melihat simpati Aaric padanya. "Oh, apa kau sudah selesai? Kau pikir aku tak tahu bahwa kau berniat mendua bersama Lexsi? Kini kau bebas,"

Aaric mengerutkan keningnya. "Ell, aku memang pernah memiliki pemikiran itu. Tapi tidak, itu belum terjadi. Kau--"

"Aku memiliki hal yang tak dapat kuceritakan,"  potong Ellina kemudian. Desahannya terdengar berat. "Aku tahu kau mencoba mencari tahu tentang diriku, tapi cukup. Aku memiliki urusan yang harus aku selesaikan. Dan kau tak termasuk di dalamnya,"

Aaric tertegun pada kejujuran Ellina. "Urusan apa?" tanyanya tanpa sadar. "Urusan apa yang kau miliki hingga mengharuskan melibatkan Ernest dan Kenzie."

"Oh, kau melewati batas sekarang."

Aaric tersadar. Ia terdiam dan berkata, "Maaf."

Ellina tersenyum tipis. "Kau tak perlu mengkhawatirkan aku. Aku tahu hal apa yang aku lakukan,"

Aaric mengangguk. "Aku hanya ingin mengingatkan, berhati-hatilah pada Ernest. Dia bisa jadi sangat berbahaya saat kau menyinggungnya."

Ellina mengangguk. Ia tersenyum tulus pada nasehat yang Aaric berikan. Ia berpikir bahwa itu tak buruk. Karena dalam kehidupan sebelumnya, ia tak tahu Ernest orang yang seperti apa. Tapi Aaric, ia sangat tahu, bahwa pria itu sesungguhnya adalah pria yang baik. Hanya saja, normal baginya saat mendua karena penampilannya dulu dan hasutan Lexsi yang kuat.

"Pergilah, aku tak akan menahanmu,"

Ellina mengangguk dan bangkit. Ia melenggang menuju jurusan IT. Namun langkahnya terhenti saat ia baru memasuki aula sekolah bagian belakang. Ia telah menemui sosok yang ia cari.

"Ariella," serunya keras. Tangannya melambai ringan. "Disini," 

Ariella menoleh. Menatap sosok cantik yang memanggilnya. Anehnya, dia merasa gadis itu tak memanggil namanya. Hingga ia menoleh ke kanan dan kiri memastikan. Namun tak ada orang lain selain dirinya di sini. Akhirnya jari telunjuknya menunjuk dirinya sendiri sambil menatap gadis yang menyerukan namanya.

"Benar, itu kamu. Aku memanggilmu."

Setelah pasti, Ariella melangkah. Matanya tak lepas dari gadis yang memanggilnya. Dari jarak itu, dia bisa melihat kulit putih halus yang terawat. Terlihat bersinar dan sangat putih di bawah sinar matahari. Rambut hitam kecoklatan itu tampak terayun seiring wajah gadis itu beralih menatap arah lain. Namun dari sudut itu, ia sangat yakin. Bahwa kecantikan itu benar-benar nyata. Bahkan dia akan setuju jika gadis itu terlihat seperti seorang peri yang di ambil dari lukisan.

Siapa dia? Kenapa memanggilku? Apakah kita saling mengenal?

Setelah jarak keduanya dekat, Ariella membeku.

Dia Ellina! Teriaknya tak bisa terima.

Bagai tersambar petir, semua hal yang baru saja ia lamunkan tertelan. Dari jarak sedekat ini, ia bisa melihat mata hitam Ellina berkelip-kelip bagai bintang saat malam. Di bingkai dengan bulu mata lentik hingga menciptakan bayangan di bawah matanya. Garis wajah itu halus, dan kulitnya benar-benar putih segar. Bibir tipis yang terlihat merah muda bagai bunga sakura yang bermekaran. Dan saat senyum tipis itu tersaji padanya, tubuhnya benar-benar menjadi kaku.

Dia tersenyum? Padaku?

Ariella bergidik ngeri. Senyum itu terlihat tulus dan membuat pemiliknya menjadi sangat cantik. Namun ia bisa melihat, ada tatapan dingin di tatapan yang ditujukan padanya. Mata itu terlihat sangat tenang, hitam dan ada lubang dalam dimana dapat menelannya kapan saja. Seakan tersihir, ia merasa udaranya terhisap hingga suhu di sekitarnya mengeras dan berubah menjadi salju. Ia mundur sedikit, menjaga jarak saat suara itu terdengar lagi.

"Aku butuh bicara denganmu,"

Seakan tersihir, Ariella menganguk. Rasa sombong yang ia agungkan seakan hilang. "Ba-bagaimana jika di cafe?"

Ellina mengangguk. Melangkah dan mengikuti langkah kaki Ariella. Selama dalam perjalanan, Ariella berpikir keras.

Kenapa dia mencariku? Sudah bagus bahwa keluarga E. V. tak menghancurkan keluargaku, tapi sekarang dia datang dengan senyum palsu? Ahk, aku harus benar-benar menjaga sikapku.

Keduanya duduk di bangku cafe saling berhadapan. Tak ada yang mencoba bicara. Ariella hanya menatap Ellina yang dengan anggun menikmati sebuah teh di tangannya. Memperhatikan cara Ellina meletakkan gelas hingga gelas itu kembali bertemu dengan bibir Ellina. Semua sangat elegan dan beretika. Seoalah gadis itu memang keluarga bangsawan kelas atas di kota Z.

Ahk, dia benar-benar seperti putri raja dalam film.

"Kenapa kau mencariku?"

Ellina menyesap teh di tangannya perlahan dan meletakkan gelas dengan pelan. Matanya menatap Ariella yang bersikap dingin dan hati-hati padanya. Ia tersenyum, sepertinya kabar tentangnya di internet cukup membuat Ariella menghargainya.

"Aku butuh bantuanmu,"

Ariella menaikkan satu alisnya. Mencoba mempercayai pendengarannya. "Kenapa aku harus membantumu?"

Lalu kilatan dingin yang seakan dapat menenggelamkan siapapun itu tertuju padanya. Ariella tergagap dan mengubah ekspresinya.

"Karena kau memang harus membantuku," ujar Ellina sangat tenang. Tangan rampingnya membuka dompetnya dan mengeluarkan kartu hitam yang Ernest berikan. "Kau tahu ini apa 'kan?"

Mata Ariella tak bisa tak tertegun. Tertuju pada kartu hitam yang sangat istimewa di depan Ellina. Pandangannya naik, menatap wajah canntik di depannya.

Bagaimana aku tak tahu apa itu? Karena kartu itu, kedua orangtuaku mengurungku selama dua hari di kamar. Dan kudengar, tujuh kartu hitam kemudian lenyap. Aku ingin menangis jika mengingat saat itu.  Saat keluarga E. V. jelas mengurus kata-kataku.

"Aku tahu," jawabnya masih dingin. Sungguh ia bingung harus bersikap seperti apa. Karena memang dirinya tak pernah akrab dengan Ellina. Lalu dia biasa bersikap ketus dan sombong.

"Kau bisa menggunakan kartu ini seharian, asal kau mau membantuku,"

Mata Ariella bersinar. Apakah itu benar? Apakah pendengaranku tak salah? Aku dapat berbelanja sesukaku dengan kartu itu. Tapi ... apakah dia menipuku?

"Aku," ujar Ariella ragu. "Apa yang harus kulakukan?" awalnya dia ingin langsung menarik kartu lalu menanyakan hal yang bisa ia lakukan. Tapi gadis di depannya adalah Ellina. Dan dia sangat sadar, setelah pencarian topik hangat di internet, gadis di depannya ini benar-benar bukan orang yang harus ia singgung. Atau dia akan menyesal seumur hidup.

"Itu mudah," jawab Ellina. "Kau hanya harus menelepon Lexsi, dan mencari tahu, rencana apa yang akan dia lakukan di pesta pertunangannya? Rancangan baju hingga tema pesta yang dia usung."

"Hanya itu?" tanya Ariella kaget. Ia masih hati-hati. "Kenapa tak kau tanyakan sendiri? Bukankah kau Kakaknya?"

Senyum dingin Ellina terkembang. "Kita orang asing sekarang,"

Ariella menahan air ludahnya saat kata-kata dingin itu meluncur lengkap dengan tatapan tenang namun membunuh. Ia meminum teh di hadapannya dengan gusar. Meletakkannya dengan keras lalu menunjuk Ellina.

"Kau, tak akan menuntutku atau melalukan apapun jika hal yang di katakan Lexsi tak sesuai kenyataan?"

Ellina menatap Ariella lembut. Ia menggeleng pelan. Namun tatapan lembut itu justru membuat Ariella ketakutan.

"O-oke, aku akan meneleponnya. Tapi aku katakan ini untuk sekedar informasi. Kita tak sedekat dulu. Aku dan dia sangat jauh. Kau tahu, dia seoarang artis sekarang. Dan pertemanan kita hanya sebatas itu,"

Mendengar itu Ellina tak bisa tak tertawa. Ia mengangguk dengan dua jari di angkat sebatas pelipis. "Kau memiliki janjiku,"

Ariella mengangguk. Dia menelepon Lexsi dan entah angin dari mana, teleponnya di angkat. Ia segera berseru senang.

"Lexsi,"

"Aku sibuk, katakan ada kau meneleponku."

Hah! Aku juga sibuk!  Tapi kakakmu datang mengacaukan hariku.

Alih-alih mengatakan itu semua, bibir Ariella mengatakan hal yang berbeda. "Oh, aku hanya ingin tahu. Dalam pesta nanti, kau mengenakan tema pakaian yang seperti apa? Aku sangat yakin bahwa semua hal yang kenakan pasti akan menjadi fashion trending."

Di ujung sana Lexsi tersenyum. Dia begitu senang akan pujian yang baru saja ia dapatkan. "Kurasa aku akan tampil sedikit dewasa agar kecantikanku terpancar. Gaya imut yang menggemaskan sudah tak cocok untukku. Terlebih, aku akan segera menikah. Aku harus terlihat matang dan cantik,"

"Aku bisa membayangkannya. Kau pasti akan menjadi wanita tercantik yang pantas di sisinya. Dan semua wanita di negara ini akan iri padamu. Ah, betapa kau memiliki nasib yang baik,"

Ellina mendengar dan melihat ekspresi Ariella tak bisa tak tertawa. Itu sempurna! Ariella bahkan terlihat sangat tulus saat memuji Lexsi. Hingga semua rahasia itu meluncur tanpa hambatan.

Dua menit berlalu dan Ariella selesai dengan teleponnya. Dia menatap Ellina sambil meletakkan handphonenya di atas meja. Matanya menelisik dengan bibir cemberut yang terlihat sangat lucu. Sudah bisa di pastikan, bahwa dia sangat kesal saat ini.

"Kau sudah Mendengarnya. Gaya cantik nan seksi. Itu akan memiliki kesan gadis dewasa yang matang. Siap menjadi Nyonya Muda Reegan dan mewarisi setiap kemehawan."

Ellina mengangguk, masih tersenyum dan menahan ledakan tawanya. Dia berusaha bersikap normal. "Aku tahu, terima kasih karena telah membantuku."

Ariella mengangguk. Dia berdiri sambil meraih handphonenya dan mulai berbalik badan. Ia merasa tak ada urusan lagi yang harus ia selesaikan. Namun suara Ellina menahannya. Membuat tubuhnya menoleh ke belakang.

"Kau melupakannya," Ellina menyodorkan kartu hitam di sampingnya.

Ariella membeku sesaat, namun kemudian kepalanya menggeleng. "Aku tak membutuhkannya."

Tentu saja dia mengatakan itu karena sangat berhati-hati pada langkahnya. Mengingat bahwa Ellina memiliki dukungan besar sdr i belakangnya.

Ellina mengernyit. Ia tak menyangka bahwa Ariella akan menolak. Padahal ia sangat tahu bahwa Ariella adalah orang yang gila belanja.

"Kau benar-benar tak mengambilnya?" tanya Ellina lagi. "Kau akan menyesal,"

"Jika tak ada urusan lagi, aku akan pergi sekarang."

Ellina tertegun. Ia melihat punggung Ariella yang menjauh.

Dia menolak kartuku? Ariella? Dia ....

"Ah, musuh adalah teman baik yang tak terduga,"

Tersenyum penuh arti, Ellina tersenyum dengan mengambil kartu hitamnya. Melenggang dan berpikir dengan jernih tentang rencana yang akan dia jalankan. Tapi sebelum itu, sepertinya ia harus memberikan hadiah pada Ariella karena telah membantunya. Ia benci berhutang. Itu kenapa  dia harus memberikan tanda terimakasih pada Ariella.