Chereads / BRIPKA INDIRA / Chapter 2 - 1. Permulaan

Chapter 2 - 1. Permulaan

Cerita ini hanya fiksi belaka. Tiada kaitannya dengan organisasi, agama, maupun peristiwa. Jika ada kesamaan nama, karakter, atau kerjadian, itu hanyalah kebetulan semata.

***

Dia adalah Indira, seorang Polwan berpangkat Bripka dalam divisi Bareskrim Polri sekaligus anggota Badan Intelijen rahasia, BIN. Indira merupakan seorang intel muda yang sudah tak diragukan lagi kemampuannya.

Indira sangat ahli dalam melakukan penyidikan dan menuntaskan kasus-kasus berat yang ditanganinya. Tak terhitung sudah berapa puluh bandit besar dia penjarakan. Dari mulai bandar narkoba, pembunuh berantai yang cukup rumit pengungkapan kasusnya, dan yang terakhir, kasus pembunuhan berencana katua Pemberantas Korupsi yang ternyata melibatkan para petinggi negara. 

Kasus terakhir yang dia tangani cukup menyulitkannya. Ancaman pemecatan dan pelenyapan dia dapatkan dari berbagai pihak yang mendalangi pembunuhan tersebut. Ancaman pelenyapan itu bukan hanya ditujukan untuknya tetapi, juga untuk keluarganya, ayah, ibu, dan dua orang adik kesayangannya.

Namun, ancaman-ancaman tersebut tak menyurutkan niat Indira untuk terus melanjutkan penyidikan guna mengungkap kasus pembunuhan keji ketua Pemberantas Korupsi tersebut hingga tuntas. Karena menurutnya, keadilan harus selalu ditegakan, keadilan tak pernah tidur atau kelelahan. Hingga akhirnya terungkap sudah semuanya. 

Dua orang Direktur Utama Badan Usaha Negara, satu orang anggota Kabinet, dan tiga orang anggota Parlemen berhasil diringkusnya. Keberhasilan Indira mengungkap kasus terakhirnya itulah yang akhirnya mengantarkannya pada sebuah misi yang sangat dia inginkan.

Brigadir Dwi Sutoyo ketua BIN (Badan Intelijen Negara) yang merupakan atasannya tersebut, kini memberikan tugas baru. Beliau memerintahkan Indira untuk masuk ke sebuah kelompok mafia paling berkuasa di negara I. Cakrawala Pribumi adalah kelompok mafia paling ditakuti, termasuk oleh pemerintahan negara. 

Tak ada yang berani berurusan dengan mereka. Selain bengis dan kejam, Cakrawala Pribumi juga memiliki banyak backing di tubuh pemerintahan. Banyak pejabat negara yang bersekutu dengan mereka, sehingga membuat keadaannya terstruktur dan sulit dirobohkan.

Bak piramida, Cakrawala Pribumi menempatkan diri di tahta paling tinggi. Mereka akan membantai siapapun yang berani menentang atau berbeda pendapat. Namun, hal itu tak membuat nyali Indita ciut. Demi mengungkap adalang dibalik pembunuhan tunangan, Brigpol Reno Siregar.

Begitu kuatnya kekuasaan mereka hingga membuat orang nomer satu Indonesia pun kewalahan. Hingga semua yang tak sependapat dan tak menyukai kelompok tersebut berpura-pura berpihak demi menjaga keselamatan diri dan keluarga mereka.

"Kamu sudah membuktikan diri bahwa dirimu sanggup memecahkan kasus-kasus berat. Saya mengerti perasaanmu, tapi Indira, dendam tidak akan menyelesaikan masalah."

Indira hanya diam dengan roman wajah datar.

"Apa kamu yakin ingin mengambil misi ini? Ini adalah tugas negara dan kamu tidak boleh mencampur tangankan tugas ini dengan perasaan pribadimu. Mau ataupun tidak mau, kamu adalah abdi negara yang bertugas menjaga keamanan dan kesatuan negara. Kamu dituntut untuk selalu menjaga profesionalitas."

Indira masih berdiam dengan sikap istirahat di tempat layaknya prajurit yang tengah berbicara dengan panglima.

"Saya beri kamu waktu tiga hari untuk berpikir." Dwi masih mempunyai kebijaksanaan. Bagaimanapun ini merupakan tugas yang berat, dan dia memiliki kewajiban untuk menerima kesanggupan tanpa keraguan dari bawahannya demi keberhasilan misi. Ini bukan hanya akan mengancam keselamatan nyawa Indira dan keluarga gadis tersebut jika sampai gagal. Namun, semua yang berada di balik layar pun akan terkena imbasnya. Dwi harus yakin bahwa Indira sanggup akan semua konsekuensinya, barulah misi akan bisa di mulai. Misi untuk mencari meringkus ketua kelompok mafia tersebut dan menghancurkannya. "Bagaimana? Apa kamu sanggup memberikan jawabanmu pada tiga hari yang akan datang?"

Indira melepaskan tautan kedua tangannya di punggung sembari menghentakan kaki. "Siap, Pak! Saya sanggup!" tegasnya.

Dwi mengangguk-anggukan kepala sambil memegang dagunya.

"Kalo Bapak sudah selesai, saya izin keluar."

"Hmm, kamu boleh keluar."

Indira menganggukan kepala lalu berbalik untuk keluar dari ruangan. Namun, saat dia hendak membuka pintu tiba-tiba saja Dwi kembali berbicara.

"Jangan sampai kematian Reno mempengaruhi misi ini."

Tubuh Indira seketika membeku sesaat mendengar nama almarhum tunangannya disebut. Kemudian berbalik. "Tidak akan. Saya berjanji."

Dwi kembali mengangguk seraya tersenyum.

***

Setelah memikirkannya secara cermat, Indira pun memantapkan diri untuk misi tersebut. Tibalah dia di suatu malam. Di Collosieum Club Jakarta Selatan. Dia tengah membawa nampan berisi sebotol anggur mahal dengan dua buah gelas kristal. Kemudian langkahnya terhenti di depan sebuah sekat yang di dalamnya terdapat sepasang manusia yang tengah asik saling menautkan bibir dengan intim di atas sebuah sofa merah yang tampak empuk dan nyaman.

"Permisi." Indira meletakan nampan tersebut di atas meja. "Ini pesanan Tuan dan Nona."

Pasangan tersebut menghentikan sejenak aktifitasnya. Lalu si pria-nya merogoh saku dan melemparkan uang berwarna biru ke arah Indira. "Itu untukmu."

Indira mengambil uang tersebut lalu menggenggamnya. "Terima kasih, Tuan."

"Hmm." Pria itu membalas dengan deheman.

"What are you doing, Honey? Itu terlalu besar! Kasih saja sepuluh ribu, nanti kebiasaan dia," protes wanita yang bersama pria tersebut.

"No problem, Honey. Hari ini aku lagi banyak uang. R memberiku bonus yang lumayan besar." Pria berkulit hitam itu tampak sumringah kala menceritakan keberuntungannya kepada sang wanita.

"Benarkah?"

"Hmm."

"Yeayyy… kita jadi dong jalan-jalan ke Hongkong?" Wanita itu terlihat bahagia dengan raut wajah berbunga-bunga.

"Emmm sepertinya enggak bulan ini. R memberiku tugas baru. Dia sedang membutuhkan pengemudi handal untuk melakukan pengiriman barang."

"Yaaahhh, Sayang," perempuan itu tampak lemas, "seminggu saja di Hongkong-nya. Aku enggak akan minta lama, kok." Raut wajahnya memelas.

"Enggak bisa, Baby. Lain kali saja, yah?"

Wanita berambut ikal itu menekuk wajahnya cemberut.

"Hei, jangan sedih dong." Dia memegang pipi wanita di pangkuannya. "Selesai misi ini, aku akan mengajakmu ke Dubai. Lupakan tentang Hongkong. Bukankah kamu pernah mengatakan ingin merasakan bagaimana bermalam di Burj Khalifa? Hmmm? Bagaimana? Kamu mau 'kan?"

"Janji?" Wanita berambut ikal itu mengerucutkan bibirnya.

"Janji." Pria berkulit hitam itu pun tersenyum lebar.

Namun, tatapan wanita di pangkuan pria itu tiba-tiba saja teralihkan. Dia menatap Indira yang masih berjongkok di depan meja dengan tatapan meremehkan. "Ngapain kamu masih di sini?" bentaknya.

Indira yang tengah menguping pun sedikit terkejut dengan bentakan wanita itu. "Ma-maaf." Dia berpura-pura gugup lalu saat hendak berdiri, dia sengaja sedikit menyenggol botol sampanye di atas meja hingga botol itu terguling lalu tergeletak di sana dan memuntahkan isinya yang sebelumnya sudah Indira cabut tutupnya.

"Aarrgghh! Dasar wanita sialan!" teriak wanita itu kesal kala sebagian isi dari botol tersebut mengenai pakaiannya.

"Sayang!" Pria itu ikut tersentak kaget saat melihat baju sang kekasih kotor. "Kamu gimana sih? Kalo kerja tuh yang bener! Jadi, kotor kan, baju orang!"

"Ma-maafkan saya." Indira mencoba mengelap baju wanita itu dengan dengan lap putih yang dia bawa.

"Jangan pegang-pegang pakaianku!" seru wanita itu sambil mendorong Indira hingga terjengkang ke belakang. Kemudian dia membungkuk untuk menekan tombol merah di bagian bawah meja. "Biar tau rasa kamu!" Wajahnya tampak bengis memperlihatkan kemarahan.

Indira bersimpuh berpura-pura lemah. "Maafkan saya, Nona. Saya mohon."

"Enggak! Saya enggak mau maafin kamu!"

"Sabar, Sayang, kendalikan kemarahanmu. Satu hari lagi ini, lusa baru kamu boleh teriak dan marah-marah sepuasnya." Pria itu mengingatkan pacarnya tentang benang-benang yang baru sekitar enam hari terpasang pada kedua pipi kekasihnya tersebut.

"Ah iya, Baby, aku lupa," sesal perempuan itu. "Makasih udah ingetin."

"Sama-sama, Honey." Pria itu mengecup sekilas bibir kekasihnya, dan keduanya kembali saling melemparkan senyuman.

Indira yang merasa jijik dengan tingkah pasangan di hadapannya tersebut, lantas membuang muka seraya memegangi perutnya yang terasa mual.

Tak selang lama, seorang wanita bertubuh gempal dengan riasan menor pun menghampiri mereka. "Selamat malam, Tuan dan Nona."

"Malam," jawab kekasih si kulit hitam dengan ketus sedangkan, pria itu tersenyum dengan ramah mendapati sapaan bersahabat dari wanita gempal yang baru saja tiba di hadapannya tersebut.

Wanita gempal itu melirik sinis ke arah Indira yang masih dalam keadaan bersimpuh di lantai. "Maaf, Tuan dan Nona, apa ada yang bisa saya bantu?"

"Apa kamu enggak bisa melihat kekacauan di sini? Lihat, minuman yang kami pesan tumpah dan bajuku jadi kotor."

"Ah, aduh, maafkan kecerobohan pegawai saya. Saya akan mengganti kerugian Nona dan Tuan. Malam ini Nona dan Tuan geratis mau memesan apa saja di sini," ucap Bu Sara dengan sopan.

"Gitu dong." Wanita galak itu tersenyum tipis sambil menggerakan sebelah alisnya seraya menatap kekasihnya tersebut. 

Seketika bara api terasa berkobar di tubuh Bu Sara. Lalu berbalik ke arah Indira. "Kinanti! Bangun kamu!"

Dengan patuh Indira menuruti perintah manager club malam tersebut dengan kepala tertunduk. "Kamu itu! Bisa kerja atau enggak, sih? Baru hari pertama masuk udah bikin masalah saja! Kamu tau enggak, kalo Tuan Benji dan Nona Mala ini pelanggan tetap club kita!"

"Ma-maafkan saya, Bu. Saya enggak sengaja."

"Saya tau kamu pasti enggak sengaja! Tapi, apa permintaan maaf kamu berguna? Apa permintaan maafmu bisa mengembalikan baju mahal Nona Mala seperti baru lagi? Apa permintaan maafmu bisa mengganti minuman mahal itu?"____"Kamu tau enggak sih, kalo harga minuman itu sebanyak tiga bulan gajimu. Itu mahal banget, Kinanti!" Bu Sara memijat kening lalu menatap Indira yang tertunduk lesu penuh penyesalan. "Kamu dipecat!"

Seketika Indira melenggakan kepalanya ke arah bu Sara. "Enggak, Bu. Tolong jangan pecat saya. Saya yatim piatu yang sebatang kara. Saya enggak mau hidup kelaparan lagi," rengeknya memohon.

"Enggak, Kinan, kami enggak bisa mempekerjakan orang yang enggak profesional. Kami enggak mau kelak kamu akan membuat masalah lagi."

"Tolong, Bu. Jangan pecat saya." Indira meraih lengan bu Sara dengan air mata berliangan dan wajah memelas.

Kemudian tiba-tiba saja dentuman musik racikan Dj pun terhenti. Semua mata langsung tertuju ke arah panggung dan pintu masuk ruangan tersebut. Dua orang pria bertubuh kekar menghampiri sekat tempat Indira berada.

"Benji!" pekik seorang pria bertubuh kekar itu sambil menunjuk pria berkulit hitam yang berdiri di dekat Indira yang seketika membuat Bu Sara mundur dari sana.

"Ma-Markus?" Benji terbata dengan raut wajah gugup.

"Aku dengar, R memberimu banyak uang. Sekarang aku ingin menagih janjimu. Mana hutang yang kamu janjikan akan dilunasi? Serahkan semua uangmu, sekarang!"

Mala memegang lengan Benji sambil gemetar. "Sa-sayang, siapa dia?" Dia berbisik.

"Di- dia Markus, a- anak buah Toni si bandot gila. Me- mereka ke sini untuk menagih hutangku." Benji tak kalah gemetar. "Ma- maafkan aku, uangnya sudah habis untuk kupakai membooking satu kamar di Burj Khalifa untuk hadiah ulang tahun calon istriku," jelasnya dengan gugup yang seketika membuat Mala menatap membuntang ke arahnya.

"Apa?" Markus terlihat marah. Dia menarik kerah kemeja Benji dengan kasar. "Bedebah!"

Kepalan tangan Markus mengambang di depan wajah Benji. Seketika dia merasakan ada yang mencekal lengannya tersebut dengan kokoh hingga membuatnya menoleh ke arah si penganggu itu.

"Jangan membuat keributan di sini. Lebih baik anda segera pergi sebelum saya bertindak lebih jauh," tegas Indira yang sedang memegangi lengan kekar Markus dengan kuat.

"Wanita sialan! Lepaskan tanganku!"

"Enggak akan, sebelum kamu melepaskan Tuan Benji."

"Berengsek!" Markus mendorong tubuh Benji hingga terjungkal lalu mencoba menghajar Indira. Dengan penuh amarah dia mengarahkan pukulan dan tendangan ke arah gadis bertubuh sintal itu. Namun, dia hanya dapat memukul angin, karena dengan lihai Indira dapat menghindari semua serangannya. Bak bayangan yang meliuk-liuk, tak satupun pukulan pria kekar tersebut mendarat pada tubuhnya. Kemudian, hanya dengan sebuah totokan di bawah telinga  Indira mampu membuat Markus terkapar tak sadarkan diri. Dia membuat pria itu pingsan dengan cara menekan syaraf pernapasannya.

Setelah melihat Markus tergeletak tak berdaya, seorang pria bertubuh kekar lainnya pun mencoba untuk melumpuhkan Indira. Namun, dengan bekal ilmu bela diri yang di atas rata-rata, gadis itu pun kembali bisa mengalahkan pria tersebut dengan dua pukulan telak di pangkal leher.

Selesai berkelahi, Indira mulai mengatur napasnya yang kini engos-engosan. Dia melihat sekeliling, terlihat para tamu club malam tersebut menatap ke arahnya. Dia juga melihat beberapa kursi, meja, dan beling-beling berserakan bekas dari perkelahiannya. Kemudian dia menengadahkan kepala, tatapannya beralih ke arah Mala dan Benji yang ternyata sudah di amankan dan kini berada di lantai dua tepat di atasnya kepalanya. Indira yang hendak pergi seketika terhenti kala mendengar suara Benji. "Tunggu!" Bergegas pria itu menuruni tangga.

Indira berbalik ke arah pria hitam tersebut. "Ini untukmu." Dia menyerahkan segepok uang ke tangan gadis itu. "Thanks."

Indira menggelengkan kepalanya lemah lalu tersenyum. "Enggak usah, saya hanya berniat menolong."

"Ini sebagai ucapan terima kasihku."

"Enggak perlu, sungguh."

"Aku tau kamu membutuhkan ini, tolong terimalah."

"Maaf. Tapi, saya lebih membutuhkan pekerjaan dari pada uang ini. Saya akan sangat berterima kasih kalo saya enggak jadi dipecat di sini."

Benji menghela napas lelah. Club malam ini bukanlah miliknya. Dia tak mempunyai kuasa untuk bisa mempekerjakan kembali Indira. Namun, tak mau kehabisan ide untuk membalas budi. Benji merogoh saku celananya, lalu mengambil dompet dan mengeluarkan sebuah kertas kecil seukuran tiga jari dan menyerahkannya kepada Indira. "Ini kartu namaku, kalo kamu suatu saat butuh bantuan, jangan ragu untuk menghubungiku."

Indira menerima kartu itu lalu menganggukan kepala. "Terima kasih."

"Sama-sama."

"Saya permisi." Indira berbalik lalu memasukan kartu nama tersebut ke saku celananya sembari tersenyum tipis. 'Gotcha!' Batinnya.